Bisnis kontraktor militer yang dimiliki sejumlah tokoh penting pemerintahan AS, antara lain meliputi aktivitas penyediaan tentara bayaran (Mercenaries), pelatihan tempur bagi tentara reguler suatu negara, penyediaan logistik militer dari yang sederhana seperti peluru aneka kaliber hingga pesawat jet tempur, misi pengawalan, dan sebagainya.
Setelah peristiwa penyergapan di Falujah akhir Maret 2004 yang menewaskan empat personel Mercenaries dari Blackwater Security Consulting, eksistensi tentara bayaran di daerah konflik menjadi kian terbuka.
Pemerintahan Gedung Putih tidak bisa lagi mengelak tudingan bahwa mereka telah mempergunakan banyak jasa kontraktor militer (Privat Military Company, PMC) di dalam berbagai invasi ke banyak negara semisal Afghanistan dan Irak. Bahkan menurut sejumlah pengamat, sikap agresif politik luar negeri AS di masa George Walker Bush tidak bisa lepas dari kepentingan para pialang industri militer seperti Wapres Dick Cheney maupun Bush sendiri. Para pialang industri militer ini jelas akan mengeruk keuntungan yang dahsyat jika perang berkobar di mana-mana.
Jauh sebelum terjadinya peristiwa WTC di tahun 2001, para pialang indusri militer AS yang juga merupakan tokoh-tokoh puncak di Gedung Putih serta Pentagon, telah merancang strategi penguasaan dunia melalui penggunaan mesin perang di mana pada akhirnya Amerika Serikat akan muncul menjadi satu-satunya adi daya dunia tanpa satu pun kekuatan dunia yang sanggup menandinginya.
Strategi ini tidak semata-mata berangkat dari perhitungan bisnis semata, melainkan berkolaborasi dengan keyakinan Kristen Zionis yang mulai tumbuh di Amerika pada era 1970-an. Menurut keyakinan Kristen Zionis AS, Maranatha atau turunnya kembali Yesus Kristus (Messiah) hanya akan terjadi jika bangsa Yahudi telah diselamatkan di Yerusalem dan Haikal Sulaiman telah berdiri kembali. Kelompok ini sangat yakin bahwa Messiah akan memimpin mereka memerangi dan menghabisi umat Islam hingga Yerusalem bisa sepenuhnya dikuasai mereka di hari akhir.
Berangkat dari keyakinan inilah, para pialang industri militer AS yang juga sebagian besar dari mereka duduk di posisi puncak Gedung Putih dan Pentagon, mengatur strategi agar Yerusalem bisa sepenuhnya dikuasai dan melumpuhkan kekuatan kaum Muslimin dunia.
Penolakan Amerika terhadap Perjanjian Rudal Balistik 1972, penolakan ratifikasi Protokol Kyoto tentang lingkungan, serta penolakan-penolakan AS terhadap berbagai perjanjian internasional sesungguhnya menjadi indikasi bahwa AS sedang berjalan sendiri dengan agendanya. AS tidak mau terikat dengan semua itu, karena AS telah begitu yakin dengan kekuatan sendiri, dia mampu untuk mengendalikan dan menundukan dunia.
Peristiwa WTC, 11 September 2001 merupakan pintu gerbang bagi pialang industri militer AS menangguk untung besar-besaran. Namun sebelum melihat peristiwa yang terjadi sekarang, agar memiliki pemahaman yang lengkap mengenai bisnis tentara bayaran dengan PMC-nya di Amerika, maka ada baiknya kita tengok dulu latar belakangnya
Iran Contra
Mega skandal Iran Contra yang melibatkan sejumlah pejabat top di Gedung Putih di era 1980-an, termasuk Presiden Ronald Reagan, bisa jadi merupakan pelajaran sangat berharga bagi rezim Geung Putih. Kasus Iran Contra merupakan sebuah kasus penjualan senjata yang dilakukan pemerintah AS ke Iran yang sebagian keuntungannya dialirkan ke kantong Gerilyawan Contra di Nicaragua.
Hal ini berawal dari peristiwa penyanderaan 52 warga AS yang berlangsung sejak 1 November 1979 di Gedung Kedutaan Besar AS di Teheran, Iran. Pemimpin Iran yang baru saja naik tahta, Ayatollah Khomeini, berada di belakang penyanderaan tersebut.
Saat itu, Presiden AS Jimmy Carter yang tengah berkampanye untuk memenangkan pemilu keduanya, memerintahkan agar diadakan sebuah operasi pembebasan bagi penyanderaan tersebut. Namun operasi pembebasan yang bersandi Eagle Claw yang dilancarkan pada bulan April 1980 gagal total sebelum sampai di Teheran. Helikopter tempur yang penuh berisi pasukan elit Delta Force mengalami kecelakaan di wilayah gurun sebelah timur Iran. Delapan serdadu pasukan elit itu tewas. Jelas, popularitas Jimmy Carter jatuh di mata rakyat AS.
Diam-diam, pesaing utamanya dalam pemilu presiden AS, Ronald Reagan, setelah melihat kegagalan Carter, berinisiatif untuk membentuk satu tim khusus yang akan membebaskan warga AS tersebut secara rahasia. Operasi rahasia ini bukan operasi tempur, melainkan sebuah lobi tingkat tinggi.
Reagan mengontak Iran dan mengatakan bahwa AS akan melakukan barter, jika ke-52 warganya dibebaskan maka AS akan memberi Iran sejumlah senjata antitank untuk menghadapi Irak dan uang tunai sebesar 40 juta dollar AS. Tergiur oleh tawaran serius yang diajukan utusan Reagan, Iran pun melepaskan sandera tersebut.
Simpati rakyat AS beralih penuh kepada Reagan dan memenangi pemilu presiden mengalahkan Carter. Tepat di hari pelantikan Reagan, 20 Januari 1981, ke-52 warga AS yang disandera Iran tiba di AS dengan selamat. Reagan telah menjadi pahlawan bagi rakyat Amerika.
Namun orang-orang yang tidak menyukai Reagan, termasuk Tim Sukses Jimmy Carter, pada akhirnya mencium aroma tak sedap di balik kesuksesan Reagan membebaskan ke-52 sandera tersebut. Secara intensif mereka menggelar pengusutan rahasia yang akhirnya menggelinding bagai bola liar yang menyeret sejumlah petinggi Gedung Putih ke pengadilan.
Salah satu kabar yang berhembus kencang adalah, George H. Bush dan William Casey selaku Manager Tim Sukses Reagan menemui PM Iran Bani Sadr di Paris soal negosiasi senjata gelap. Richard Brenneke, anggota tim sukses Reagan yang juga mantan agen CIA, membantah kabar itu di pengadilan, walau sebenarnya kejadian itu benar-benar terjadi. Setelah melewati banyak sekali tahap pemeriksaan dengan ratusan saksi, pengadilan AS akhirnya berhasil menyingkap skandal itu dan 176 tokoh politik utama di AS dianggap terlibat.
Kasus itu ditutup semasa Presiden Bill Clinton. Dengan alasan nasionalisme, maka ke-176 orang tersebut lalu dibebaskan. Walau demikian, menurut kelaziman hukum yang ada harus tetap ada yang masuk penjara, maka Letkol Oliver North pun dikorbankan dengan dakwaan menjual senjata secara gelap ke Iran dan menyalurkan dana hasil penjualan senjata itu ke Gerilyawan Contra di Nicaragua.
Pemerintah AS belajar banyak dari skandal Iran Contra tersebut. Sejak itu, timbul pemikiran bahwa terlalu beresiko jika pemerintah terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi seperti yang telah terjadi dalam Iran Contra. Menggunakan badan intelijen resmi pun resikonya sama. Sebab itu, dibutuhkan pihak ketiga yang bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah tetapi secara institusi terpisah dari pemerintahan.
Maka dari pemikiran itulah kemudian timbul gagasan untuk membentuk Private Military Company (PMC) yang dikelola oleh para mantan pejabat militer dan anggotanya juga mantan tentara. Dengan adanya PMC, pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan tinggal mengorder sesuatu, seringkali inipun dilakukan oleh ‘tangan lain’, dan membayarnya, setelah itu tinggal menunggu laporan bahwa misi sudah selesai dari PMC yang ditugaskan.
Amerika sendiri diketahui banyak sekali memakai jasa PMC dalam proyek-proyek pengamanan, utamanya di wilayah luar Amerika seperti Irak, Afghanistan, dan sebagainya. Rezim George Walker Bush dianggap sebagai rezim yang paling banyak memakai PMC dan berperan besar dalam perkembangan bisnis pewaris Templar ini. Wakil Presiden Dick Cheney, salah satu penggagas utama Doktrin Pax Americana (The New World Order dalam nama lain) dan ‘Dewa Perang Gedung Putih’, merupakan mantan CEO Halliburton, sebuah PMC yang paling makmur dan paling besar di AS, bahkan dunia.
Selain itu, berakhirnya perang dingin di era 1980-an yang disebabkan runtuhnya imperium blok timur dengan pecahnya Uni Sovyet menjadi negara-negara kecil dan juga diikuti oleh negara-negara blok komunis di Eropa Timur, dengan sendirinya hal ini menyebabkan ratusan ribu tentara Amerika yang ditempatkan di pos-pos luar negeri di negara-negara anggota NATO menjadi menganggur alias tidak punya pekerjaan. Keadaannya serupa saat Ksatria Templar kembali ke Eropa setelah terusir kalah dari pasukan umat Islam di bawah pimpinan Salahuddin al-Ayyubi.
Akibat berakhirnya perang dingin, jumlah tentara AS yang tadinya sekira 1, 5 juta personil akhirnya harus dipangkas setengahnya. Pemerintah AS menganggap wadah PMC adalah wadah yang tepat untuk menampung 750-an ribu tentara regular yang diberhentikan. Di PMC-PMC yang menampung mereka, para mantan tentara ini mendapatkan gaji dan fasilitas yang kurang lebih sama seperti ketika masih bertugas di dinas ketentaraan resmi, bahkan banyak dari mereka yang menerima lebih baik.
Sebab itu, PMC-PMC di Amerika setelah berakhirnya era perang dingin bertumbuhan bagaikan jamur di musim hujan. Dan yang banyak ini tentu memerlukan proyek agar bisnisnya bisa berjalan. (Bersambung, Rizki Ridyasmara/eramuslim)