Oleh: Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
(Arrahmah.com) – Terorisme adalah kosa kata yang populer ketika peristiwa serangan terhadap menara kembar WTC di New York 2001, pada saat itu Presiden AS George W Bush menegaskan sikapnya: ‘Perang kita terhadap teror akan dimulai dengan Al-Qaida, namun tidak akan berakhir dengan sampai di situ. Perang ini tidak akan berakhir hingga setiap kelompok teroris secara global dapat ditemukan, dihentikan dan dikalahkan.’ Penegasan Bush tersebut juga disertai pilihan bernada ancaman, anda bersama kami atau bersama teroris.
Kent Lyne Oots, mendefinisikan terorisme sebagai : (1) sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonimin atau material; (2) sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain; (3) sebuah tindakan kriminal bertendensi mencari publisitas; (4) tindakan kriminal bertujuan politis; (5) kekerasan bermotif politis; dan (6) sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis (Oots dalam Sihbudi, 1993: 94).
George Soros berpendapat, perang melawan terorisme merupakan hal yang menyesatkan karena kita tidak tahu pasti sosok dan keberadaan teroris. Jenis perang seperti ini rawan manipulasi. Terbukti, menurut Soros, para “ekstremis” dalam pemerintahan Presiden AS George W Bush menggunakannya sebagai alat pembenaran menginvasi Afganistan dan Irak (George Soros, America After 9/11: Victims Turning Perpetrators; Open Democracy, 20/5/2004).
Terorisme yang terekam oleh sejarah sejak abad pertama masehi. Pada masa itu orang-orang Zelot, kaum Yahudi yang menentang pendudukan Roma atas Palestina membunuh orang-orang Roma di siang hari di depan umum dalam rangka menakut-nakuti pemimpin Romawi di wilaya tersebut. Dalam dunia Muslim terorisme pertama kali.
Praktek terorisme terbesar dilakukan oleh bangsa Eropa saat menginvasi dunia-dunia baru dan merampok sumber daya di dalamnya. Ratusan juta manusia terbunuh karena keserakahan tersebut, terutama di benua Amerika dimana banyak suku asli di sana yang terbunuh karaena invasi Eropa.
Lenin (1870-1924), pemimpin revolusi Rusia, menggunakan terorisme sendiri setelah Revolusi Bolshevik Rusia tahun 1917dan bertanggungjawab untuk melancarkan Teror Merah melawan musuh-musuhnya pada musim panas 1918. Dipimpin oleh Felix Dzerzhinsky (1877-1926), pendiri polisi rahasia Bolshevik, Cheka, metode-metode teroris digunakan terhadap semua kelas sosial, terutama terhadap petani yang menolak menyerahkan padi mereka kepada pemerintah Soviet. Tetapi penggunaan teror negara oleh Lenin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dipraktekan oleh penggantinya, Josef Stalin (1878-1953), yang selama upaya Soviet melakukan kolektivisasi peternakan dan industrialisasi masyarakat telah membunuh jutaan warga Soviet. Pada 1934, Gulag (sistem kamp penjara untuk tahanan politik Soviet) menahan jutaan orang yang dituduh melakuakan segala macam kejahatan yang dibuat-buat. Gulag, yang kemudian hari menjadi terkenal melalui novel Alexander Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago, terdiri atas kamp-kamp kerja yang membentang melintasi Siberia dan jauh di Soviet utara dimana lebih dari satu juta orang meninggal.
Praktek terorisme juga dilakukan oleh rezim Mao Zedong, Frank Dikotter, seorang sejarawan Hong Kong yang dikutip melalui The Independent.co.uk, menemukan bahwa saat Mao menerapkan “Great Leap,” atau lompatan besar di tahun 1958-1962 untuk mengejar ketertinggalan ekonomi Cina dari Dunia Barat, sedikitnya 45 juta penduduk Cina telah terbunuh karena dipaksa bekerja, kelaparan atau dipukul dalam kurun waktu tersebut (empat tahun). Hal ini merupakan pembantaian terbesar ketiga pada bad ke-20 setelah Gulag di Soviet dan Holocaust.
Dan sekarang, praktek terorisme banyak juga dilakukan oleh negara seperti Israel yang banyak membunuh warga Palestina, Myanmar dengan etnis Rohingyanya, Suriah dibawa pimpinan Bashar Al Assad yang banyak membantai warganya sendiri, dan negara-negara lianya. Hal tersebut menunjukan bahwa kecenderungan terorisme bukan hanya dipraktekan oleh segolongan kaum radikal, namun juga oleh negara atau yang lazim disebut dengan “state-sponsored terrorism”.
David Duke berpendapat sebaliknya mengenai tudingan Bush terhadap Taliban dan Iraq terkait dengan terorisme. Ia dengan berani memilih jalur yang berseberangan dengan pendapat mayoritas publik AS dengan menyatakan bahwa Israellah yang semestinya ditempatkan pada posisi puncak sebagai target AS, sebab negara ini telah melakukan tindakan terorisme terhadap bangsa Palestina dan penghinatan secara sadar terhadap rakyat AS. Bagi Duke, Israel adalah surga teroris dan AS telah diperalat untuk memuaskan hawa nafsunya dengan mensupalai miliaran dolar yang diperoleh dari pajak rakyat AS untuk memenuhi kebutuhan persenjataan canggi yang digunakan untuk melakuakan pembunuhan terhadap bangsa Palestina (Duke, 2004: 11-26).
Simbiosis Barat dengan kaum Zionis Yahudi menemukan bentuk idealnya ketika mereka bersama-sama menghadapi kekuatan kaum Muslim yang saat itu berada di bawah naungan Daulah Islamiyah Utsmaniyah. Orang-orang Yahudi ‘rela’ mengubur permusuhannya dengan orang-orang Barat Kristen. Padahal mereka belum pupus ingatannya terhadap peristiwa yang menimpa warga Yahudi Eropa, tatkala Raja Spanyol yang beragama Katolik bertanggung jawab terhadap pembantaian dan pemusnahan kaum Yahudi dari daratan Eropa, tidak lama setelah jatuhnya benteng Islam terakhir di wilayah Andalusia–sekarang menjadi daerah Portugal dan Spanyol-tahun 1492.
Barat telah membuat keputusan
Sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet sebagai rival negara demokrasi-kapitalis Amerika Serikat di awal dekade 90-an terjadi perubahan konsep keamanan dalam Hubungan Internasional. Dahulu keamanan dipahai hanya berbicara mengani kalkulasi materi yang sangat bersifat tradisional yang militeristik. Konsep keamanan tersebut menkankan titik fokus pada negara, artinya negaralah sebagai objek yang perluh dilindungi dari ancaman. Namun semenjak berakhirnya Perang Dingin, muncul konsep keamanan baru, seperti “human security“, atau kemanan terhadap manusia. Konsep keamanan ini menitikberatkan pada perlindungan terhadap eksistensi manusia dengan dasar bahwa manusialah yang sebenarnya menjalankan negara dan juga manusialah yang menjadi alasan mengapa negara ada, yaitu untuk melindungi manusia dari anarki alamiah. Dari landasan tersebut maka masuklah terorisme sebagi musuh bersama umat manusia karena tindakan terorisme sendiri mengancam eksistensi manusia, melihat sasaran mereka ialah manusia.
Awal mula terorisme banyak menyita perhatian publik ketika terjadi peristiwa penabrakan pesawat komersil Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya telah dibajak oleh kelompok teroris ke gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Pemerintah AS berreaksi cepat dengan menerapkan kebijakan “war on terroris“, ditambah dengan bantuan media untuk membesarkan isu ini, berhasilah masyarakat dunia terkontuksi persepsinya untuk menganggap terorisme adalah musuh bersama terbesar mereka. Sayangnya, kontruksi musuh bersama tersebut diikuti pula dengan pengkontruksian masyarakat tentang kaitanya salah satu agama yang dekat dengan terorisme sehingga membuat jelek wajah agama tersebut. Agama yang dimaksud itu ialah Islam.
Selanjutnya Dewan Keamanan PBB merespon dengan mengeluarkan Resolusi 1373 yang dikeluarkan pada 28 September 2001.Resolusi tersebut bertujuan untuk membatasi segala aktivitas gerakan, organisasi dan pendanaan berbagai kelompok teroris. Negara-negara anggota PBB didorong untuk saling berbagi informasi intelijen yang berkenaan dengan kelompok-kelompok teroris. Namun resolusi tersebut belum memberikan definisi apa yang dimaksud dengan terorisme. Resolusi DK-PBB 1566 kemudian dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober 2004 untuk melengkapi kekurangan Resolusi DK-PBB 1373 dengan mendefinisikan bahwa Terorisme menurut DK-PBB ialah: ‘tindakan-tindakan kriminal, termasuk dari negara terhadap warganegara, yang menyebabkan kematian atau siksaan fisik atau penyanderaan yang dilakukan dengan tujuan menciptakan keadaan teror di tengah-tengah masyarakat umum atau sekelompok orang atau orang-orang tertentu, mengintimidasi suatu populasi atau memaksa suatu pemerintahan atau suatu organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.’
Di media internasional telah dilaporkan, dengan kedok semacam gugus tugas gabungan itu, intel-intel Inggris menyiksa orang-orang Muslim yang tidak bersalah di Pakistan. Kenyataan tujuan dibentuknya badan kontra terorisme itu adalah untuk dijadikan alat menghentikan kebangkitan Islam politik dan menyiksa kaum Muslim tak berdosa yang menuntut dicampakkannya penjajah dan antek-antek mereka dari negeri kaum Muslim.
Terorisme kini tak hanya sekadar perang melawan kejahatan oknum anak manusia, namun telah beralih menjadi sebuah perang ideologi. Sidney Jones, peneliti dari ICG (International Crisis Group) dalam sebuah acara dialog di televisi swasta mengakui bahwa perang melawan terorisme ini adalah perang ideologi. Perang ideologi ini juga ditegaskan oleh Pimpinan AS, Presiden George Bush saat dia berpidato di depan National Endowment of Democracy (Kamis, 6 Oktober 2005) dan dihadapan undangan the Ronald Reagan Presidential Library (dalam kesempatan lain). Bush menyebutkan secara jelas ideologi Islam di balik aksi-aksi terorisme dunia internasional, yang menjadi musuh nyata Amerika Serikat saat ini, ia mengatakan: ‘The murderous ideology of the Islamic radicals is the great challenge of our new century. Like the ideology of communism, our new enemy teaches that innocent individuals can be sacrificed to serve a political vision (Ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita. Seperti ideologi komunis, musuh baru kita mengajarkan bahwa individu yang tidak bersalah bisa dikorbankan untuk melaksanakan sebuah visi politik).
Implikasi terorisme ala definisi AS terhadap Indonesia
Adanya perbedaan sikap pemerintah dalam menyikapi antara terorisme dan gerakan separatisme, mengundang berbagai kritikan. Pemerintah sepertinya memberikan banyak kelonggaran terhadap tindakan yang nyata-nyata merupakan upaya memisahkan diri seperti yang terjadi di Aceh, Papua dan Maluku. Sampai-sampai di depan presiden aktivis RMS bisa mengibarkan bendera RMS meskipun belum benar-benar berkibar. Di Papua, polisi bahkan tidak bisa masuk ke dalam gedung , saat bendera Bintang Kejora dikibarkan dengan disertai teriakan merdeka berulang-ulang. Hal yang sama terjadi di Aceh, pembentukan partai GAM dengan bendera GAM, seperti tidak disikapi dengan serius , meskipun berbagai pihak telah banyak mengecam.
Beda halnya, saat sikap pemerintah terhadap apa yang dituduh sebagai terorisme. Sikap represif pun digunakan oleh pemerintah terutama oleh Densus 88 yang dibentuk untuk memerangi terorisme. Penahanan tanpa bukti yang jelas, penyiksaan untuk mendapat pengakuan, sampai tembak di tempat, menjadi lumrah dilakukan terhadap kelompok yang dituduh teroris.
Perbedaan sikap terhadap kelompok sepratisme dan kelompok yang dituduh teroris, menimbulkan anggapan bahwa pemerintah bertindak dengan arahan asing. Dukungan asing terhadap sepratisme membuat pemerintah ekstra hati-hati, karena khawatir dituduh melanggar HAM. Sementara itu, kelompok yang dianggap teroris diperlakukan represif untuk menunjukkan bahwa Indonesia mengikuti trend global perang melawan terorisme.
Pengamat Intelijen Umar Abduh menyayangkan pemerintahan yang ada tidak kritis baik itu legislatif, yudikatif, maupun eksekutif bahwa kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia itu untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan bangsa atau rakyat Indonesia. Tetapi tiba-tiba mengimpor terorisme ini untuk memecahbelah dan memusuhi bangsanya sendiri.
“Itu yang harus disadari. Ada intelijen pengkhianat! Kita tahu, maaf ya kita harus fair saja, Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) saat itu, tapi dia lah yang tahu dan memfasilitasi yang namanya Umar Faruq” tudingnya saat diundang seminar yang diselenggarakan HTI HIP ke-12 pada tahun 2009. Setelah ada Bom Bali, Faruq disebut sebagai agen CIA, agen Al Qaida di Indonesia. “Kok bisa-bisanya dia mengatakan begitu” tanyanya retoris.
Abduh pun menyebutkan bahwa Hendropriyono telah mem-backup secara penuh KW-9 pimpinan Abu Toto yang membuat pesantren Az Zaitun yang kontroversial itu karena dokrinnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam. “Kemudian kita juga tahu Hendro pula yang melindungi Az Zaitun, teroris moral itu namanya, teroris mental, teroris sosial!”. Padahal Megawati, yang sebelum reformasi disebut sebagai pintu masuknya asing ke Indonesia, tidak mau masuk ke Az Zaitun. “Jadi kalau mau dihitung jahat mana Megawati dibanding Hendro?” ujarnya.
Megawati pun menolak menyerahkan Abu Bakar Baasyir ke Amerika. Tapi Hendro menawarkan kepada Megawati skenario Musyaraf, menjadi orang seperti Musyaraf. Mengikuti apa saja yang dikatakan oleh Bush dan CIA. “Kita masih punya kedaulatan! Tetapi kenyataannya sebagai kepala BIN dia lah yang mengimpor kemudian mengecer dan menumpas terorisme itu sendiri,” tandas Abduh berang. Dalam talkshow yang bertema Mencari Dalang Terorisme itu Abduh menyebutkan, “Memang Hendro jadi dalangnya sampai dia lengser, saat SBY jadi presiden dia tidak jadi dalang lagi” akunya.
Tak disangkal, Indonesia termasuk target utama imperialisme modern Amerika. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meyakini program deradikalisasi merupakan proyek Amerika yang malah akan melanggengkan terorisme. “Saya sampai saat ini meyakini program deradikalisasi ini adalah proyek Amerika Serikat,” ujarnya dalam video yang ditayangkan dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah: Pemberantasan Terorisme yang Pancasilais dan Komprehensif, Jum’at (8/4) di Gedung Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta.
Dan mulai saat itulah pemerintah melakukan proyek deradikalisasi termasuk adanya deputi secara khusus yang menangani deradikalisasi di BNPT. Tetapi deradikalisasi yang dilakukan selama ini menempuh jalan yang keliru. Bukan untuk menghilangkan radikalisme itu. Tetapi deradikalisme mengambil bentuk radikalisme baru. Inilah dua ekstrimitas. Dari radikalisme dan deradikalisme.
Berkenaan dengan rekayasa Barat dalam wacana terorisme ini, kaum muslim perlu membangun opini dan sikap yang benar sebagai tandingan terhadap opini-opini yang berusaha meruntuhkan ajaran Islam. Realitasnya, para pelaku terorisme itu memiliki pemahaman terhadap syariat Islam yang sangat lemah. Akibatnya, mereka dengan mudah dicekoki pemahaman-pemahaman yang menyimpang oleh jaringan tertentu. Parahnya lagi jika jaringan tersebut menjadi bagian dari rantai jaringan global untuk meruntuhkan Islam. Di sinilah urgensinya mengkampanyekan penerapan syariah secara benar, termasuk di dalamnya menyangkut jihad. Umat perlu dibina agar menjadi bagian dari aktivitas dakwah yang berbasis pada pemahaman dan pemikiran, bukan kekerasan.
(*/arrahmah.com)