KLATEN (Arrahmah.com) – Ahad (5/7) lalu, 14 orang tewas dalam sebuah kecelakaan di perlintasan kereta tanpa palang di Klaten. Pada tahun ini, entah sudah berapa puluh, atau mungkin ratus, nyawa hilang di perlintasan kereta sejenis. Dan entah sudah berapa ribu nyawa yang harus dikorbankan pada perlintasan kereta tanpa palang sejak kita menyatakan merdeka, dan percaya bahwa pemerintah negara ini kita bentuk dengan tujuan melindungi segenap rakyatnya.
Kita mungkin tak akan pernah bisa paham, mengapa tidak ada satu pun “suara kuat” yang mempertanyakan: bagaimana perlintasan kereta -yang perlu ditambah palang- dibiarkan merenggut nyawa, secara tak perlu, berulang-ulang. Mengapa tidak ada “suara kuat” yang berjanji: mewajibkan PT KAI atau siapapun itu untuk memasang palang di setiap perlintasan kereta, setelah 14 nyawa lagi terenggut.
Mungkin karena “suara kuat” itu, atau suara kita sendiri, memaklumi bahwa sopir bus 14 nyawa tewas itu lah yang ceroboh, tanpa pernah paham dan bertanya mengapa setiap bulan selalu ada orang seperti itu. Atau mungkin, “suara kuat” itu berada di Jakarta, yang setiap perlintasan keretanya selalu dipasangi palang, sehingga tak dapat memahami apa rasa derita korban kecelakaan di perlintasan tanpa palang.
Atau, karena kita mahfum bahwa memasangi palang dan mengupah penjaganya itu mahal, tanpa benar pernah membandingkan dengan berapa biaya produktivitas -nyawa dan cacat- yang terbuang di perlintasan itu. Hal ini, seperti thesis Bent Flyvbjerg, Mette K. Skamris Holm, dan Soren L. Buhl (2005), adalah “kegagalan pembuat kebijakan dalam mengidentifikasi biaya dan manfaat secara benar” sehingga membuat sebuah kebijakan penting -seperti kewajiban pembuatan palang kereta- urung dilakukan.
Atau mungkin, korban perlintasan kereta itu yang dihargai murah: toh mereka tak mampu membuat “suara kuat” bersuara.
Yang pasti mereka, 14 korban tewas dan keluarganya, adalah orang-orang lemah yang kematiannya cukup dihargai 25 juta rupiah oleh asuransi. Dan tragedi pada hari Ahad tersebut segera terlupakan oleh bangsa ini pada Selasa menjelang pemilihan presiden, tanpa ada “suara kuat” yang bertanya: perlu berapa banyak nyawa hilang, sehingga kita mengharamkan sebuah perlintasan kereta tanpa palang?
Suara-suara kuat yang diamanahkan untuk melindungi rakyat bangsa ini, mungkin terlalu lelah bekerja, tanpa pamrih tentunya, mengurus kebesaran pemilihan pemimpin bangsa ini. Dan seperti kata seorang penulis yang gemar mencemooh: “Musuh kebesaran adalah hal-hal kecil penting yang terlupakan”.
“…Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia …” (Al-Qur’an : 5:32)
(era/arrahmah.com)