BANGKOK (Arrahmah.com) – Beberapa hari sebelum Pemilu yang diselenggarakan pada Ahad (3/7/2011), pemerintah Thailand melarang kampanye apapun via media sosial seperti Facebook maupun Twitter.
Larangan tersebut terkait tidak diperbolehkannya mengomentari kandidat atau partai manapun sejak pukul 18.00 Sabtu (2/7) kemarin hingga Ahad (3/7) tengah malam nanti, ketika hasil Pemilu sudah bisa diketahui. Jika melanggar, aparat kepolisian tidak segan-segan menjebloskan pelaku ke penjara.
“Kandidat maupun pendukung yang tertangkap melakukan kampanye pada situs-situs jejaring sosial pada periode itu terancam hukuman penjara,” jelas Sekjen Komisi Pemilu Suthiphon Thaveechaiyagam seperti dikutip Reuters.
Jika melanggar terancam hukuman penjara maksimal enam bulan dan denda sebesar 10 ribu baht atau USD330. Kabarnya Pemerintah Thailand telah mengerahkan sekira 100 petugas polisi untuk memastikan kebijakan itu dilaksanakan.
Larangan ini juga berlaku untuk pengiriman SMS serta email berantai. Selain itu, seperti yang selalu dilakukan pada Pemilu sebelumnya, pemerintah juga melarang penjualan alkohol pada periode yang sama.
“Kami bisa langsung melacak asal pesan online itu, kami akan memblokir situsnya dan melakukan penangkapan. Tapi jika situsnya terdaftar di luar negeri dan tidak bisa dicek asalnya, pertama kami akan melakukan pemblokiran kemudian mengontak pihak penyedia IP untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut,” jelas juru bicara kepolisian Prawut Thavornsiri.
Tentu saja, kebijakan tersebut menuai protes dari berbagai kalangan dengan alasan bahwa pemerintah telah membungkam kebebasan bicara mereka.
“Mustahil menghentikan seseorang berkomunikasi lewat media sosial. Kita hidup di jaman digital dan sudah seharusnya mempromosikan demokrasi. Mengapa harus ada kebijakan ini?” ketus Pavin Chachavalpongpun dari Institute of Southeast Asian Studies di Singapura. (rasularasy/arrahmah.com)