DIYALA (Arrahmah.com) – Sebuah video yang diposting di internet pada Rabu (4/3/2015) memperlihatkan tentara boneka Irak menembak mati dari jarak dekat seorang anak yang mereka tuduh berjuang dengan Mujahidin di provinsi Diyala.
Direktur Observatorium Irak untuk Hak Asasi Manusia, Mustafa Saadoun dalam sebuah wawancara dengan stasiun tv Al-Hadath, mengutuk perlakuan barbar terhadap anak yang diyakini berusia 11 tahun tersebut.
“Anak itu mengambil bagian dalam operasi melawan tentara Irak, namun ini tidak membenarkan eksekusi dengan cara ini,” ujar Saadoun.
“Semua hukum internasional dan Irak tidak memberikan hak kepada siapapun untuk membunuh anak kecil,” lanjutnya.
“Dia seharusnya ditangkap dan diadili secara hukum dan ditempatkan di rehabilitasi bukan disiksa.”
Dalam memerangi Daulah Islam (ISIS/IS), militer boneka Irak sangat tergantung pada milisi Syi’ah yang berulangkali menyiksa masyarakat Muslim.
Beberapa jam setelah serangan untuk merebut kembali Tikrit dari tangan IS pekan ini, utusan khusus PBB di Irak menyeru kepada kelompok-kelompok yang bertikai untuk menghindari menyerang warga sipil.
“Operasi militer diperkuat oleh dukungan udara internasional dan Irak, harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari korban sipil dan dengan menghormati sepenuhnya prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan,” klaim Nickolay Mladenov dalam sebuah pernyataan.
Namun kelompok HAM menyatakan keprihatinan bahwa warga sipil berada dalam resiko besar dalam operasi militer tersebut di mana sekitar 30.000 pasukan keamanan, relawan dan milisi Syi’ah mengambil bagian.
“Milisi paramiliter Syi’ah sering melakukan serangan sektarian terhadap warga Sunni yang tidak terlibat dalam permusuhan,” ujar penasehat senior Amnesti Internasional, Donatella Rovera seperti dilansir AFP.
Pada operasi sebelumnya di Baghdad, milisi Syi’ah setidaknya telah mengeksekusi 70 warga desa Sunni.
Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi yang telah memerintahkan penyelidikan atas pembantaian tersebut, saat mengumumkan operasi Tikrit ia mengatakan penduduk harus berbalik melawan IS yang telah menguasai kota itu sejak Juni tahun lalu.
Dalam pidatonya di parlemen ia juga menegaskan bahwa “dalam pertempuran ini tidak ada pihak yang netral” dengan alasan bahwa setiap orang yang memilih netral berarti berpihak kepada IS.
Abadi mendesak pasukannya untuk memperlakukan warga sipil dengan “hati-hati” tetapi tidak ada mekanisme untuk memastikan bahwa berbagai kekuatan yang melawan IS bertanggung jawab akan hal itu. (haninmazaya/arrahmah.com)