BANGKOK (Arrahmah.com) – Lebih dari 200 manusia perahu yang ditahan di Thailand selatan akan kembalikan secara paksa ke laut, kata polisi pada Senin (10/11/2014), meskipun kelompok hak asasi telah menyerukan untuk menghentikan kebijakan yang menempatkan calon pencari suaka dalam bahaya.
Sekitar 259 orang ditemukan di laut pada Sabtu (8/11) dan ditangkap karena memasuki negara itu secara ilegal.
Para pengungsi Muslim Rohingnya tersebut ditemukan di sekitar 3 km (1,86 mil) dari pantai menyusul apa yang disebut oleh LSM sebagai eksodus laut besar-besaran Rohingya dari negara tetangga Myanmar, yang merupakan kelompok minoritas Muslim yang tidak memiliki kewarganegaraan, dari bagian barat negara itu.
“Rata-rata sekitar 900 orang meninggalkan negara itu dengan perahu sejak pertengahan bulan lalu. Kami melihat eksodus laut besar-besaran yang berjumlah hampir 10.000 orang,” kata Chris Lewa dari Arakan Project, sebuah kelompok advokasi Rohingya.
Lewa juga menambahkan bahwa rasa putus asa yang meningkat menjadi salah satu alasan mereka untuk meninggalkan Myanmar.
Pihak berwenang di distrik Kapoe Thailand mengatakan bahwa belum jelas apakah kelompok -kelompok itu adalah Rohingya, tetapi dari wawancara dengan beberapa kelompok, menunjukkan bahwa mereka sedang menuju Malaysia untuk mencari pekerjaan atau untuk bergabung dengan suami mereka.
Sebanyak 259 dari manusia perahu itu akan dikembalikan ke kapal mereka dan dipulangkan ke Myanmar, kata Kolonel Polisi Sanya Prakobphol, kepala polisi distrik Kapoe.
“Mereka adalah Muslim dari Myanmar … Mereka adalah imigran gelap,” kata Sanya kepada Reuters melalui telepon.
“Jika mereka datang maka kita harus mengusir mereka…setelah mereka menyeberangi perbatasan laut Myanmar maka tindakan tersebut bisa dikatakan sebagai memulangkan mereka. Apa yang mereka lakukan kemudian, itu masalah mereka,” katanya.
Puluhan ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri dari negara bagian Rakhine Myanmar sejak 2012, ketika serangan kekerasan oleh Buddha Rakhine telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan sekitar 140.000 kehilangan tempat tinggal.
Kebanyakan Rohingya hidup dalam kondisi yang mirip seperti pada zaman apartheid dan memiliki sedikit atau tidak memiliki akses untuk pekerjaan, sekolah ataupun layanan kesehatan.
Kapal-kapal reyot mereka seringkali berlayar dari Myanmar dan Bangladesh menuju Thailand di mana, seperti yang dilaporkan Reuters tahun lalu, kelompok perdagangan manusia kemudian menahan ribuan manusia perahu itu di kamp-kamp dalam hutan sampai keluarga mereka membayar uang tebusan untuk membebaskan mereka.
Kesaksian dari korban warga Bangladesh yang selamat dan Rohingya dalam laporan khusus Reuters pada Oktober memberikan bukti adanya perubahan yang dramatis dalam taktik perdagangan.
Sanya mengatakan bahwa sebanyak 259 orang itu saat ini ditahan di balai kota dan akan menjaga mereka, tetapi mereka akan segera dibawa kembali ke kapal.
“Siapa yang akan memberi mereka makan? Saya berjuang setiap hari untuk memberi makan mereka,” kata Sanya.
“Tidak ada negara yang ingin orang luar untuk datang ke negara mereka.”
Menurut laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS terkait dengan perdangan manusia, Thailan berada dalam kategori terendah sebagai negara yang terburuk dalam menangani perdagangan manusia, kategori yang sama seperti Korea Utara dan Republik Afrika Tengah.
Pada bulan yang sama, militer Thailand berjanji untuk mencegah dan menekan kasus perdagangan manusia, setelah merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih pada 22 Mei.
(ameera/arrahmah.com)