(Arrahmah.com) – Terdakwa penoda agama, Ahok, bakal masuk kabinet? Isu ini bergulir liar beberapa waktu belakangan. Konon, lelaki yang sangat doyan marah-marah dan menghamburkan sumpah-serapah ini bakal parkir di posisi Menteri Dalam Negeri.
Kalau ini terjadi, artinya Tjahjo Kumolo harus legowo tergusur dari posisinya sekarang. Jika ini benar-benar terjadi, maka Tjahjo terkena “kutuk” atas ucapannya sendiri. Publik belum lupa, saat Raker dengan Komisi II DPR, Tjahjo menyatakan dia siap dicopot kalau keputusannya tidak memberhentikan Ahok sebagai gubernur DKI ternyata salah. Ah, politik. Siapa sangka pemasang badan benar-benar jadi tumbal…
Tapi baiklah, kita tidak ingin berpanjang-lebar denga kutukan atau karma yang (bakal) diterima Tjaho karena pasang badan membela Ahok. Fokus tulisan ini justru hendak bertanya, benarkah isu liar bahwa gubernur yang tidak segan-segan memaki seorang ibu dengan sebutan maling itu bakal masuk kabinet? Layakkah seorang terdakwa penista agama menjadi menteri?
Idealnya, menjadi menteri tentu membutuhkan banyak persyaratan. Pertama, yang bersangkutan harus punya kapasitas dan kepabelitas di bidangnya. Kedua, dia juga harus berintegritas. Tidak boleh seorang yang punya rekam jejak kriminal duduk sebagai pembantu Presiden. Dan, last but not least, si calon juga harus punya karakter dan kepribadian yang stabil, memiliki empati kepada rakyat, mampu menjaga tutur dan prilaku untuk tidak menebar kalimat kotor dan kebencian.
Kirteria menteri seperti yang saya tulis ini, tentu saja, bukanlah parameter yang baku. Paling tidak, konstitusi kita tidak menyebutkan demikian. Bisa jadi, berdasarkan fakta para pembantu yang diangkatnya, Presiden Jokowi juga tidak memasang persayaratan seperti itu.
Tak kunjung beradab
Tapi untuk kriteria karakteristik atau kepribadian tadi, kali ini saya benar-benar berharap Jokowi memberi perhatian lebih. Terlalu mahal harga yang harus dibayar negeri ini jika Ahok jadi masuk kabinet. Kasus penistaan agama yang dilakukannya, sungguh-sungguh telah memantik kemarahan luar biasa ummat Islam. Kasus ini juga terbukti menguras habis energi bangsa.
Buat sebagian besar orang, saya yakin, jika terbelit kasus serupa dia, bisa dipastikan yang bersangkutan bakal berinstropeksi diri. Selanjutnya akan lebih hati-hati dalam bertutur,k terutama di ruang publik. Sayangnya, sikap seperti ini sama sekali tidak ditunjukkan Ahok. Dia seolah-olah tidak pernah kehabisan peluru untuk menimbulkan kegaduhan baru. Persidangan super panjang dan bertela-tele atas kasus penistaan Al Quran yang dilakukannya, ternyata tidak mampu membuat mulutnya menjadi sedikit beradab.
Permintaan maafnya pada sidang pertama, terbukti dusta belaka. Dia sama sekali tidak merasa bersalah. Karenanya dia tidak tulus minta maaf. Apalagi kalau disimak kalimatnya, bahwa Ahok minta maaf atas kegaduhan yang terjadi akibat pidato di kepulauan Seribu tersebut. Jadi, minta maaf bukan karena materi pidatonya, tapi karena kegaduhannya yang terjadi.
Sikap tidak merasa bersalah itu kembali diulanginya secara eksplisit ketika diwawancarai televisi Al Jazera. Pada menit ke-3.32 sampai 3.41 di videonya yang menjadi viral, dengan lugas Ahok menyatakan tidak menyesal telah mengutip surah al-Maidah dengan versinya sendiri. Bahkan, jika diulang lagi di Pulau Seribu dia akan menyatakan hal yang sama terkait surat al-Maidah.
Dia juga tidak peduli, betapa akibat ucapannya energi seluruh bangsa terkuras habis. Presiden harus berakrobat ria menemui para tokoh agama. Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi Menko Maritim pun ikut blingsatan dan mendadak jadi lobbyist guna mendinginkan tokoh ummat. Kapolri Tito Karnavian harus menabrak sejumlah undang undang dan peraturan untuk menggembosi aksi massa bela Islam yang berjilid-jilid dan mengkriminalisasi para pemimpinnya.
Bisakah kita membayangkan, Indonesia kelak akan punya menteri yang tidak peduli dengan respon orang lain atas ucapannya? Saya terlalu ngeri membayangkan, jika ada menteri yang tidak sensitif terhadap perasaan orang banyak. Terlebih lagi menyangkut keyakinan agama yang dipeluk mayoritas penduduk negeri lebih dari 260 juta jiwa ini.
Bisakah kita membayangkan, kelak ada menteri yang hatinya membatu dan hanya ngotot berpegang pada niatnya pribadi? Dengan gampang dia mengucapkan kata-kata kotor dan atau menista agama orang lain, lalu berlindung dengan kalimat “tidak punya niat menghina.”
Dia juga seperti tidak pernah kehabisan peluru untuk memantik kegaduhan. Kontroversi terbaru datang dari sidang ke-18 yag digelar pada 25 April silam. Dalam pledoi yang konon disusunnya sendiri, Ahok berkali-kali menegaskan bahwa dia bukanlah penista agama. Dia juga mengaku tidak menghina Islam.
Selain itu, mantan Bupati Belitung Timur yang terlibat sejumlah kasus korupsi itu mengidentifikasi dirinya layaknya ikan badut dalam film Finding Nemo. Di film tersebut, Nemo harus berenang sendiri menentang arus untuk menyelematkan banyak ikan lain dari jaring nelayan. Walaupun tidak ada yang berterima kasih kepadanya setelah berhasil, Nemo tidak kecewa.
Manipulatif
Mengidentifikasi diri sebagai Nemo adalah bukti lain sikap manipulatif Ahok. Fakta-fakta selama hampir tiga tahun dia berkuasa justru menunjukkan hal sebaliknya.
Pertama, dia sama sekali tidak sendirian. Dengan berbagai motif dan niat, teramat banyak pihak yang menjadi pendukung beratnya. Bahkan tokoh Malari Hariman Siregar menyatakan negara telah menjadi tim sukses Ahok dalam Pilkada. Mantan komisoner KPU Chusnul Mar’iyah menyebut Pilkada DKI adalah Pilkada yang paling brutal karena negara dengan segala perangkat birokrasinya terlibat dalam implementasi skenario untuk memenangkan petahana.
Kedua, pada film tesebut, ucapan yang keluar dari mulut Nemo adalah yang baik-baik. Sebaliknya, Ahok tidak segan-segan menyebut isi toilet di tayangan publik, bertengkar mulut dengan warganya di media publik. Dan, yang paling kontroversial, memancing kemarahan umat Islam menista ayat Al quran yang sama sekali di luar domainnya.
Ketiga, Ahok berkali-kali menyatakan dia difitnah. Di sisi lain, di persidangan dia mengakui, bahwa dia memang mengucapkan kalimat seputar surat al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu seperti dalam video itu. Lalu, pada bagian mana fitnah yang dimaksudkannya? Haruskah dia belajar kembali arti kosa kata fitnah dari kamus Bahasa Indonesia?
Simak baik-baik kalimatnya di bawah ini:
“Tuhan mengetahui isi hati saya. Saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta, yang akan terus menolong yang miskin dan membutuhkan, walaupun saya difitnah dan dicaci maki, dihujat karena perbedaan iman dan kepercayaan saya. Saya akan tetap melayani dengan kasih,” ucap pecundang Pilgub DKI Jakarta 2017, Ahok..
Tolong tunjukkan, pada bagian mana kebijakannya dia menolong orang miskin yang membutuhkan? Yang ada, dia justru melakukan penggusuran secara ganas dan brutal pada ratusan titik permukiman kaum miskin. Bagaimana mungkin dia mengklaim tetap melayani dengan kasih, kalau fakta justru menjunjukkan sebaliknya. Bagaimana mungkin seorang yang mengklaim punya sifat kasih, sama sekali tidak punya empati kepada rakyatnya? Dia justru menuding ibu-ibu yang menangis karena rumahnya digusur dengan menyebut sedang berakting main sinetron.
Fakta pun menunjukkan Ahok tidak pernah difitnah apalagi dicaci-maki dan dihjujat karena perbedaan iman dan kepercayaan. Semua kegaduhan yang ada terjadi karena mulutnya yang yang rusak dan kebijakannya yang tidak berpihak kepada rakyat banyak.
Di luar soal kebpribadiannya yang sangat bermasalah, kinerja Ahok juga tergolong jeblok. Penyerapan anggaran rendah, serampangan menggunakan anggaran, mendapat peringkat CC dan berada di urutan 18 dari 34 pemerintah provinsi dalam hal akuntabilitas kinerja, dan tersangkut berbagai kasus korupsi superjumbo.
Dengan berbagai fakta tersebut, publik benar-benar berharap Jokowi tidak menjadikan Ahok sebagai menterinya. Masih banyak lho figur lain yang lebih mumpuni, dan yang paling penting, mulut dan kepribadiannya tidak bermasalah. Singkat kata, Ahok jadi menteri, amit-amit deh…
Jakarta, 26 April 2017
Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta
(*/arrahmah.com)