Oleh Ihsan Al Faruq*
(Arrahmah.com) – Waktu-waktu kehidupan normal sebelum revolusi, kebanyakan Mujahidin dahulunya adalah warga sipil biasa. Ada yang berprofesi guru bahasa Inggris, pandai besi, tukang las, sopir truk atau taksi, mahasiswa, pedagang kaki lima pinggir jalan, petani dan lain-lain.
Mungkin sebagian diantara mereka adalah para tentara Ahlusunnah yang membelot, namun pemuda-pemuda alay pinggir jalan yang kini angkat senjata juga banyak. Intinya banyak dari mereka adalah orang biasa yang tidak pernah dididik khusus siap mati seperti dunia militer.
Sebagai manusia normal, wajar jika dari otak Mujahidin muncul rasa takut dan khawatir sebelum mereka maju ke sebuah front pertempuran. Sebuah hal manusiawi, ibaratnya demam panggung lah, tapi taruhannya adalah nyawa, karena yang dihadapi bukan sorakan penonton tetapi peluru tajam dan ledakan mortar musuh.
Namun rasa takut itu tidak sedikitpun mencegah seorang tentara Allah untuk maju menyambut bidikan moncong-moncong senjata pasukan rezim. Gema takbir, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!!”, mengiringi hati mereka.
Ketika rasa gugup masih mendera pikiran, dan ketakutan bersemayam mengendalikan logika. Tubuh-tubuh mereka disambut oleh serangan musuh, peluru-peluru berterbangan, ledakan bom bersahutan seperti petasan.
Dan semua rasa takut itu langsung lenyap seketika. Allah telah mencabutnya, ketika sebuah peluru melesat dekat kepala bahkan hingga terasa lajunya. Atau mortar yang meledak begitu dekatnya.
Peluru dan mortar musuh yang tak kena tersebut bukannya membuat mereka kabur menuruti nafsu ketakutan, tetapi justru menjadi “obat” yang langsung membunuh logika palsu rasa takut.
Kalau kita bayangkan, mungkin rasanya sama dengan efek adrenalin ketika kita selamat setelah menerobos bahaya di jalan raya, nyaris tapi tak jadi. Adrenalin menjebol kegugupan di kepala, memacu detak jantung, meningkatkan kegesitan, konsentrasi dan juga sensasinya.
Lalu bedanya apa dengan pihak tentara Nushairiyah? Bukankah mereka juga mengalami sensasi pertempuran?
Benar, pun ditambah fakta lagi bahwa tentara rezim adalah prajurit yang telah dididik untuk menghadapi rasa takut dan siap mati.
Namun ada fakta lainnya, bahwa keberanian hasil latihan dengan motivasi duniawi hanyalah keberanian semu, tak mungkin ada kelegaan di dalam dada-dada para penjahat akan kematiannya.
Tak secuilpun itu dapat dibandingkan dengan Mujahidin, yang berasal dari rakyat jelata dan amatir. Sebab dunianya sudah siap ditukarkan untuk Allah, mereka sudah menanti jika Allah berkehendak untuk “membeli” apa yang mereka “jual”.
*Ihsan Al Faruq adalah relawan Misi Medis Suriah
(adibahasan/risalah/arrahmah.com)