“Ini terjadi ketika mereka mulai menggali reruntuhan untuk mengevakuasi korban selamat maupun yang meninggal,” ujar Abu Qusay sembari melihat foto dirinya yang terkubur di bawah puing-puing bangunan. Dalam gambar itu, wajahnya penuh disimbahi darah. Kini luka itu masih berbekas di mata kirinya sebagai bukti penderitaan yang ia alami berminggu-minggu lalu.
Laki-laki 30 tahun itu adalah bapak dari enam anak berusia antara 4 sampai 15 tahun, bekerja sebagai polisi dan penjaga keamanan selama 14 tahun. Saat Palestina ada di bawah pimpinan Presiden Yasser Arafat, ia bekerja sebagai pelindung istri Yasser, Suha Arafat. Kemudian, sejak pemilu Hamas, ia melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang penjaga keamanan untuk mendampingi para tamu internasional.
Pada kafe sebuah hotel di Gaza, F-16 terbang mengitari, Abu Qusay memulai ceritanya. Ia adalah korban selamat pada serangan Israel pertama kalinya agenda penyerangan yang menargetkan 100 kantor polisi, akademi kepolisian, kantor sipil dan pemerintahan juga pos-pos keamanan terkait lainnya sekitar Jalur Gaza.
“Mulanya kami bertemu di sebuah halaman tertutup. Kemudian kami ber-15 memasuki lantai tiga setelah jam 11. Saya duduk di kursi kedua dari tempat manajer saya duduk, bersama kawan-kawan lain mengelilingi meja. Manajer saya sedang berbicara ketika Israel mulai melancarkan serangannya.”
Sebuah F-16 merendah dan suaranya mengeras. Abu Qusay terkejut, pembicaraan ikut terhenti sejenak.
“Ledakannya sendiri sangat aneh, bunyinya tidak seperti bom. Saya merasakan tekanan udara yang berat seperti hendak membenamkan saya ke dalam tanah. Kemudian saya mendengar ledakan dari sebelah. Itu adalah pengalaman yang asing sama sekali bagi saya. Setelah itu saya mulai tidak sadarkan diri.”
“Saya mencoba membuka mata, tapi tidak bisa. Udara bercampur dengan debu yang membutakan saya. Saya merasakan sesuatu yang menyentuh wajah saya. Beberapa kali, saya mencoba kembali membuka mata, akan tetapi debu membuat mata saya pedih. Akhirnya, saya mampu membuka mata tanpa mampu melihat apa-apa. Hanya setitik cahaya. Seperti melihat sebuah tembok besar yang retak dan terdapat bolongan di tengahnya sedikit saja.
Kaki seseorang seolah menginjak kepala saya dan saya bilang padanya untuk menjauhkan sepatu itu dari wajah saya. Ingatan saya kacau, tidak pernah terpikir sedikitpun tentang apa yang sedang menimpa saya kala itu. Saya mencoba menyingkirkan sepatu itu, tapi tangan saya terjepit, tertindih. Semacam cairan seperti mengalir di muka saya dan ternyata cairan itu darah.
Saya mulai mendengar orang-orang menjerit dan merintih kesakitan. Kemudian saya mendengar suara perempuan, yang tidak lain ada kolega saya, dan kemudian sayup-sayup suara Hamza, rekan kerja saya, yang mencoba menenangkan kami.
Saya merasakan sesuatu menghantam ke arah saya, kemudian saya menyadari saya sedang dikeluarkan dari balik reruntuhan bangunan yang mengubur saya. Saya baru sadar kemudian bahwa lantai tiga tempat kami melakukan pertemuan sebelumnya rubuh dan sekarang seakan sudah berubah menjadi lantai dasar.
Saya sadar ketika saya berada di rumah sakit al-Shifa, untungnya saya selamat dari wilayah tempat bom itu meledak. Di ruangan gawat darurat, mayat dan pasien terluka bergelimpangan tak beraturan. Banyak sekali, bahkan terlalu banyak jika dibandingkan tempat tidur yang tersedia. Kaki dan tangan mereka diamputasi. Luka-luka mereka menganga dan sangat mengerikan.
Semua di luar dugaan saya. Dalam waktu yang pendek itu saya melakukan pertemuan, kemudian terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan, kemudian di sini seperti dikelilingi kematian. Saya tidak dapat memahami ini semua, tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Namun rasa sakit saya tak lagi terasa ketika ingat pada seorang anak siswa sekolah sebelah Montada waktu itu, ketika saya dievakuasi dari reruntuhan. Kepalanya tertembus peluru.
Kemudian saya bangun, berjalan memperhatikan setiap orang. Saya tertegun beberapa saat. Dokter-dokter maupun yang lainnya beberapa kali meminta saya untuk duduk dan istirahat.”
Abu Qusay menghela nafasnya. “Tinggal di Gaza membuat kami selalu menduga-duga pada Israel. Pada banyak serangannya. Kami hidup di tengah-tengah penyerangan dan pengeboman. Saya ingin tidak yakin pada ini semua, pada yang telah mereka lakukan. Tapi entahlah. Dan saya tidak pernah tahu apapun mengenai daerah lain di Gaza saat ini.”
Lebih banyak F-16 menderu di langit Gaza seperti halnya Abu Qusay yang melanjutkan ceritanya.
“Saat ini saya terbiasa mengendarai ambulan. Saya belajar untuk mengembangkan kemampuan yang saya miliki, dan saya selalu memlakukannya. Dan selama saya mengendarai ambulan, saya belum pernah menyaksikan orang-orang terluka dan meninggal semenakutkan dulu. Badan yang terpotong, maupun leher yang terpenggal.
Dan ingatan saya terus terpagut pada anak itu. Saya benar-benar tidak habis pikir apakah Israel menganggap di sekolah tersebut para pejuang Palestina bersembunyi? Apa yang telah dilakukan anak kecil itu? Apakah hal yang sama terjadi pada polisi-polisi Amerika, Kanada, atau Inggris? Bagaimana bisa tindakan kriminal ini, mereka (Israel) yang meledakkan wilayah yang di dalamnya terdapat penduduk sipil, anak-anak yang baru pulang dari sekolah, yang membunuh hewan dan tumbuhan, tidak diakui sebagai teroris? Mereka telah melakukan pembantaian terhadap kita.” (althaf/arrahmah.com)