(Arrahmah.com) – Akhlak mulia wajib menyatu dalam kepribadian anak-anak, pengemban dakwah, politikus, guru, orang tua, majikan, karyawan, seluruh muslim. Derajat taqwa tentu dengan akhlaknya mulia, dan tentu mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hal ini, Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah ditanya, “Siapa manusia termulia.” Beliau menjawab, “Orang yang paling bertakwa.” (HR Ibn Abi Dunya’).
Hanya dengan takwa itulah manusia bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam yang dituturkan oleh Ibn Abbas ra, “Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling mulia, hendaklah ia bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling kuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling kaya, hendaklah ia lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih daripada apa yang ada pada dirinya sendiri.” (HR Al-Baihaqi).
Kedudukan orang yang berakhlak mulia pada Hari Kiamat nanti dekat dengan kedudukan Baginda Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat kedudukannya dengan majelisku pada Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebaliknya, orang yang aku benci dan paling jauh dari diriku adalah orang yang terlalu banyak bicara (yang tidak bermanfaat, pen.) dan sombong.” HR at-Tirmidzi).
Lalu apa yang dimaksud dengan akhlak mulia atau husn al-khulq? Di dalam tafsirnya, Abdullah ibn al-Mubarak, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, menyebut husn al-khulq sebagai: selalu bermuka manis; biasa melakukan kebajikan, di antaranya dengan biasa memberikan nasihat kepada orang lain dengan kata-kata yang baik, ringan tangan (mudah membantu orang lain), dll; serta sanggup menahan diri dari sikap menyakiti orang lain baik lewat ucapan maupun tindakan.
Husn al-hulq sesungguhnya juga merupakan gabungan dari sikap suka memaafkan, biasa memerintahkan kebajikan dan berpaling dari orang-orang yang jahil/bodoh, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Berilah maaf, perintahkanlah kebaikan dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (TQS al-A’raf [7]: 199). (Muhammad ‘Alan, Dalil al-Falihin, III/72).
Mari kita bersegera untuk menempa diri . Sayyidina Hasan berkata, “Wahai Anak Adam, bersihkanlah (dirimu) dari apa saja yang diharamkan Allah, maka anda akan menjadi ahli ibadah. Relalah dengan apa yang Allah bagikan untukmu, maka anda akan menjadi kaya… Bersabarlah dengan orang sebagaimana anda menginginkan mereka bersahabat dengan anda, maka anda akan adil” (Rasyid Ridha, al-Hasan wa al-Husain).
Ainun Dawaun Nufus (aktivis di MHTI Kab. Kediri)
(*/arrahmah.com)