JAKARTA (Arrahmah.com) – Tervonis pidana penjara 2 tahun perkara penodaan agama oleh Majelis Hakim PN Jakarta Utara, Ahok, penahanannya tidak bisa ditangguhkan. Ketua Umum Aliansi Advokat Muslim NKRI Al Katiri mengatakan, upaya penangguhan penahanan untuk Ahok, merupakan hal yang sia-sia.
“Mengapa demikian? Karena antara putusan pemidanaan dan perintah penahanan adalah satu kesatuan yang terintegrasi. Keduanya dapat dibedakan. Namun, tidak dapat dipisahkan,” kata Al-Katiri dikutip Republika.co.id, Jumat, (12/5/2017).
Al-Katiri menuturkan, ketika pengadilan menjatuhkan putusan, maka kewenangan melekat pada majelis hakim sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 193 Ayat (2) KUHAP. Ada dua opsi kewenangan yang dimiliki hakim setelah menyelesaikan proses pemeriksaan perkara. Opsi pertama, ketika Ahok tidak ditahan, maka hakim dapat memerintahkan Ahok untuk ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup. Ini yang telah dilakukan hakim saat memvonis Ahok.
Opsi kedua, jika seandainya Ahok ditahan, hakim dalam putusannya dapat memerintahkan Ahok tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya jika tidak terbukti bersalah.
Perintah yang bersifat pilihan ini, kata Al-Katiri, dipertegas pada Pasal 197 KUHAP. Pada ayat (1) huruf k disebutkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Terhadap tidak dipenuhinya ketentuan tersebut akan berimplikasi berupa putusan “batal demi hukum” (Pasal 197 Ayat (2) KUHAP).
“Jadi, norma hukum pada Pasal 197 bersifat imperatif, konsekuensi yuridis berupa kebatalan putusan bersifat otomatis,” kata Al-Katiri memerinci.
Menurut Al-Katiri, terhadap putusan yang dinyatakan “batal demi hukum” menurut teori hukum diartikan sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) dan tidak memiliki nilai apa pun secara hukum (legally null and void). “Maka jika ada hal seperti itu dengan sendirinya tidak dapat dilakukan eksekusi,” katanya.
Al-Katiri menegaskan, perintah pengadilan yang secara serta merta menahan Ahok dalam rutan harus dimaknai sebagai keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law) sehingga tidak boleh diabaikan. Karena, majelis hakim telah benar menerapkan norma hukum bahwa faktanya Ahok sebelumnya belum pernah ditahan. Maka, pada saat putusan pemidanaan dijatuhkan, seketika itu pula perintah penahanan dibacakan dalam amar putusan.
Putusan Mahkamah Agung dalam No.169 K/Pid/1988, menyatakan batal demi hukum putusan pengadilan tinggi karena tidak memenuhi Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP. Perintah penahanan secara serta-merta (uitvoerbarr bij voorrad, pada hukum pidana), memiliki kekuatan berlaku walaupun ada banding dan kasasi.
“Berdasarkan uraian di atas, secara hukum upaya penangguhan penahanan tidak dapat diterima. Penangguhan hanya dapat dilakukan dalam tahap penyidikan sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 31 Ayat (1) KUHAP),” katanya.
Al-Katiri mengatakan, putusan pemidanaan dan perintah penahanan harus diterima sebagai kenyataan hukum yang pasti. Karena sudah nenjadi suatu prinsip bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) sampai adanya putusan pengadilan diatasnya yang berwenang membatalkan putusan tersebut.
Al-Katiri menuturkan, majelis hakim yang memutus perkara Ahok, tentunya mengetahui adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-X/2012 yang dalam amar putusan menyatakan bahwa putusan yang tidak mencantumkan Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP “tidak batal demi hukum”. Mahkamah juga membatalkan ketentuan huruf k pada Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Namun, pencantuman Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP pada putusan pemidanaan terhadap Ahok, menurut Al-Katiri, lebih ditujukan kepada penegasan kepentingan Pasal 21 KUHAP, yakni adanya kekhawatiran yang bersangkutan akan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya.
“Adapun merusak atau menghilangkan barang bukti, kiranya tidaklah relevan,” katanya. Jadi, kata Al-Katiri, perintah penahanan oleh pengadilan tidaklah bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi perintah penahanan terkait dengan menegakkan hukum dan keadilan. “Adapun upaya banding dan mungkin kasasi tidaklah ditujukan kepada perihal penahanan. Namun, ditujukan kepada putusan pemidanaan,” katanya.
Diketahui, massa pendukung terpidana Ahok sampai saat ini masih tidak terima atas vonis dua tahun penjara. Mereka menggelar aksi rasa yang melanggar UU terkait waktunya, yakni hari linur nasional dan batas waktu unjuk rasa. Mereka juga mengupayakan penangguhan penahanan agar Ahok tidak ditahan.
(azm/arrahmah.com)