BANGKOK (Arrahmah.com) – Organisasi Human Rights Watch (HRW) menuding pemerintah Thailand berniat memisahkan keluarga Uighur karena memberi pilihan bagi siapa yang akan pergi ke Turki dan siapa yang akan pergi ke Cina pada bulan ini.
Sunai Phasuk, perwakilan HRW Thailand, mengklaim dalam Bangkok Post edisi Sabtu (11/7/2015) bahwa anggota keluarga perempuan dan anak-anak dikirim ke Turki, sementara laki-laki dewasa di antara mereka -dan sebagian perempuan- dikirim ke Cina, lansir Anadolu Agency (AA).
“Segera setelah pemerintah Thailand dipuji karena mengirim lebih dari 170 wanita dan anak-anak yang berbahasa Turki ke negara pilihan mereka, pada saat yang sama pemerintah membuat kebalikan pada kebijakannya dengan mengirim para pria berbahsa Turki itu ke sebuah negara yang mereka tidak ingin pergi ke sana,” kata Phasuk dalam laporan itu.
HRW menekankan dalam sebuah pernyataan pada Jum’at (10/7) bahwa pendeportasian para imigran Muslim Uighur menghadapi resiko penganiyaan di Cina.
“Orang Uighur yang sebelumnya dipaksa dikembalikan ke Cina telah menghadapi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan penuntutan pidana,” katanya.
Pemerintah Thailand mengelak tuduhan itu pada Sabtu.
“Kebijakan kami bukanlah untuk memisahkan para keluarga dan polisi imigrasi melakukan yang terbaik untuk menerapkan kebijakan itu,” kata Anusit Kunakorn, sekjen Dewan Keamanan Nasional Thailand, kepada Bangkok Post.
Kunakorn menegaskan bahwa 140 wanita dan 32 anak-anak Uighur dikirim ke Turki pada 2 Juli dengan dukungan pemerintah Turki.
Phasuk sebelumnya mengatakan bahwa 173 Uighur dikirim ke Turki, artinya -jika benar- hanya seorang pria di dalam pesawat itu.
Mereka “tidak terlibat dalam aktivitas ilegal,” katanya menggaris bawahi.
Dia mengatakan bahwa para imigran Uighur dikirim ke Cina pada Kamis termasuk 85 pria dan 24 wanita “yang diverifikasi sebagai warga Cina oleh pemerintah Cina.”
Menurut polisi imigrasi Thailand, saat ini ada 60 warga Uighur yang masih di tahan di Thaland -52 laki-laki, empat wanita dan empat anak-anak- yang sedang melalui proses “verifikasi kewarganegaraan”.
Thailand telah menghadapi kritik dan protes dari Turki, Uni Eropa dan Amerika Serikat di antaranya, bersama dengan UNHCR dan kelompok-kelompok hak asasi manusia karena tindakannya mendeportasi para imigran Uighur itu ke Cina, karena dikhawatirkan mereka akan menghadapi penganiayaan dari otoritas Cina.
Sementara itu departemen konsulat dan visa Thailand di Turki masih ditutup sejak diserang massa pada 8 Juli.
“Departemen konsulat ini akan dibuka kembali dan melanjutkan untuk melayani saat kondisi telah normal,” kata Kedutaan Besar Thailand di Ankara dalam sebuah pernyataan pada Jum’at.
Muslim Uighur yang mayoritas tinggal di Xinjiang telah mengalami kebijakan represif dari pemerintah Cina yang membatasi aktivitas keagamaan, komersial dan kebudayaan mereka. (siraaj/arrahmah.com)