Solo (Arrahmah.com) – Melihat berita penangkapan Joko Daryono atau Thoyyib selaku Aminul Mal (bendahara) JAT pusat di media-media online dan mendengar langsung penuturan dari keluarga yang bersangkutan serta saksi-saksi yang melihat secara langsung kejadian penangkapan tersebut dan penggrebegan rumahnya, mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa nyali para anggota Densus AT 88 Mabes Polri bisa kita ibaratkan hanya sekecil “semut”, tapi gayanya segede “gajah”. Kenapa demikian?
Bagaimana tidak, menangkap 1 orang saja yang tidak membawa senjata apa-apa membutuhkan personal yang berjumlah puluhan dengan senjata lengkap serta dilakukan dengan tidak berprikemanusian. Kalau memang para penegak hukum itu (khususnya) polisi dan terkhusus Densus 88, konsekuen dengan apa yang selalu didengung-dengungkan, bahwa dalam proses penangkapan seseorang itu tidak bisa gegabah dan harus didasari dengan bukti-bukti yang kuat serta surat penangkapan. Akan tetapi, kenapa hal tersebut tidak berlaku kepada para aktivis islam?
Padahal bukti untuk menangkap para aktivis islam seperti Ust Abu Bakar Ba’asyir, Ust Aman Abdurrahman, dan yang terakhir Joko Daryonno, dll belum ada dan bahkan tidak ada sama sekali. Dan yang aneh lagi, surat penangkapannya pun biasanya baru dibuat beberapa hari dan mungkin tidak dibuatkan sama sekali setelah yang bersangkutan “diculik”. Maka, jika Densus 88 tidak di ibaratkan dengan binatang (semut itu binatang kan?!?), lalu di ibaratkan dengan apa lagi!?!
Kemudian, sesaat setelah penangkapan, anggota Densus 88 mendatangi rumah Joko Daryono didaerah Gentan Sukoharjo. Apa yang mau dicari Densus 88? Sedangkan orangnya sudah ditangkap. Bahkan dengan gaya koboinya, dia menakut-nakuti semua orang yang ada disekitar rumah tersebut. Akan tetapi, waktu hendak keluar dari rumah tersebut dengan membawa sebuah brangkas besi, kemudian dicegah Nyonya Eli (istri Joko Daryono) sambil berkata, “sudah pak, daripada kecewa, brankas itu tidak ada apa-apanya, itu punya Farouk anak saya”. Mendengar itu anggota Densus 88 tersebut menjawab “mana Farouk”, bocah kecil itu diminta untuk membuka brankas tersebut yang menggunakan kunci berupa kode nomor. Anak kecil yang ketakutan tersebut kemudian maju dan membuka brankas besi itu, dan benar saja didalamnya hanya ada mainan anak-anak.
Akan tetapi, yang kelihatannya belum diketahui oleh orang-orang (khusus para aktivis islam) bahwa sesungguhnya anggota Densus 88 pun pada waktu itu (dan mungkin kasus-kasus penggrebegan lainnya), ternyata pada kondisi yang ketakutan pula (berbagai sumber). Masih ingat, bagaimana Ibu Kartini, istri Ust Ghozali yang ditangkap Densus 88 di Sumatra Utara bertutur, bahwa waktu Densus 88 hendak membawa sebuah tas didalam rumahnya Ust Ghozali yang dikira bom?? Waktu itu Bu Kartini berkata “bahwa tas itu tidak ada bomnya, kalau tidak percaya, buka dan lihat ja sendiri”. Tapi karena tadi, bahwa Densus 88 itu nyalinya sekecil “semut”, suruh BUKA TAS SAJA TIDAK BERANI.
Coba bayangkan, menghadapi anak kecil dan membuka tas saja mereka takut, apalagi kalau umat islam ini bersatu padu menghadapi mereka (Densus 88)??? Sungguh kekuatan yang luar biasa akan terbentuk untuk melawan musuh islam di Indonesia yaitu DENSUS 88. Maka dari itu, disini perlu di informasikan dan disampaikan kepada masyarakat bahwa umat islam itu harus mengetahui kondisi yang seperti ini, bahwa sekarang itu, kita sedang dalam bidikan dan terkaman orang –orang kafir (khususnya Amerika) melalui kaki tangannya di Indonesia yang salah satunya yaitu Densus 88. Kalau kita tidak segera bangkit untuk bersatu dan berbalik untuk menyerang mereka (karena selama ini kita yang selalu diserang terlebih dahulu), maka lama kelamaan generasi umat islam kita akan lenyap dihabisi oleh mereka, baik dengan cara yang halus (mendangkalkan aqidah mereka, memurtadkan mereka, dll) atau dengan cara koboi mereka dengan ditembak satu persatu atau dipenjarakan. Wallahu a’lam. (saveabb/arrahmah.com)