KAIRO (Arrahmah.id) — Tentara Mesir yang bertugas di perbatasan Gaza-Sinai menjadi semakin patah semangat karena ketidakmampuan mereka untuk membantu warga Palestina yang mereka lihat dibunuh oleh pengeboman brutal Israel.
Koresponden Middle East Eye, Shahenda Naguib mewawancarai beberapa tentara Mesir di kota Port Said, tempat para tentara yang bertugas di Sinai beristirahat di sela-sela penugasannya.
“Sungguh menyakitkan mengetahui Anda dapat membantu, tetapi Anda terbelenggu dan tidak dapat membantu menyelamatkan orang-orang Anda dari pembantaian,” kata Omar (23) yang telah bertugas sebagai petugas patroli di Sinai Utara, Mesir, di sepanjang perbatasan dengan Rafah, Gaza, selama satu tahun terakhir.
“Kami telah menyaksikan dan mendengar betapa intensnya pengeboman Israel di Rafah, dan kami melihat puluhan keluarga Palestina melewati perbatasan,” lanjutnya, dikutip dari The Cradle (19/6/2024).
Israel telah membunuh lebih dari 37.000 warga Palestina di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, sejak agresi brutalnya dimulai pada 7 Oktober 2023.
“Kami berlatih siang dan malam dan mengulang-ulang yel-yel untuk melawan musuh Zionis, dan kami mendengar buletin khusus yang membanggakan betapa siapnya militer, tetapi ketika musuh ini membunuh ribuan saudara-saudara kami, kami hanya berdiam diri,” kata Omar.
Mesir telah menjadi sekutu dekat Israel sejak presiden Anwar Sadat menandatangani perjanjian perdamaian Camp David dengan Israel di bawah naungan AS pada tahun 1979.
Mesir telah memainkan peran penting dalam menegakkan blokade Israel atas Gaza sejak Hamas menguasai daerah kantong tersebut pada tahun 2007. Mesir terus berkoordinasi dengan Israel sejak dimulainya genosida terhadap warga Palestina di Gaza pada 7 Oktober, meskipun ada dukungan yang luas terhadap perjuangan Palestina di kalangan warga Mesir.
Hingga baru-baru ini, sebuah perusahaan yang terkait dengan pemerintah Mesir memungut biaya kepada warga Palestina sebesar Rp81 juta per orang, jumlah yang sangat besar bagi sebagian besar warga Gaza, untuk melarikan diri dari operasi genosida Israel dan melakukan perjalanan ke Mesir melalui penyeberangan perbatasan Rafah.
Namun pada awal Mei, militer Israel mengambil alih kendali atas penyeberangan Rafah dan menutupnya, sehingga mencegah warga Palestina, termasuk puluhan ribu orang yang terluka dan membutuhkan perawatan di luar negeri, untuk meninggalkan Gaza menuju Mesir.
Pada 27 Mei, pasukan Israel membunuh dua tentara Mesir, Abdallah Ramadan dan Ibrahim Islam Abdelrazzaq, dalam bentrokan di dekat perbatasan Rafah.
Setelah melakukan wawancara dengan Omar dan empat tentara Mesir lainnya, MEE melaporkan banyak yang kecewa dengan cara pemerintah menangani perang di Gaza dan pembunuhan rekan-rekan mereka.
Omar, yang bertugas di sebuah unit elit, mengatakan kematian dua rekannya hanya mendapat sedikit pengakuan dari militer Mesir, termasuk dari pimpinan senior dan Presiden Abdel Fattah El-Sisi.
Para prajurit Mesir yang terbunuh tidak dimakakan secara militer, dan media pemerintah tidak melaporkan kematian mereka.
Omar mengatakan semangat di unitnya rendah karena pembunuhan tersebut.
“Mengapa syuhada Ramadhan tidak dihormati dan namanya tidak disebut, dan tidak ada pejabat tinggi di pemakamannya?” tanya Umar.
“Ketika wajib militer polisi dengan pangkat terendah terbunuh dalam sebuah kecelakaan mobil, mereka mendapatkan pemakaman militer, dan Ramadan, yang melawan Zionis, dimakamkan secara diam-diam. Sungguh memalukan!” tambahnya.
Karena Mesir adalah negara miskin yang memiliki banyak utang, sulit bagi Presiden Mesir Abdel Fatah El-Sisi untuk mengambil sikap yang menentang Israel dan pendukung utamanya, AS.
Wartawan yang berbasis di Suriah, Vanessa Beeley, melaporkan Mesir telah bertahan secara ekonomi selama beberapa dekade dengan pinjaman miliaran dolar dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan sekutu-sekutu AS di antara Negara-negara Teluk.
Beeley mencatat pada akhir Maret 2024, IMF menyetujui program pinjaman Mesir, yang kemudian diperluas menjadi Rp130 triliun. Pada saat yang sama, Uni Eropa menyetujui paket “bantuan” senilai Rp130 triliun untuk menghidupkan kembali ekonomi Mesir yang mandek. Dia menambahkan paket-paket bantuan ini telah dikaitkan dengan genosida Israel yang sedang berlangsung di Palestina.
Pada Oktober 2023, tak lama setelah dimulainya serangan militer brutal Israel ke Gaza, muncul laporan mengenai potensi kesepakatan antara Kairo dan Tel Aviv. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menawarkan untuk mengatur agar Bank Dunia menghapus beban utang Kairo yang sangat besar, yang melebihi Rp2 kuadraliun, sebagai imbalan bagi Presiden Sisi untuk menyerap sejumlah besar orang Palestina yang ingin Israel bersihkan secara etnis dari Gaza.
Laporan Mesir sedang membangun sebuah penampungan di Sinai untuk para pengungsi Palestina juga telah beredar sejak 7 Oktober. Pada Februari 2024, citra satelit menunjukkan sebuah area tanah di sisi lain dari penyeberangan Rafah Mesir yang sedang dibuka untuk pembangunan, yang berpotensi menjadi area penampungan bagi warga Palestina ketika mereka diusir dari Gaza. (hanoum/arrahmah.id)