Marine Basecamp yang terletak di Timur Fallujah, Irak, pagi itu tampak tidak ada kesibukan yang berarti. Tanggalan di kalender menunjuk angka 31 Maret 2004. Wesley Batalona, mantan pasukan elit Army Ranger AS berpangkat sersan yang kini bekerja pada Blackwater Security Consulting, sebuah perusahaan penyedia perangkat militer dan juga tentara bayaran, tengah mempersiapkan diri melakukan misi pengawalan. Bersama tiga rekannya—Scott Helvenston, Jerry Zovko, dan Michael Teague—mereka mendapat tugas untuk mendampingi konvoi truk yang akan mengambil peralatan dapur di Markas Komando 82nd Airborne di Falujjah.
Wajah Batalona terlihat sedikit tegang. Tugas di pagi ini terkesan begitu mendadak dan tidak mengindahkan standar prosedur operasional yang berlaku. Sebagai mantan pasukan khusus, Batalona mengerti betul bahwa standarisasi keamanan tidak bisa diabaikan. Walau kelihatan sepele namun kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal.
Di front pertempuran seperti di Irak ini, siapa pun tidak bisa menduga kapan akan terjadi penyerangan, kapan bom atau ranjau akan meledak, kapan rudal akan mampir dan mengkoyak tubuh. Satu-satunya ikhtiar yang bisa dilakukan adalah memenuhi peraturan dan standar operasi yang ada. Itu pun kerap tidak cukup. Nyawa tetap terancam setiap waktu, setiap detik.
Dalam Standard Operating Procedure (SOP) banyak kontraktor militer termasuk Blackwater, dalam misi pengawalan kendaraan apa pun yang akan melintasi daerah merah satu atau daerah yang dinilai sangat berbahaya karena rawan bentrokkan senjata atau belum dikuasai sepenuhnya seperti Fallujah City, maka satu kendaraan SUV pengawal seperti Humvee, Land Rover Defender, Perentie, atau pun Flyer LSV yang dilengkapi dengan senapan mesin berat di dek belakang harus diisi minimal tiga orang, yang terdiri dari pengemudi, pendamping pengemudi yang duduk di samping depan sebagai pengawas keadaan sekitar dan dilengkapi dengan senjata serbu sejenis Colt M4A1 Carbin-Grenade Launcher atau bisa juga senapan mesin ringan SAW (Squad Automatic Weapon) sejenis Minimi, dan satu awak lagi sebagai penembak pendukung—rear gunner—yang berdiri di belakang mengawaki senapan mesin berat yang terpasang di dek seperti M2HB kaliber 12, 7 mm yang memiliki jarak tembak efektif antara 2. 000 hingga 3. 000 meter dengan magasin rantai tak terbatas.
Namun dalam misi di pagi hari akhir Maret 2004 itu, satu SUV hanya diawaki dua personel: supir dan pendamping, tanpa penembak pendukung di belakang. Entah mengapa hal ini bisa terjadi. Persiapan yang dilakukan pun terkesan terburu-buru.
Batalona tidak bisa mengajukan komplain tentang hal ini karena komandan base-camp masih ada di dalam tenda pribadinya. Biasanya ia tidak mau diganggu sepagi ini. Batalona akhirnya hanya bisa memendam sendiri ketidakpuasannya. “Nanti jika misi selesai, aku akan mengajukan komplain,” gerutunya.
Konvoi telah berjalan beriringan meninggalkan base camp Marinir AS di timur Fallujah menuju pusat kota. Sejak awal bergabung dengan Blackwater, Batalona telah sadar, pekerjaan ini memang mengandung resiko tinggi, bahkan taruhannya nyawa. Tapi upah yang diterima pun sangat menggiurkan ketimbang tetap berada dalam kesatuan Army Ranger.
Lewat kacamata Oakley hitamnya, Batalona berusaha tetap tenang mengawasi keadaan sekitar. Hari telah terang. Pandangannya jauh ke depan, merambah gurun pasir di kiri kanan jalan yang berserak dengan puing-puing rumah, gedung, dan bangkai kendaraan di sisi jalan. Jari telunjuknya tidak lepas dari picu senjata serbunya. Batalona tidak mau sedikit pun kecolongan. Instingnya mengatakan bahwa perjalanan pengawalan ini tidak bisa dianggap enteng. Fallujah merupakan daerah sangat berbahaya. Sering sekali kendaraan tempur tentara Amerika hancur tiba-tiba saat melaju di jalan raya ini terkena ledakan ranjau atau terkaman RPG yang diluncurkan dari tempat tersembunyi oleh para gerilyawan Irak.
Konvoi berjalan dengan kecepatan sedang. Menurut informasi intelijen, rute yang akan dilalui menuju pusat kota Fallujah pagi ini sudah aman. Bisa jadi, sebab itu konvoi berjalan lurus menuju pusat kota, tidak mengambil rute alternatif belok ke utara yang hanya berjarak tidak lebih dari dua kilometer dari garis perbatasan kota dan dinilai sangat aman karena terdapat sejumlah pos penjagaan tentara Amerika di pinggir jalan.
Selepas bergerak ke kiri dari jalan raya pusat kota menghindari persimpangan utama, tidak sampai dua menit kemudian, keheningan di pagi hari itu dikejutkan dengan suara ledakan amat keras yang menghantam salah satu truk yang berada di deretan ketiga. Truk besar dengan boks tertutup itu segera hancur menjadi rongsokan besi yang berkobaran.
Tak sampai satu tarikan nafas, ledakan itu kemudian disusul dengan bunyi rentetan tembakan dari berbagai arah dan ledakan granat di sana-sini. Suasana di pagi hari itu mirip dengan pesta mercon berskala besar. Entah dari mana datangnya, Batalona melihat banyak gerilyawan Irak sudah mengepung mereka. Dengan berbagai varian senapan serbu seperti AK-47 dan M-16, para gerilyawan yang menutupi kepala mereka dengan kafiyeh hitam dan putih itu terus merangsek maju menembaki apa saja yang dilihatnya bergerak. Berkali-kali mereka berteriak “Allahu Akbar”.
Secepat kilat Batalona melompat dari kendaraan dan berguling mencari perlindungan di samping roda. Sambil tiarap, lelaki yang telah berumur dan berambut putih itu menembakkan senjatanya. Colt M4A1 Carbine menyemburkan peluru berkaliber 5, 56 standar NATO secara terarah. Asap dan debu menghalangi pandangannya. Oakley hitamnya entah jatuh di mana.
Batalona kaget bukan kepalang ketika melihat beberapa di antara para penyerangnya memanggul RPG dan mengarahkan senjata dahsyat itu ke arah mobilnya. Secara refleks Batalona berguling menjauh di antara desingan peluru dan debu, sembari tetap menembak. Benar saja, semburat api terlihat dari salah satu moncong RPG yang dipanggul gerilyawan Irak dan langsung menghantam Humvee yang ditumpanginya. Ledakan keras terdengar menggelegar, memecahkan gendang telinga tentara bayaran itu yang tiarap tidak jauh dari ledakan. Kobaran api dan asap hitam membubung tinggi dari kendaraan mereka.
Batalona sekuat tenaga tetap bertahan. Dua magasin peluru kaliber 5, 56 telah dihabiskan berikut satu granat dari bawah laras Colt M4A1-nya. Namun apa daya, para penyerangnya lebih menguasai medan. Dengan gesit mereka berlarian sambil tetap menembak dan melempar granat. Ini membuat para pengawal yang sebenarnya sudah berpengalaman di berbagai medan pertempuran panik. Keadaan di lapangan ternyata berbeda sekali dengan apa yang selama ini digambarkan dalam berbagai film produksi Hollywood yang menyampaikan pesan bahwa tentara Amerika itu gagah berani dalam medan perang.
Penyergapan tidak berlangsung lama. Sejumlah kendaraan berhasil dibakar dan dihancurkan para gerilyawan. Mayat para pengawal dan lainnya bergelimpangan tak keruan. Tubuh mereka tak utuh lagi dan hangus terbakar.
Yang lebih menyeramkan, tak berapa lama usai penyergapan, di atas palang jembatan baja Sungai Euphrat, dua mayat tentara bayaran Amerika Serikat itu ditemukan tergantung terbalik dengan kepala menghadap ke bawah. Warga Fallujah bergerombol menyaksikan pemandangan tersebut. Beberapa anak kecil tampak mengacungkan dua jari tangannya membentuk huruf V, Victory, sembari tertawa riang. Para wartawan teve dari berbagai negara pun sudah mengabadikan peristiwa itu dengan kameranya masing-masing.
“Dalam penyergapan yang dilakukan para pemberontak Irak di pagi hari di pusat kota Fallujah, 31 Maret 2004, sedikitnya diketahui, empat personel tentara bayaran, para pengawal dari Blackwater Security Consulting—Scott Helvenston, Wesley Batalona, Jerry Zovko, dan Michael Teague—ditemukan tewas. Mereka mati dengan tubuh hangus terpanggang dan terpotong. Dua di antaranya digantung terbalik di atas jembatan Sungai Euphrat,” ujar penyiar CNN yang menayangkan kejadian tersebut on-location dari jembatan Sungai Euphrat, Fallujah, Irak.
Kejadian itu kontan menggemparkan dunia dan warga Amerika khususnya. Para personel Blackwater yang banyak terdiri dari anggota pasukan elit dari berbagai negara yang kini bertugas di Irak bersumpah akan menuntut balas kematian rekan-rekan mereka dengan cara yang amat menghinakan.
Empat hari kemudian, serangan besar terjadi di kota Fallujah dan menewaskan banyak penduduk sipil. Tidak diketahui apakah serangan tersebut berhasil menghabisi para pembunuh keempat anggota Blackwater atau tidak.
Peristiwa penyergapan Mujahidin Irak terhadap empat personil kontraktor milter Blackwater menyedot perhatian dunia. Bukan karena keberhasilan penyergapan Mujahidin Irak, tetapi lebih karena faktor adanya bukti tentara bayaran yang dipekerjakan di Irak. Sesuatu yang selama ini ditutup-tutupi pemerintah Amerika Serikat.(bersambung/ Rizki Ridyasmara/eramuslim)