Khairul Ghazali sebenarnya bukanlah seorang yang masuk dalam jaringan terorisme dan tidak dikenal di kalangan jihadis. Berdasarkan fakta dan data yang ada, ia hanyalah ustadz biasa dan ahli sejarah yang piawai menulis buku-buku agama dan motivasi, selain ia ahli bekam dan herbalis. Bukunya beredar luas di Malaysia.
Bagi pihak yang ingin mengacaukan gerakan jihad di Indonesia, posisi Ghazali ini sangat penting dari sisi ketokohannya sebagai ustadz, penulis dan ahli sejarah. Ia misalnya pernah ditekan untuk mengeluarkan pengakuan bahwa perampokan CIMB, penyerangan polsek Hamparan Perak dan pelatihan militer (tadhrib ‘askary) di pegunungan Jantho Aceh Besar terkait dengan Abu Bakar Baasyir. (rujuk wawancara TV One dengan Khairul Ghazali, awal Oktober 2010).
Begitu pentingnya peran Ghazali ini tidak aneh bila kemudian ia dipisahkan dari kawan-kawannya di rutan Poldasu Medan, dan dipindahkan entah kemana, jauh sebelum ia divonis 6 tahun penjara. Yaitu sejak beredarnya surat pengakuan Tobat dan Ishlahnya yang dibeberkan di sebuah situs yang kemudian disebarkan oleh beberapa situs lainnya.
Dalam secarik kertas, Khairul Ghazali membeberkan apa yang terjadi sebenarnya. Ia ditangkap oleh Densus 88 di rumahnya di Tanjung Balai, Medan. Saat itu ia sedang shalat bersama empat orang muridnya. Dua di antaranya ditembak mati oleh Densus 88, satu lagi melarikan diri dan dua ditangkap. Ia kemudian digelandang ke Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. Di tempat inilah, menurut pengakuan Ghazali, rekayasa itu terjadi. “Setelah memasuki bulan ke-6 dalam tahanan thaghut, ana mulai menyadari bahwa apa yang ana lakukan selama ini, seperti wawancara di TV One awal oktober 2010, keterangan-keterangan sebelum dan pasca penyidikan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, yang penuh teror, intimidasi, ancaman, dan janji-janji thaghut, sampailah kepada kesaksian untuk Ustadz ABB, semua keterangan-keterangan dan kesaksian itu ana tarik balik (batalkan) dan menegaskan konsistensi (keistiqamahan) di jalan dakwah wal jihad dengan segala risiko dan akibat yang siap ana pikul,” tulisnya dalam surat tersebut.
Menurut berbagai sumber yang mengonfirmasi kebenaran surat tertanggal 9 Maret 2011, bermeterai 6000 dan ditandatangani oleh Khairul Ghazali, munculnya surat tersebut ke media akan mengakibatkan risiko tersendiri bagi Ghazali di tahanan. Buktinya, beberapa hari setelah surat tersebut beredar, Khairul Ghazali dipindahkan ke rutan lain. Sampai sekarang, keberadaan Khairul Ghazali tidak diketahui.
Dari rutan yang tidak diketahui inilah muncul berbagai rekayasa baru. Pertama dengan munculnya buku Ghazali yang berjudul “Aksi Perampokan Bukan Fa’i”. Tidak tanggung-tanggung, buku tersebut dilauncing pada 16 Agustus 2011 di hotel Madani Medan yang dijaga ketat oleh ratusan personil Brimob, diresmikan oleh kepala BNPT Ansyad Mbai dengan mengundang kalangan akademisi, ulama dan tokoh-tokoh ormas Islam.
Kedua, muncul buku kedua Khairul Ghazali yang lebih menyentakkan yaitu “Mereka Bukan Thaghut”, dilauncing di hotel Shahid Jakarta, 17 Desember 2011. Peluncuran buku ini juga diresmikan oleh Ansyad Mbai dengan pengawalan ketat ratusan personil Brimob, dihadiri pula oleh Abu Rusydan, Dja’far Umat Thalib dan berbagai kalangan akademisi, ulama dan tokoh-tokoh ormas Islam.
Bagitu pentingnya peran Ghazali ini tidak aneh bila ia dikawal cukup ketat dalam setiap peluncuran bukunya. Padahal, selama ini tidak ada peluncuran buku yang melibatkan tersangka teroris. Begitu pula tidak ada wawancara khusus televisi atau media massa lainnya kepada tersangka teroris. Lha kok ini malah sengaja?
Adanya rekayasa yang men-setting Khairul Ghazali ini mulai terungkap dengan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi setiap kali aksi launching. Saksi-saksi mata yang merahasiakan identitasnya kepada penulis, dan juga berdasarkan pengalaman beberapa orang yang mengikuti launching buku Mereka Bukan Thagut di hotel Shahid beberapa waktu yang lalu, terkuak fakta Ghazali dikelilingi oleh Densus dan diawasi gerak-geriknya dengan menggunakan alat perekam dan kamera canggih. Pengawalan yang super ketat ini mengindikasikan Ghazali dalam keadaan “dipaksa” atau “ditekan” untuk mengikuti arahan BNPT agar tidak memberikan statemen yang dianggap bisa merugikan program busuk mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa baik buku Aksi Perampokan Bukan Fa’i maupun buku Mereka Bukan Thagut, sarat dengan rekayasa pihak-pihak tertentu yang disponsori oleh BNPT yang tengah gencar memasarkan program-program deradikalisasinya yang nyeleneh. Sehingga sangat pantas untuk diragukan kebenaran buku-buku yang ditulis Ghazali itu, jangan-jangan tulisan yang berbentuk propaganda itu sengaja ditulis oleh pihak lain dan “dinisbatkan” kepada Ghazali karena kedudukannya yang strategis sebagai penulis, ustadz dan ahli sejarah yang sedang mendekam di balik jeruji penjara.
Sebagai umat yang dituntut untuk senantiasa husnuzhon kepada sesama mukmin, kita jangan tergopoh-gopoh hanyut dalam alur yang diciptakan oleh pihak-pihak thaghut, apalagi sampai memvonis munafik, kafir dan sebagainya kepada Khairul Ghazali yang belum tentu terlibat dalam penulisan buku-buku tersebut. Apalagi keberadaannya di dalam tahanan Densus kini seolah-olah ditelan bumi. Dengan keadaan Ghazali yang terisolasi tersebut, sangat mudah bagi thaghut untuk membuat grand design yang memecahbelah kesatuan mujahidin. Waspadalah!
Jakarta, 16 Januari 2012.
Arifin S. Koto