CALIFORNIA (Arrahmah.id) – Perekrutan lebih dari 100 mantan mata-mata dan tentara ‘Israel’ oleh Meta, banyak di antaranya memiliki hubungan dengan Unit 8200, telah memicu pertanyaan besar tentang komitmen perusahaan tersebut terhadap kebebasan berbicara. Pengungkapan ini menyoroti keterlibatan Meta dalam penindasan suara-suara pro-Palestina selama serangan ‘Israel’ yang sedang berlangsung di Gaza.
Sebuah laporan oleh The Gray Zone telah mengungkap bahwa Meta merekrut lebih dari 100 tentara dan mata-mata ‘Israel’. Di antara mereka yang direkrut adalah Shira Anderson, kepala kebijakan AI Meta, seorang pengacara Amerika yang menjadi sukarelawan untuk tentara ‘Israel’ di bawah program Garin Tzabar yang terkenal kejam. Program ini memungkinkan orang non-‘Israel’ untuk bergabung dengan militer ‘Israel’. Anderson bertugas sebagai perwira bintara di militer ‘Israel’ dan menulis laporan propaganda, yang menghubungkannya erat dengan upaya militer di Gaza. Perannya di Meta sekarang melibatkan pembentukan kebijakan AI dan pesan hubungan masyarakat untuk raksasa teknologi tersebut.
Kasus Anderson bukanlah kasus yang unik. Semakin banyak mantan perwira intelijen ‘Israel’ yang kini menduduki posisi penting di Meta. Banyak di antaranya, termasuk mantan anggota unit intelijen ‘Israel’ 8200, bekerja dalam peran AI. Orang-orang ini, seperti Anderson, ditugaskan untuk mengarahkan masa depan AI di Meta, dan menyuarakan kekhawatiran tentang penyalahgunaan teknologi ini untuk menekan suara warga Palestina dan membuat daftar pembunuhan militer.
Mengingat penggunaan AI secara luas oleh ‘Israel’ untuk pengawasan militer dan genosida yang sedang berlangsung di Gaza, perekrutan mantan personel militer ‘Israel’ oleh Meta telah menuai sorotan serius. Pertanyaan terus muncul tentang apakah para spesialis dalam pengawasan dan AI ini telah membantu dalam pembuatan alat militer untuk menargetkan warga sipil. Ada laporan yang meresahkan bahwa Unit 8200 menyusup ke grup WhatsApp pribadi, menandai individu untuk dibunuh berdasarkan hubungan yang lemah dengan Hamas, terlepas dari konten grup tersebut.
Hubungan antara Meta dan militer ‘Israel’ melampaui latar belakang karyawan. Perusahaan tersebut menghadapi banyak pertanyaan tentang keterlibatannya dalam perjanjian pembagian data dengan militer ‘Israel’, termasuk bagaimana data pengguna WhatsApp dapat diakses oleh aparat intelijen ‘Israel’. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kejahatan perang, terutama mengingat genosida yang sedang dilakukan ‘Israel’ di Gaza.
Seiring AI terus membentuk lanskap digital, hubungan Meta yang semakin erat dengan pejabat militer ‘Israel’ menandakan masa depan yang mengerikan. Dengan orang-orang seperti Shira Anderson yang mengarahkan kebijakan AI di perusahaan tersebut, ada kekhawatiran nyata tentang implikasi etis dari teknologi pengawasan dan potensinya untuk menekan perbedaan pendapat. (zarahamala/arrahmah.id)