Selama lebih dari lima tahun, Brandon Bryant bekerja untuk Angkatan Udara AS, membantu mengoperasikan beberapa pesawat tak berawak, kendaraan paling kontroversial di dunia. Dalam sebuah wawancara di NBC News pada hari Kamis (6/6/2013), dia menggambarkan trauma psikologis yang dia derita setelah berhenti menjadi operator drone.
Bryant memberikan gambaran tentang adegan mengerikan saat senjata-senjata mematikan yang disebut-sebut telah membunuh lebih dari 1.600 orang itu membidik target mereka hingga misi dianggap “sukses”.
“Orang yang berlari itu, dia kehilangan kaki kanannya,” kenangnya. “Dan saya menyaksikan orang itu kehabisan darah,” kata Bryant yang menjelaskan bahwa dia dan timnya bisa menyaksikan insiden itu di layar komputer mereka. Bryant kemudian berkata bahwa ketika pria itu meninggal, tubuhnya menjadi dingin. Hal itu terlihat dari citra termal yang berubah, sampai akhirnya tubuh pria itu terlihat menjadi sama dengan warna tanah.
Bryant mengatakan adegan seperti itu akhirnya membuatnya merasa seperti “sosiopat” yang telah “kehilangan respek terhadap kehidupan.” Dia kemudian berhenti dari Angkatan Udara AS.
Bryant mengatakan bahwa dia kini menderita berbagai gangguan seperti kemarahan dan susah tidur. Dia juga telah didiagnosa menderita gangguan stres Post-traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pada bulan Desember, dalam wawancaranya dengan surat kabar Jerman Der Spiegel, Bryant menjelaskan bahwa dia yakin salah satu dari serangan-nya telah tidak sengaja membunuh seorang anak. Atasannya malah bersikeras bahwa anak itu adalah seekor anjing.
Banyak korban yang telah gugur dalam serangan pesawat tak berawak AS. Richard Engel dan Robert Windrem dari NBC News melaporkan pada hari Rabu bahwa laporan intelijen rahasia dari CIA telah menunjukkan bahwa tidak selalu diketahui siapa yang ditargetkan dan siapa yang terbunuh dalam serangan drone di Pakistan selama periode 14 bulan.
David Wood dari HuffPost melaporkan bahwa di bulan Mei para operator drone merasakan ketegangan emosional sebagai akibat dari pekerjaan mereka:
Sebagian besar stres “berasal dari ketidakberdayaan yang bisa mereka rasakan,” kata Mayor Angkatan Udara Shauna Sperry, psikolog yang telah bekerja di dalam fasilitas ini sejak November. “Mereka begitu muda,” kata Sperry kepada The Huffington Post. “Mereka melakukan apa yang ‘harus’ mereka lakukan, tapi ada banyak korban yang berjatuhan.”
Ditanya tentang “cedera moral,” pelanggaran prinsip-prinsip moral seseorang, dia berkata: “Itu deskripsi yang cukup akurat dari apa yang beberapa orang di sini alami, mereka melihat hal itu terjadi dan tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengubahnya.”
Anehnya, meskipun begitu nyata kompleksitas dan kontroversi seputar penggunaan drone, jajak pendapat Wall Street Journal / NBC News yang dirilis pada hari Rabu menemukan bahwa 66 persen orang Amerika malah mendukung serangan menggunakan pesawat tak berawak AS. Hanya 16 persen yang mengatakan bahwa mereka menentang penggunaan drone. (banan/arrahmah.com)