(Arrahmah.com) – Musa bin Thalhah bin Ubaidillah mengisahkan bahwa harta kekayaan hasil perdagangan ayahnya, Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, baru saja datang dari negeri Hadramaut, Yaman. Jumlah harta tersebut sangat besar, 700.000 dirham, setara dengan 70.000 dinar atau sekitar 29, 75 kilogram emas. Angka yang sangat besar, karena Thalhah bin Ubaidillah saat itu adalah salah seorang milyader sahabat di Madinah.
Bukannya gembira dan tentram hatinya, Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu pada malam itu justru kebingungan. Semalaman ia membolak-balikkan badannya di atas ranjang, tanpa sedikit pun bisa tertidur. Ia sama sekali tidak khawatir ada perampok akan menyatroni rumahnya. Bukan itu yang dikhawatirkannya. Ia tengah memikirkan hal lain.
“Apa persangkaan seorang hamba kepada Rabbnya, jika di waktu malam ia tidur sementara di dalam rumahnya ada harta sebanyak ini?” kata Thalhah.
Beruntung Thalhah memiliki seorang istri yang shalihah, ahli ibadah dan zuhud. Ia adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Istrinya memberikan saran yang baik kepada suaminya.
“Mana kepedulian Anda kepada sebagian kawan-kawan dekat Anda? Jika waktu pagi telah tiba, siapkanlah nampan dan piring-piring kecil sebagai wadah harta tersebut, lalu bagikanlah harta itu kepada kawan-kawan dekat Anda!”
Thalhah tersenyum gembira dengan usulan istrinya. Katanya, “Engkau memang wanita yang mendapat taufik, putri dari orang yang mendapat taufik.”
Pada keesokan harinya Thalhah pun menempatkan harta tersebut dalam nampan dan piring-piring kecil. Ia membagikan setiap piring kecil yang berisi uang dalam jumlah besar kepada para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Adapun sebagian kawan dekat beliau diberi jumlah yang lebih besar dalam nampan. Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang yang mendapatkan jatah satu nampan.
Ketika acara pembagian harta kepada kaum Muhajirin dan Anshar hampir selesai, Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi suaminya.
“Wahai Abu Muhammad! Tidakkah kita sendiri juga mendapat jatah dari pembagian harta ini?” tanyanya mengingatkan suaminya.
Hampir saja Thalhah bin Ubaidillah terlupa untuk menyisakan sebagian harta tersebut bagi keperluan keluarganya sendiri.
“Wah, dimana saja engkau sejak tadi pagi? Untukmu adalah bagian yang masih tersisa,” jawab Thalhah.
Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq bercerita, “Ternyata yang tersisa adalah sebuah kantung yang berisi uang sekitar 1000 dirham.”
Seribu dirham adalah senilai dengan 100 dinar, yaitu sekitar 500 gram emas. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 1/30-31)
Subhanallah, masya Allah….
Nama lengkap sahabat yang mulia ini adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. Nama panggilannya Abu Muhammad. Marganya adalah Bani Taim. Sukunya adalah suku Quraisy. Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidillah At-Taimi Al-Qurasyi radhiyallahu ‘anhu.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam memberinya gelar Thalhah Al-Fayyadh atau Thalhah yang senantiasa mengalirkan banjir infak, Thalhah Al-Khair atau Thalhah si orang baik dan Thalhah Al-Jud atau Thalhah si dermawan.
Ia adalah salah seorang yang pertama kali masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun) dan berhijrah ke Madinah. Ia adalah salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia juga merupakan salah satu dari enam majlis syura yang ditunjuk oleh khalifah Umar bin Khathab untuk mengangkat khalifah sepeninggal beliau.
Saat terjadi perang Badar, Thalhah tengah berdagang di Syam dan merasa sangat menyesal karena tidak turut serta dalam peperangan pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tetap memberinya jatah dari harta rampasan perang Badar.
Pada perang Uhud, Thalhah menunjukkan kepahlawan luar biasa dalam menyelamatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia bertempur habis-habis untuk melindungi nyawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, sampai kedua busurnya patah, jari-jari tangannya terputus dan tangan kanannya lumpuh akibat banyaknya luka yang ia derita.
عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَرَأَيْتُ يَدَ طَلْحَةَ شَلَّاءَ وَقَى بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ
Dari Ismail bin Qais ia berkata: “Saya telah melihat tangan Thalhah lumpuh, (karena) ia mempergunakan tangan tersebut untuk melindungi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam pada perang Uhud.” (HR. Bukhari no. 3724 dan 4063 dan Ibnu Majah no. 128)
Atas besarnya pengorbanan dan perjuangan Thalhah dalam perang Uhud, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan Thalhah pasti akan masuk surga.
عَنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَئِذٍ أَوْجَبَ طَلْحَةُ حِينَ صَنَعَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا صَنَعَ يَعْنِي حِينَ بَرَكَ لَهُ طَلْحَةُ فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ظَهْرِهِ
Dari Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda pada hari itu [perang Uhud]: ‘Thalhah telah pasti [masuk surga atau meraih ridha dan ampunan Allah] ketika ia melakukan tindakan yang ia lakukan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam’. Yaitu saat Thalhah merunduk lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menaiki punggung Thalhah [untuk naik ke sebuah batu besar].” (HR. Tirmidzi no. 3739, Ahmad dan Al-Hakim. Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan. Al-Hakim dan Adz-Dzahabi berkata: Hadits ini shahih)
Sifat kedermanan dan kegemaran berinfak telah menjadi karakter Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu.
Imam Ibnu Sa’ad, Ath-Thabarani dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani meriwayatkan dari Qabishah bin Jabir, ia berkata: “Saya telah menemani Thalhah. Saya tidak pernah melihat orang yang suka memberi harta dalam jumlah sangat besar, walaupun tidak diminta, seperti dia.”
Imam Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa Thalhah bin Ubaidillah menjual sebuah tanahnya yang luas seharga 700.000 dinar. Pada malam harinya ia tidak bisa tidur dan berkeringat dingin karena khawatir memiliki harta sebanyak itu di rumahnya. Maka pada keesokan harinya ia membagi-bagikan harta tersebut [kepada kaum muslimin]. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 1/32)
Istri, anak, kerabat dan kaum muslimin yang hidup pada zaman sahabat dan tabi’in banyak menceritakan kisah-kisah kedermawanan Thalhah lainnya. Riwayat mereka terukir dengan indah dalam kitab-kitab sejarah sehingga masih bisa menjadi pelajaran bagi umat Islam sampai hari akhir.
Saudaraku seislam dan seiman…
Kita memiliki dua tangan yang normal, tidak cacat dan tidak lumpuh. Tapi bisa dipastikan perjuangan dan pengorbanan tangan kita untuk memperjuangkan Islam tidak ada apa-apanya dibandingkan tangan Thalhah bin Ubaidillah. Bisa dipastikan infak fi sabilillah yang dikeluarkan oleh tangan kita tidak ada apa-apanya dibandingkan infak Thalhah bin Ubaidillah.
Jika kita mustahil mampu menyamai amal kedua tangan Thalhah bin Ubaidillah, setidaknya kita harus berusaha untuk meniru jejaknya sesuai kemampuan maksimal kita. Allah Ta’ala hanya memerintahkan kita untuk beramal sesuai kemampuan maksimal kita. Allah Ta’ala tidak menuntut kita berbuat lebih dari itu. Dan bulan suci Ramadhan ini adalah wahana yang paling baik untuk hal itu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)