PATANI (Arrahmah.com) – Kemuning senja menemani perjalanan kami, tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU) kembali ke Malaysia. Mentari berjalan perlahan ke balik bukit-bukit hijau sepanjang jalan yang mengular entah dimana ujungnya. Patani, Narathiwa, Yala di Negeri Patani (kini Thailand Selatan), tak terasa harus berpisah dengannya. Rintik hujan membelai lembut jalanan di Pattani di penghujung senjanya. Tetesnya membasahi bumi, mengingatkan akan air mata yang menetes pagi tadi.
Butiran bening itu berkumpul pada sudut matanya yang sedang berkaca-kaca. Suaranya seakan berat, tertahan, “..terima kasih..” sambil menghela nafas sembari berusaha menyeka air matanya. Ucapan syukur tiada terkira, berkali-kali ucapan terima kasih itu terlafal. Linangan air mata itu tak dapat disembunyikan, ketika kami, tim JITU mengunjunginya di sudut Patani, Wilayah Narathiwa, Rusok-Jaba. Sekitar satu jam dari wilayah Yala.(baca tulisan: Doa untuk Yala: Laporan Pandangan Mata di daerah konflik, Yala, Thailand)
Hayati, wanita bercadar itu diam sejenak. Kami hanya bisa menghela nafas, mendengarkan kisahnya dengan mata berkaca-kaca. Hayati memang tak sendirian. Di sampingnya ada Syamsiah dan Murni, yang kini senasib dengannya. Beralas tikar, beratap asbes, di dalam rumah sederhana itu, dinaungi pepohonan lebat, kami mendengar kisah mereka, kisah tentang perjuangan sang suami yang kini tak dapat bersua dengan mereka.
“Alhamdulillah…saya bahagia..suami saya insya Allah mendapatkan apa yang diinginkannya,” lirih Hayati tegar. Tak terasa, air mata ini berkumpul di sudut mata. Masih ingat dalam benaknya, 5 Oktober 2013 silam, ketika tentara rezim Thailand itu merangsek masuk. Memberedel rumah di kampungnya dengan longsongan peluru. Mulai detik itu, status janda disandang Hayati, Murni, dan Syamsiyah. Kejadian yang sudah berlangsung berabad-abad hingga detik ini.
Abdurrahim, Sofyan, Zulkifli, dan Utsman, memilih jalan yang Allah janjikan balasan terbaik. Lihatlah wajah senyumnya menjemput maut, tak ada yang lebih indah daripada karunia syahid di jalan Allah Ta’ala. Lihatlah, ketika mereka tinggalkan istri mereka dengan suatu yang tak pernah dirasakan orang lain ketika ditinggal keluarga tercinta.
Ketika ketiga istrinya, Hayati (Abdurrahim), Syamsiah (Sofyan), Murni (Zulkifli) begitu tegar dan gembira menyambut syahidnya suami tercinta. Bulir bening itu hanya menetes dalam bahagia dan haru, ketika saudara seiman mereka datang bersua dengan mereka. “Kabarkan pada dunia, biar mereka tahu,” pesannya kepada kami.
Berkali-kali air mata ini terseka. Melihat begitu tegarnya mereka.Tak ada rasa gelisah di sana, ketika sang suami kini telah tiada. Tak ada kesedihan mendalam, hanya lara sesaat, sebagai fitrah wanita yang ditinggal suami. Setelahnya, senyum kembali tersimpul. Dikisahkan dengan tegar kepada kami kejadian yang menimpa suami-suaminya. “insya Allah kami tak menyesal memilih jalan ini,” ungkap Syamsiah.
Syamsiah, wanita berjilbab lebar, sambil memangku sang buah hati, kini tak bisa lagi mengasuh puterinya bersama Sofyan. Wanita 21 tahun itu harus berjuang sendiri mengasuh anaknya yang masih berusia tiga tahun dan 9 bulan. Pun dengan bayi mungil yang baru berusia 6 bulan dalam asuhan Hayati, tak kan bisa menatap ayahnya.
“Ayah ingin berjumpa dengan Allah nak, kini beliau sudah berjumpa,” kata Murni, menjawab tegar ketika anaknya yang berusia 10 tahun dan 7 tahun bertanya,” Ayah kemana umi?”. “Insya Allah mereka sudah paham,” kenang Murni.
Jika sang istri begitu bersyukur atas nikmat syahid (insya Allah) yang akhirnya Allah berikan pada suami mereka, begitupun sang Ayah dalam senyum lembut pun merelekan putra-putranya. “Alhamdulillah..mereka mendapatkan yang mereka inginkan,” kata Umar, ayah Zulkifli.
Matanya berkaca-kaca, dibalik lipatan kulitnya yang sudah tak lagi muda, ada rasa gembira dalam lubuk hatinya. “Perasaan kami senang, semoga perjuangan putra kami dilanjutkan,” ungkap Yaqub, mengenang Sofyan, putranya yang baru berusia 28 tahun sudah menjemput kematian dengan senyuman.
Umar, Yaqub, Murni, Syamsiah, Hayati kini tak dapat menatap lagi wajah lembut orang-orang kesayangannya. Kini, putra-putranya tak dapat memanggil “Abah” lagi. Takkan ada lagi rengekan putra Hayati memanggil kalimat ‘Abah’. Kini, tak ada lagi sosok pejuang di tengah keluarga mereka. “Setiap pagi, insya Allah saya ke kuburan ayah mereka,” ungkap Syamsiah. Mengenang itu mengingatkan. Mungkin, dengan ziarah ke makan ayahnya, mengingatkan bahwa perjuangan ini tak kan berhenti walau ayahnya telah tiada.
“Insya Allah perjuangan ini akan dilanjutkan, hingga keturunan kami,” ungkapnya. “Semoga Patani tidak ada kezaliman, tercipta kedamaian dan kebebasan,” ungkap mereka. Dalam rumah sederhana itu, tak lupa terselip doa bagi umat Islam di Indonesia, dari para keluarga syuhada (insya Allah). “Agar Indonesia semakin berjaya,” bisik mereka.
Terakhir, Toni Syarqi, perwakilan tim JITU dan Road4Peace Indonesia menyampaikan “Kami merasa turut..” ucapnya berhenti sejenak, menghela nafas. Dengan terbata, dilanjutkan harapan kami,”Barangkali kalau melihat makam mereka, kita semua sedih. Tapi di sini, kami melihat harapan, kami masih berharap umat IslamPatani nak berjaya.”
“Kami berterima kasih diterima disini, kami mohon maaf tak membawa apa-apa ke sini, tapi akan membawa pesan (berita) ini ke Indonesia. Kami tak meninggalkan apa-apa kecuali hati kami. Walau fisik kami harus berpisah, tapi hati kami bersama umat Islam Indonesia tetap di sini,” ucapan kami terakhir untuk warga Patani.
Berat memang, meninggalkan saudara kita yang terus berjuang, melawan kezaliman. Patani, bumi Nusantara silam, dimana Islam mempersaudarakan kita di bumi ini. Islam dan bahasa Melayu, ikatan kuat bangsa Melayu. Sejauh mata memandang, dari Merauke hingga Patani. Kini, tanah ini mencari kedamaian. Kuncup Syuhada bermekaran. Hingga suatu saat, bumi Nusantara kembali tersenyum, dalam pangkuan Islam. Ada doa kita yang terselip untuk Muslim Patani. (Lesus, Wartawan Alhikmah, tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dalam Road4Peace. Senin, 18 November 2013, Patani). (azm/arrahmah.com)