DHAKA (Arrahmah.id) – Tentara berpatroli di kota-kota Bangladesh pada Sabtu (20/7/2024) untuk memadamkan kerusuhan sipil yang dipicu oleh demonstrasi mahasiswa, dengan polisi anti huru-hara menembaki para pengunjuk rasa yang menentang jam malam yang ditetapkan pemerintah.
Kekerasan pekan ini telah menewaskan sedikitnya 115 orang, menurut hitungan AFP atas korban yang dilaporkan oleh polisi dan rumah sakit, dan menimbulkan tantangan monumental bagi pemerintahan otokratis Perdana Menteri Sheikh Hasina setelah 15 tahun berkuasa.
Jam malam mulai diberlakukan pada tengah malam dan kantor perdana menteri meminta militer untuk mengerahkan pasukan setelah polisi kembali gagal meredam kekacauan yang meluas.
“Tentara telah dikerahkan secara nasional untuk mengendalikan situasi hukum dan ketertiban,” ujar juru bicara angkatan bersenjata Shahdat Hossain kepada AFP.
Jam malam akan tetap berlaku hingga setidaknya pukul 10:00 pagi pada Ahad (21/7), demikian laporan lembaga penyiaran swasta Channel 24.
Jalan-jalan di ibu kota Dhaka hampir sepi saat fajar menyingsing, dengan tentara berjalan kaki dan kendaraan lapis baja berpatroli di kota besar yang berpenduduk 20 juta jiwa itu.
Ribuan orang kembali turun ke jalan pada siang hari di lingkungan perumahan Rampura, dengan polisi menembakkan peluru tajam ke arah kerumunan dan melukai setidaknya satu orang.
“Punggung kami menghadap tembok,” kata seorang pengunjuk rasa Nazrul Islam (53), kepada AFP di tempat kejadian.
“Ada anarki yang terjadi di negara ini. Mereka menembaki orang-orang seperti burung.”
Rumah sakit-rumah sakit telah melaporkan peningkatan jumlah korban tewas akibat tembakan kepada AFP sejak Kamis.
“Ratusan ribu orang” telah bertempur melawan polisi di seluruh ibu kota pada Jumat, kata juru bicara polisi Faruk Hossain kepada AFP.
“Setidaknya 150 petugas polisi dirawat di rumah sakit. 150 lainnya diberikan perawatan pertolongan pertama,” katanya, menambahkan bahwa dua petugas telah dipukuli sampai mati.
“Para pengunjuk rasa membakar banyak pos polisi. Banyak kantor pemerintah dibakar dan dirusak.”
Seorang juru bicara Students Against Discrimination, kelompok utama yang mengorganisir protes tersebut, mengatakan kepada AFP bahwa dua pemimpinnya telah ditangkap sejak Jumat.
Seorang pejabat senior kedua dari oposisi utama Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) ditangkap pada dini hari Sabtu, kata juru bicara partai tersebut, Sairul Islam Khan, kepada AFP.
Hasina tadinya dijadwalkan untuk meninggalkan negara itu pada Ahad untuk sebuah tur diplomatik yang direncanakan, tetapi membatalkan rencananya setelah seminggu kekerasan meningkat.
“Ia telah membatalkan turnya ke Spanyol dan Brasil karena situasi yang ada, kata sekretaris persnya, Nayeemul Islam Khan, kepada AFP.
‘Bukan tentang mahasiswa lagi’
Unjuk rasa yang berlangsung hampir setiap hari bulan ini telah menyerukan diakhirinya sistem kuota yang mencadangkan lebih dari separuh jabatan pegawai negeri untuk kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak-anak para veteran dari perang pembebasan negara ini melawan Pakistan pada 1971.
Para kritikus mengatakan bahwa skema ini menguntungkan anak-anak dari kelompok-kelompok pro-pemerintah yang mendukung Hasina (76), yang telah memerintah negara itu sejak 2009 dan memenangkan pemilihan keempat berturut-turut pada bulan Januari setelah pemungutan suara tanpa oposisi yang sesungguhnya.
Pemerintah Hasina dituduh oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menyalahgunakan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan kekuasaannya dan membasmi perbedaan pendapat, termasuk dengan pembunuhan di luar proses hukum terhadap para aktivis oposisi.
Sejak kematian pertama pada Selasa, para pengunjuk rasa mulai menuntut Hasina untuk turun dari jabatannya.
“Ini bukan tentang hak-hak mahasiswa lagi,” kata seorang pemilik bisnis, Hasibul Sheikh (24), kepada AFP di lokasi protes Rampura.
“Kami di sini sebagai masyarakat umum sekarang,” tambahnya. “Tuntutan kami hanya satu, yaitu pengunduran diri pemerintah.”
Pierre Prakash dari Crisis Group mengatakan kepada AFP bahwa kurangnya pemilihan umum yang kompetitif sejak Hasina menjabat telah menyebabkan meningkatnya rasa frustrasi publik.
“Dengan tidak adanya alternatif yang nyata di kotak suara, warga Bangladesh yang tidak puas hanya memiliki sedikit pilihan selain protes di jalanan untuk membuat suara mereka didengar,” katanya.
‘Dakwaan yang mengejutkan’
Rumah sakit dan polisi melaporkan tambahan 10 kematian pada Sabtu, akibat bentrokan pada hari sebelumnya, dengan 105 kematian lainnya dilaporkan sejak Selasa.
Tembakan polisi menjadi penyebab lebih dari separuh kematian yang dilaporkan sejauh ini dalam minggu ini, berdasarkan deskripsi yang diberikan oleh staf rumah sakit.
“Meningkatnya jumlah korban tewas merupakan dakwaan yang mengejutkan atas intoleransi absolut yang ditunjukkan oleh pihak berwenang Bangladesh terhadap protes dan perbedaan pendapat,” kata Babu Ram Pant dari Amnesty International dalam sebuah pernyataan.
Pihak berwenang memberlakukan pemadaman internet secara nasional pada Kamis yang masih berlaku hingga saat ini, yang sangat menghambat komunikasi keluar masuk Bangladesh.
Situs-situs pemerintah tetap offline dan surat kabar utama termasuk Dhaka Tribune dan Daily Star tidak dapat memperbarui platform media sosial mereka sejak Kamis.
Bangladesh Television, lembaga penyiaran pemerintah, juga tetap offline setelah kantor pusatnya di Dhaka dibakar oleh para pengunjuk rasa pada hari yang sama. (haninmazaya/arrahmah.id)