BANGKOK (Arrahmah.com) – Ditengah seruan kelompok hak asasi manusia agar pemerintah Thailand tidak mengembalikan secara paksa warga Uighur ke Cina karena mereka rentan mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh otoritas Cina, pemerintah Thailand malah menghukum puluhan pencari suaka tersebut dengan mengharuskan mereka membayar denda masing-masing sebesar 4.000 Baht oleh pengadilan di Thailand Selatan, sebagaimana dilansir oleh onislam, Sabtu (15/3/2014).
“Pemerintah Thailand harus menyadari bahwa warga Uighur yang dipaksa kembali ke Cina lenyap ke dalam ‘lubang hitam’,” kata Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan di situsnya.
“Mereka (pemerintah Thailand) harus mengizinkan semua anggota kelompok ini untuk mendapatkan akses ke proses persidangan yang adil, untuk menentukan klaim terhadap mereka berdasarkan kelayakan mereka, bukan berdasarkan pada tuntutan Beijing,” tambahnya.
Kelompok warga Uighur, mayoritas Muslim, merupakan minoritas Turki yang berasal dari Cina barat, ditemukan pada Rabu (13/3) di sebuah kamp rahasia di perkebunan karet di distrik Ratapoom, provinsi Songkhla. Kelompok ini terdiri dari 78 pria, 60 wanita dan 82 anak-anak.
Para pencari suaka, yang tampaknya bersiap-siap untuk menuju di tempat lain, menyebut diri mereka sebagai warga Turki, karena khawatir akan dikembalikan ke Cina.
Namun para aktivis hak asasi manusia yang berbasis di AS itu telah mengidentifikasi mereka sebagai warga Uighur, yang berbicara dalam bahasa Turki. Mereka merupakan kelompok mayoritas Muslim dari wilayah Xinjiang Cina.
Pemerintah Thailand menghukum kelompok tersebut untuk membayar denda masing-masing sebesar 4.000 Baht oleh pengadilan di Thailand Selatan.
Para pria akan ditahan oleh pihak imigrasi dan para wanita dan anak-anak akan dibawa ke tempat penampungan, kata Mayor Jenderal Polisi Thatchai Pitaneelaboot kepada Agence France Presse (AFP) melalui telepon.
Xinjiang, yang aktivis menyebut sebagai Turkestan Timur, telah otonom sejak tahun 1955 namun terus menjadi subyek tindakan kekerasan keamanan besar-besaran oleh otoritas Cina.
Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang Cina melakukan penindasan terhadap Muslim Uighur di Xinjiang atas nama terorisme.
Melihat nasib pengungsi Uighur yang masih belum jelas, Departemen Luar Negeri AS telah mendesak Thailand “untuk memberikan perlindungan penuh” untuk para pencari suaka tersebut.
“Kami prihatin terhadap nasib warga Uighur umumnya, menurut laporan yang diterima bahwa warga Uighur tersebut berhasil diselamatkan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Marie Harf kepada wartawan, Jum’at (14/3) di Washington.
“Kami mendorong Thailand untuk memastikan kebutuhan kemanusiaan mereka terpenuhi.”
The Uighur American Association, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di Washington, juga telah menyuarakan keprihatinan mereka atas nasib warga Uighur.
Kelompok ini mendesak pemerintah Thailand untuk bekerja sama dengan Komisi Tinggi PBB untuk mengatasi permasalah para pengungsi tersebut.
“Kelompok Uighur seharusnya tidak menjadi ujian bagi hubungan Thailand dengan Cina, tetapi ini merupkan pengujian atas kemampuan Thailand untuk mengikuti standar internasional terkait dengan penanganan masalah pengungsi,” kata presiden asosiasi Alim Seytoff.
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi beberapa insiden dimana warga Uighur secara paksa dikembalikan ke Cina dengan melanggar hukum internasional, khususnya dari Asia Tenggara, rute yang umum bagi orang-orang yang melarikan diri dari Cina.
Pada bulan Desember 2009, Kamboja mengembalikan secara paksa 20 warga Uighur meskipun sudah ada surat dari kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) terkait dengan “orang-orang yang perlu mendapat perhatian”, yang dikirim kepada semua anggota kelompok.
Pada tanggal 31 Desember 2012, Malaysia mendeportasi enam pria Uighur kembali ke Cina setelah sebelumnya menahan mereka dengan tuduhan berusaha meninggalkan Malaysia dengan paspor palsu.
Thailand telah lama menjadi pusat perdagangan manusia, dengan ribuan Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar yang melewati wilayah kerajaan Thailand dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2013, banyak pengungsi Rohingya yang menduga bahwa pejabat Thailand terlibat dalam perdagangan manusia. (ameera/arrahmah.com)