Moabullah terlihat tengah membawa jenazah dalam gerobaknya untuk dimakamkan di belakang sekolah putri. Terdapat sekitar 30 jenazah, katanya, mereka menjadi korban peperangan yang digaungkan oleh pemerintah Pakistan untuk menghabisi Taliban di Lembah Swat.
Ketika militer boneka Pakistan dikerahkan kembali ke Lembah Swat dan distrik lain dsekitarnya, para penduduk berusaha melarikan diri dari wilayah pertempuran, namun ada pula yang tetap bertahan dikediamannnya sebagai bagian dari dukungan mereka terhadap Taliban.
Tidak ada organisasi yang melakukan penghitungan terkait jatuhnya korban sipil dalam peperangan tersebut. Kelompok bantuan kemanusiaan, Palang Merah Internasional, hingga kini tidak bisa memasuki wilayah peperangan.
“Kecelakaan di kalangan sipil lebih besar dibanding yang terjadi di kubu Taliban,” ujar Said Ali Bakt, berbicara di sebuah rumah sakit di Peshawar setelah melarikan diri dari Peochar.
Yusuf, 21, yang melarikan diri dari distrik Buner mengatakan ia telah bosan melihat jatuhnya korban dari kalangan sipil yang diakibatkan oleh operasi militer Pakistan.
Militer Pakistan tidak mengumumkan kecelakaan yang menimpa rakyat sipil, mereka hanya mengklaim kesuksesan dan mengumumkan jumlah kematian anggota Taliban yang mereka klaim telah berjumlah lebih dari 1.100 orang.
Berbeda dengan para sipil tersebut, jurubicara militer boneka Pakistan mengelak adanya korban dari kalangan sipil dalam jumlah besar dengan mengatakan, “Menurut pengamatan kami sedikit sekali kecelakaan yang terjadi,” ujar Jenderal Athar Abbas, jurubicara militer Pakistan.
“Kami selalu mengedepankan ketepatan serangan,” klaimnya.
Di sebuah rumah sakit pemerintah di kota Mardan, selatan Lembah Swat, Moabullah memberikan kesaksian atas tumpahnya darah sipil dalam peperangan tersebut.
“Aku sendiri yang mengangkut mereka, menaruhnya di gerobakku dan menguburkan mereka di belakang sekolah putri,” ujar Moabullah sambil memegang tangan putranya yang berumur 9 tahun, Abu Bakr, yang tertidur di atas kasur yang dekil.
Keponakan laki-lakinya, Nawab Ali, mengatakan ia melarikan diri dari rumahnya di Lembah Swat, di Mingora pada 22 Mei lalu. Mereka tidak memiliki makanan dan persediaan air minum.
“Orang-orang berusaha melarikan diri dengan berjalan kaki. Kami hanya berjarak beberapa meter dari desa Abwa ketika para tentara Pakistan menembaki kami. Enam penduduk tewas saat itu dan tujuh lainnya mengalami luka-luka. Aku menyaksikannya sendiri dengan mata dan kepalaku,” ujar Ali.
“Para tentara tersebut mencoba menghantam Taliban namun yang menjadi sasaran mereka adalah warga sipil yang berusaha melarikan diri,” lanjut Ali. “Itulah yang terjadi sebenarnya.”
Empat wanita dibunuh termasuk seorang ibu dari bayi yang baru berumur 4 bulan, kakeknya kini membawanya untuk menyelamatkannya, menurut kesaksian Ali.
Dalam satu minggu, rumah sakit mencatat terjadi 50 kasus kecelakaan yang dialami sipil termasuk diantaranya anak-anak yang baru berumur 3 tahun, 10 tahun dan 13 tahun dari Swat.
“Aku melihat 10 rumah dihancurkan,” ujar salah seorang penduduk Pir Aman Qilla, Jahan. “Tapi kami tidak bisa meninggalkan rumah kami.”
Hayat Khan, dari desa Odigram di Lembah swat mengatakan ia kehilangan keponakan perempuannya dalam sebuah pertempuran. “Di hadapanku, dua atau tiga sipil dibunuh oleh angkatan perang Pakistan,” uajrnya.
Fazl-ur-Rahman, yang melarikan diri dari Dir, mengatakan sekitar 350 rumah didesanya telah dihancurkan. “Kamu tidak dapat memperkirakan berapa jumlah sipil yang menjadi korban dan masih banyak diantara mereka yang masih terjebak di wilayah perang karena Pakistan memberlakukan jam malam.”
Pengungsi lainnya, Sirajuddin mengatakan ia melarikan diri dari desa Gumbatmera di Lembah Swat pada 20 Mei lalu setelah jet-jet militer boneka Pakistan menghantam desanya dan menghancurkan sejumlah besar rumah yang berada di sana.
“Aku penduduk lokal dan aku tahu apa yang terjadi di sana dan siapa saja yang berada di dalam rumah-rumah yang mereka hantam. Aku menghadiri sedikitnya tujuh pemakaman setiap harinya dan suatu hari kami semua melarikan diri karena jet-jet Pakistan melakukan bombardir. Yang aku tahu mereka telah merusak rumah-rumah kami dan membunuh yang berada di dalamnya. Namun kami tidak lagi dapat menolong mereka.” (haninmazaya/AP/arrahmah.com)