Oleh: K. Mustarom
(Arrahmah.com) – Kata ‘terorisme’ pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka sebagai ‘Terror’ dan kebijakan mereka disebut ‘Terorisme’. Kata ini pada awalnya berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok pemberontak. Definisi ini bahkan pernah diakomodir dalam Kamus Oxford, yang mendeskripsikan terorisme sebagai “pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan dilaksanakan oleh partai yang memiliki kekuatan”. Jika definisi ini tetap bertahan, kebanyakan pemerintahan yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan sebagai teroris.
Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat. Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah bentuk terorisme negara.
Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan kelaparan, dan genosida di abad ke 20. Pada dua dekade terakhir abad ke-20 sendiri, sekitar 300.000 orang “dihilangkan” oleh agen negara di seluruh dunia.
Gagasan bahwa “terorisme adalah senjata bagi yang lemah” telah menjadi sebuah kebenaran yang seolah tidak bisa disangkal lagi. Kita sering diberitahu bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan dan sumber daya yang terbatas, lah yang
nekad melakukan kekerasan yang ngawur dan mengerikan. Sedangkan negara digambarkan hanya sekadar melakukan pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.
Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.
Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk, mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah. Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.
Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia terbunuh oleh serangan bom atom dan ‘kampanye pengeboman’ yang ditujukan untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi teroris.
Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai, disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara dan proxy mereka di sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe, Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.
Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.
Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin melemah dan cenderung menghilang.
Executive Summary Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 6/ Mei 2017
(*/arrahmah.com)