GAZA (Arrahmah.com) – Hidup sedemikian memilukan bagi keluarga Mustafa yang berjumlah tujuh orang, mereka hidup berjejalan di sebuah gubuk kumuh yang memiliki dua kamar sempit di kamp pengungsi Jabalya di Gaza.
Tujuh tahun berada dalam blokade “Israel” dan sepuluh bulan blokade Mesir yang melumpuhkan, pertumbuhan ekonomi Gaza telah mengalami krisis dan pengangguran melonjak menjadi hampir 40 persen pada akhir 2013.
Mereka hidup dari bantuan PBB yang terdiri dari beras, tepung, daging kaleng dan minyak bunga matahari, dengan akses yang terbatas ke perawatan kesehatan yang tepat atau air bersih. Keluarga seperti Mustafa – pengungsi tetap dari tanah leluhurnya yang sekarang dicaplok “Israel” – hidup dalam kemiskinan, tidak punya uang, tidak ada pekerjaan dan tidak ada harapan.
“Kami tenggelam … Kami merasa seperti seluruh dunia berada di atas kami. Saya menyalakan televisi dan saya melihat gaya hidup di luar sana, dan saya merenung, Tuhan, bantu saya meninggalkan tempat ini,” kata Tareq, (22), sebagaimana dilansir oleh Wordbulletin, Kamis (17/4/2014).
Keluarga mustafa seringkali harus pindah ketika hujan membanjiri rumah mereka yang berada di dataran rendah. Mereka hidup dalam kegelapan akibat pemadaman listrik seluruh Gaza karena kekurangan bahan bakar.
“Tidak ada uang untuk kuliah atau untuk menikah. Tiadak ada uang bahkan untuk keluar rumah, sehingga kami bisa sedikit melarikan diri. Hidup macam apa ini?” Tareq bertanya.
Lebih dari setengah penduduk Gaza menerima bantuan makanan dari PBB, dan jumlahnya terus meningkat.
Badan pengungsi PBB UNRWA mengatakan kepada Reuters bahwa jumlah pengungsi yang membutuhkan bantuan pangan sebanyak 820,000 orang, atau meningkat sebanyak 40.000 dari tahun lalu. Program Pangan Dunia PBB (WFP) memberikan bantuan pangan untuk sekitar 180.000 warga lainnya.
Lebih dari 1,2 juta dari 1,8 juta warga Gaza adalah pengungsi atau keturunan mereka melarikan diri atau diusir dari tanah leluhur mereka yang dicaplok “Israel” dalam perang tahun 1948.
Beberapa dekade telah berlalu, tangan penjajah telah kuat mencengkram tanah leluhur mereka, dan lambat laun tanah leluhur mereka yang suci telah menjelma menjadi perkampungan Yahudi, dan harapan perubahan bagi warga Gaza terasa sempit seperti sempitnya gang-gang sesak di wilayah Gaza yang miskin.
Dalam hal ekonomi penduduk, barangkali tempat seperti Sierra Leone merupakan satu-satunya tempat di mana orang mengalami apa yang dialami oleh warga Gaza setiap hari.
Krisis ini meruntuhkan Jalur Gaza yang sangat rapuh, tidak hanya di kalangan warga miskin, tetapi juga bagi mereka yang sakit. Saat kesehatan dasar dan indikator ekonomi melampaui sebagian besar wilayah Afrika, meningkatnya ketergantungan terhadap bantuan dan kehidupan yang terkurung telah menelan banyak korban.
Menggerutu terhadap pemimpinan mereka yang dianggap tidak mampu adalah hal yang umum di antara warga Gaza, tapi banyak yang mengatakan bahwa warga Gaza akan tetap berada di belakang Hamas karena ketahanan kelompok tersebut.
“Seluruh dunia melawan Hamas. Mereka tentu saja bukan malaikat. Mereka juga bisa berbuat kesalahan Tetapi jika mereka pergi ke depan dan mengakui “Israel”, orang-orang di sini akan meludahi mereka… Popularitas mereka akan menguap dalam semalam,” kata Zakaria Shurafa, seorang sopir yang sedang mengambil jatah bantuan pangan PBB untuk keluarganya di sebuah pusat distribusi pangan yang sibuk di dekat kamp pengungsi yang berada di pinggir pantai.
(ameera/arrahmah.com)