JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengomentari meninggalnya Nurdin di Dompu NTB oleh kebiadaban Densus88 saat melakukan penindakan hukum, mengindikasikan kuat bahwa Densus 88 tak lebih dari gerombolan peneror umat Islam.
Harits mengatakan supremasi hukum tidak lagi menjadi doktrin penegak hukum.Cara kerja dengan dasar dendam kusumat lebih menonjol pada kasus terbunuhnya Nurdin ditangan Densus88.
“Sesungguhnya orang-orang yang masuk daftar DPO Densus88, dugaan kuat saya semua sudah terpetakan koordinatnya, tinggal kapan mau dimainkan. Namun sangat disayangkan jika cara-caranya seperti halnya gerombolan peneror yang tidak mengerti hukum,” ungkap Harits lewat pesan elektroniknya kepada redaksi Senin (22/9/2014).
Pemerhati kontra terorisme ini juga mengatakan pihak Polri boleh dan bisa saja membuat argumentasi kenapa Nurdin harus di tembak mati.
“Tapi masyarakat juga tidak bodoh dan tidak bisa dibodohi karena kesaksian dilapangan banyak menunjukkan informasi yang kontra dengan statemen Polri.Dan hal ini tidak bisa di abaikan,” ungkapnya
Akhirnya dia berkesimpulan cara kerja Densus88 sangat tidak profesional bahkan brutal.
“Dari kesaksian-kesaksian di lapangan saya perlu sampaikan pandangan sebagai kritik atas peristiwa tersebut, Densus88 bukan law enforcement tapi dendam kusumat,” kata Harits.
“Ini satu bukti lagi cara kerja Densus88 yang tidak profesional, bahkan boleh dibilang cara biadab dalam penindakan dan penegakkan hukum,” tambahnya.
Telah diberitakan, Densus 88 Polri menembak mati Nurdin saat dia sedang shalat Ashar di rumah orang tuanya di Desa O”o, Kecamatan Dompu, Sabtu (20/9/2014). Nurdin merupakan adik almarhum Ustadz Firdaus dari pondok pesantren Umar Bin Khothob. Terjangan timah panas Densus menembus kepala dan lehernya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.
Kesaksian istri Nurdin yang tidak bersedia disebut namanya menyesalkan tindakan biadab Densus 88 yang kembali menodai simbol-simbol Din Islam, yakni menembak suaminya yang sedang sholat Ashar.
“Kami sekeluarga sangat terpukul dan tidak terima dengan cara Densus, karena saat itu aku dan suamiku sedang sholat berjamaah di rumah mertuaku. Kami sholat berdua, dan beliau imamnya, namun beberapa saat kemudian Densus langsung masuk dengan menendang pintu rumah dan langsung menembak suamiku yang sedang sholat, kepala pecah dengan otak berserakan serta bagian leher tembus oleh peluru,” ungkap istri almarhum Nurdin.
“Saat itu juga, mayat suamiku langsung mereka masukan ke kantong mayat, dan langsung diangkut di atas mobil,” lanjutnya.
Dia menolak tuduhan dusta aparat tentang suaminya yang membawa dan menyimpan bom, apalagi melemparkanya kepada aparat saat penangkapan Nurdin.
“Dan kami juga tidak menerima penemuan sebuah bom yang ditemukan oleh Densus, karena saya yakin, sejak kami datang dari Bima, kami tidak membawa yang namanya bom” katanya.(azm/arrahmah.com)