Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani | Pakar Kajian Akhir Zaman
(Arrahmah.com) – Di antara pembahasan fitnah akhir zaman yang cukup penting untuk diperhatikan oleh setiap muslim adalah riwayat tentang Fitnah Duhaima’. Hadits tentang fitnah ini termuat dalam riwayat panjang yang menyebutkan fitnah fitnah lainnya. Dari Abdullah bin ‘Umar ia berkata:
كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ فَذَكَرَ الْفِتَنَ فَأَكْثَرَ فِي ذِكْرِهَا ……… ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً………. حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ فُسْطَاطِ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ فَإِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ مِنْ غَدِهِ
“Suatu ketika kami duduk-duduk di hadapan Rasulullah SAW memperbincangkan soal berbagai fitnah, beliau pun banyak bercerita mengenainya. ……kemudian Fitnah Duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya. …… sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.”[1]
Tentang fitnah Duhaima’ yang berarti kegelapan yang amat sangat, para ulama menjelaskan bahwa ia merupakan fitnah berkembangnya paham, pemikiran dan aliran sesat – da’awat mudhillat. Pasca runtuhnya Turki Utsmani, maka fitnah ini berkembang tanpa bisa dibendung. Ia terus menggelinding bagai bola salju yang terus membesar. Fitnah atheisme, humanisme, sekulerisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan demokrasi berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam. Di tubuh umat Islam sendiri muncul pemikiran dan paham sesat yang tidak kalah parahnya. Berkembangnya Syi’ah pasca revolusi Iran, tumbuhnya paham murji’ah ghulat dan takfiri ekstrim, semua makin melengkapi sempurnanya fitnah duhaima’.
Kombinasi dari semua paham tadi melahirkan stigma baru pada umat Islam dengan isu terorisme global. Isu inilah yang merekatkan semua kepingan puzzle duhaima’, dan pada isu inilah fitnah yang menimpa umat Islam melebar di hampir semua lini kehidupan. Fitnah duhaima’ akan membelah manusia menjadi dua kelompok besar; kelompok mukmin yang tidak tercampur dengan kemunafikan dan kelompok munafik yang tidak memiliki keimanan. Hal yang serupa juga bisa terjadi pada isu fitnah perang melawan terorisme.
Kami menduga – dan hakikat yang sesungguhnya kita serahkan kepada Allah – bahwa peristiwa fitnah Terorisme adalah hakikat dari fitnah Duhaima’ atau setidaknya merupakan bagian dari Fitnah Duhaima’ itu sendiri. Perang terhadap terorisme yang dikampanyekan oleh bangsa Barat (Amerika) dan sekutunya terus berlangsung hingga kini. Sungguh fitnah perang melawan terorisme ini akan membelah manusia dalam dua kelompok; mukmin sejati yang tanpa sedikit pun dicemari oleh kemunafikan dan kelompok munafik yang tidak memiliki keimanan. Kelompok mukmin sejati adalah mereka yang bersama para mujahidin, membelanya dan memberikan dukungan secara moril dan materi. Sedangkan kelompok munafik adalah umat Islam yang memberikan bantuan dan pembelaan kepada para thaghut kuffar dalam memerangi kaum muslimin.
Sesungguhnya efek fitnah Duhaima’ ini akan memaksa setiap orang untuk memilih salah satu dari dua kubu; kubu keimanan yang tidak tercampuri dengan kemunafikan dan kubu kenifakan yang tidak terdapat keimanan sedikitpun di dalamnya.
Pada titik inilah muncul fitnah baru yang dibangun dari asumsi fitnah Duhaima’. Di antara kelompok umat Islam ada yang memaksakan hadits ini untuk mendukung kelompok mereka. Berangkat dari isu khilafah dan klaim kebenaran tunggal, maka siapapun yang tidak bergabung atau berbaiat, terlebih melawan dan memerangi khilafah, maka ia berada di kubu munafik. Maka dampak dari pemahaman ini adalah tumpahnya darah kaum muslimin tanpa hujjah yang nyata.
Riwayat tentang fitnah Duhaima’ berkaiatan erat dengan fase kekhilafahan Imam Mahdi yang diakui oleh seluruh umat Islam, bukan kekhilafahan selainnya. Dengan demikian kesimpulan terbelahnya umat menjadi mukmin dan munafik hanya terjadi secara sempurna di zaman Imam Mahdi. Siapa yang bergabung dengan Imam Mahdi yang sah, maka semoga dialah mukmin sejati, dan yang menolaknya maka dia terancam dengan kemunafikan.
Meski demikian, hakikat terbelahnya umat dalam dua kemah; keimanan dan kemunafikan, hanya akan terjadi secara total setelah perjuangan Imam Mahdi masuk di babak akhir; sebelum bertemu dengan Dajjal. Nash pada fitnah Duhaima’ berbunyi: sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.”[2]
Jelas sekali pada lafadz di atas bahwa jika peristiwa terbelahnya umat Islam dalam dua kubu telah terjadi, maka pada hari itu atau besoknya Dajjal akan keluar. Sementara kita meyakini bahwa keluarnya Dajjal adalah pasca penaklukkan seluruh jazirah Arab, setelah runtuhnya imperium Persia, penaklukan Konstantinopel dan perang dahsyat Al-Malhamah Al-Kubra. Hal itu bermakna bahwa Imam Mahdi sudah berhasil menaklukkan sebagian besar negeri di timur dan barat, kekuasannnya juga membentang dari timur Maroko hingga barat Merauke. Hal itu juga mengisyaratkan bahwa dakwah Islam yang dibawa oleh Imam Mahdi sudah menyentuh di hampir seluruh lapisan umat Islam di seluruh penjuru negeri. Nyaris tidak ada yang tidak mengerti eksistensi Imam Mahdi dan misi dakwah yang dibawanya. Jika demikian keadaanya, lalu masih ada kaum muslimin yang tidak berpihak kepada Imam Mahdi, atau bahkan justru memusuhinya, maka sudah pasti mereka adalah musuh Islam dan munafik tulen.
Dengan demikian, vonis munafik atau kafir tidak dengan serta merta dijatuhkan secara serampangan hanya dengan alasan ada seorang muslim yang tidak bergabung dengan kelompok fulan dan fulan yang mengusung panji jihad melawan barat. Wallahu a’lam bish shawab.
[1]. HR. Abu Dawud, Kitabul Fitan no. 4242, Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 974.
[2]. HR. Abu Daud: Kitabul fitan no. 4242, Ahmad no. 6162, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4/466, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 4226, dan Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 2551.
(samirmusa/arrahmah.com)