Sesungguhnya segala puji itu milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya dan berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa diberi petunjuk Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkan. Dan barang siapa disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran :102)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 70-71)
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa’ : 1)
Dan aku bersaksi bahwa tiada llah kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah dan memberi nasehat kepada umat. Mudah- mudahan kesejahteraan dan keselamatan dicurahkan Allah kepada junjungan kita Muhammad saw, kepada keluarganya serta sahabat-sahabatnya,
Wa ba’du:
Diri seseorang merupakan perintangan pertama bagi mereka yang hendak melangkah di jalan jihad yang mendaki ini. Sebagaimana ucapan Ibnul Qoyyim rhm. “Ketahuilah bahwa diri itu merupakan gunung besar yang merintangi jalan mereka yang melangkah menuju keridloan Allah. Tidak mungkin seseorang bisa menempuh jalan tersebut sebelum ia melewati gunung yang besar itu”.
Jalan yang mendaki dan sulit ini… gunung yang besar ini, disertai pula dengan lembah-lembah, bukit-bukit dan jurang-jurang yang dalam. Syetan berdiri di atas puncaknya dan memperingatkan dengan maksud menakut-nakuti orang yang berusaha untuk mendaki puncak ketinggian tersebut. Perintang yang datangnya dari diri sendiri ini harus kamu lewati sehingga kamu sampai ke jalan Allah yang aman. Jalan keselamatan yang diterangi oleh wajah Allah swt.
Maka dari itu kamu harus mendaki gunung ini. Setiap mana seorang muslim mencoba untuk menaikinya, maka syetan meneriakinya, hawa nafsu menariknya, syahwat melemahkan kemauannya. Semua bermaksud untuk melengketkan ke bumi, meski orang tersebut adalah ulama besar. Maka dari itu harus melepaskan dirinya dari segala macam keterikatan, dari segala macam ikatan dan belenggu sehingga tubuhnya menjadi enteng dan dapat mendaki puncak yang tinggi itu. Apabila ia berhasil mendaki puncak itu, maka ia akan menemukan jalan yang aman, seperti yang difirmankan Allah Azza Wa Jalla:
“Allah menyeru (manusia) ke negeri keselamatan (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS. Yunus: 25)
Dan ia adalah jalan yang diterangi dengan cahaya,lurus, aman, lagi menjamin keselamatan. Yaitu sesudah mana seseorang berhasil melewati rintangan besar yang menghadangnya. Rintangan itu adalah hawa nafsu yang selalu mendorong berbuat jahat.
SEBAB YANG MENARIK MANUSIA KEPADA KEHIDUPAN DUNIA
Pertama: Kebodohan
Sebenarnya banyak sekali faktor yang membantu nafsu (yang selalu mendorong berbuat jahat) untuk mengikat pemiliknya kepada kehidupan dunia. Diantara yang utama adalah “kebodohan”. Kebodohan adalah kubangan yang busuk baunya, mengikat setiap yang mempunyai hawa nafsu dengan kebusukannya sehingga iapun tenggelam dan menyelam dalam lumpurnya yang berbau busuk.
Kebodohan merupakan faktor terbesar yang merintangi perjalanan seseorang kepada Allah Azza Wa Jalla. Merintangi kaki dari belenggu yang mengikatnya. Merintangi ruh yang akan melepaskan diri dari belenggunya. Kebodohan, apabila telah menimpa diri seseorang, maka terkadang akan membuatnya mengingkari adanya matahari meskipun ia melihat di siang hari bolong.
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka juga tidak beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti (bodoh)”. (QS. Al An-aam : 111)
Andaikata orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, para malaikat datang, dan seluruh binatang liar datang serta berbicara kepada mereka; tetap saja mereka tidak beriman. Penyebabnya adalah kebodohan (akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti).
Bodoh disini bukan berarti kurang pengetahuan, akan tetapi “tidak mengerti”. Orang yang mengetahui tentang Allah adalah yang takut dan bertaqwa kepada Nya. Sebagaimana firman Allah :
“Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ? “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS. Az Zumar : 9)
Orang yang beribadah, berdiri sholat sepanjang malam, mengharap surga yang dijanjikan Rabbnya, takut terhadap adzab Nya; adalah orang-orang yang dikatakan `alim (berilmu/mengetahui).
Ibnu Mas`ud r.a. berkata,
” Bukanlah yang dinamakan ilmu itu dengan banyaknya riwayat (yang dihafalkan), tetapi ilmu adalah sesuatu yang mendatangkan rasa takut”.
Mari kita simak bersama perkataan nabi Yusuf As, ” Dan jika engkau tidak dihindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku akan menjadi diantara orang-orang yang bodoh”. (QS. Yusuf : 33)
Yusuf mengetahui bahwa zina adalah perbuatan keji dan suatu kemaksiatan yang besar. Namun demikian, pengetahuan nabi Yusuf akan kekejian perbuatan tersebut tidak menafikan predikat bodoh andaikan ia terjerumus ke dalamnya. Jadi kebodohan adalah rintangan yang paling besar yang menghadang di depan jalan mendaki dari gunung yang dinamakan’Hawa nafsu yang selalu mendorong berbuat jahat’.
Oleh karenanya, Nabi Musa As menjawab perkataan kaumnya ketika ia menyuruh kepada mereka menyembelih sapi betina dan mereka mengatakan, “Adakah engkau akan menjadikan kami bahan olok-olokan?”.
“Aku berlindung kepada Allah menjadi diantara golongan orang-orang yang bodoh
(QS. Al Baqarah : 62)
Beliau tidak menjawab dengan ucapan, “Aku berlindung kepada Allah menjadi diantara golongan orang-orang yang mencemooh”.
Oleh karena kebodohan lebih besar bala`nya daripada mencemooh. Bodoh terhadap Allah sebab yang menjadikan seseorang mencemooh dan memperolok-olok yang lain.
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata, “Allah tidak menaruhkan sesuatu kepada manusia”. (QS. Al An `aam : 91)
Sikap tidak menghormati Allah serta tidak mengagungkan Nya adalah yang dinamakan jahil/bodoh terhadap Allah `Azza Wa Jalla. Ma`rifat atau pengetahuan tidak menafikan kebodohan. Kadang ma`rifat dan kebodohan bertemu dalam diri seseorang, ilmu adalah lawan dari kebodohan. Dan ilmu itu sendiri adalah rasa takut. Boleh jadi seseorang banyak mengetahui sesuatu dan banyak mengerti sesuatu, akan tetapi sebenarnya ia tidak mengetahui kecuali sedikit saja.
“Aliif lam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat (1) dan sesudah mereka dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum : 1-7)
Mereka mengetahui seluk beluk dan rahasia atom, putaran elektron, kapal terbang, kapal perang, jet-jet tempur serta teknologi tinggi yang lain. Mereka mengetahui itu, akan tetapi mereka lalai terhadap kehidupan akhirat. Maka dari itu mereka dikatakan kaum yang tidak mengetahui.
Oleh karena itu para ulama berkata, “Orang yang berolok-olok atau bersenda gurau dengan ayat Al-Qur’an adalah fasik”. Dan sebagian dari mereka berpedapat kufur.
Misalnya ada sekumpulan orang yang sedang menghadapi jamuan makanan. Lalu salah seorang dari mereka maju untuk mengambil makanan seraya berkata, “Wa nasafnal jibaala nasfaa, artinya : “Dan kami hancurkan gunung-gunung itu sehancur-hancurnya.” Maka perbuatan seperti itu tergolong perbuatan fasik menurut jumhur ulama, dan kufur menurut sebagian di antara mereka. Sebab ayat Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan untuk bahan olok-olokan ataupun senda gurau.
“Katakanlah,”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah : 65-66)
Maka dari itu, waspadalah dari persoalan ini. Kalian jangan menjadikan hadits-hadtis Nabi dan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bahan untuk melucu dan menghibur agar orang-orang tertawa dan senang. Kalian harus berhati-hati dan tetap mengagungkan Allah, karena Dia adalah Dzat yang Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Suci dan Maha Luhur.
Maka dari itu, ketika Rasulullah saw merasa bersedih hati atas berpalingnya kaum beliau dan berduka melihat jalan yang mereka tempuh, maka Allah menegurnya :
“Dan jika berpalingnya mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat melihat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu’jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. Al-An’am : 35)
Kalau mau membicarakan soal kebodohan, maka pembahasannya akan sangat panjang. Adapun cara terbaik untuk menghadapi orang-orang bodoh adalah berpaling dari mereka. Sebab jika kamu berdebat dengan mereka, maka mereka akan mengalahkanmu –dengan kengototan mereka–. Dan jika kamu dapat mengalahkan mereka, maka mereka akan membencimu. Dan mereka tidak akan mau mengakui kebenaranmu. Maka jalan yang terbaik adalah berpaling dari mereka.
“Maka berpalinglah engkau (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami.” (QS. An-Najm : 29)
Dan….
“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Hijr : 85)
Berpalinglah kamu dari mereka dan jangan berdebat dengan mereka. Oleh karena perdebatan itu hanya akan menambah kecongkaan mereka. Imam Asy-Syafi’i pernah mengatakan, “Tiadalah aku berdebat dengan orang-orang yang bodoh melainkan ia akan mengalahkanku. Dan tiadalah aku berdebat dengan orang yang pandai melalinkan aku akan dapat mengalahkannya.”
Tentu saja karena orang bodoh terkadang mengingkari –seperti pernah saya katakan—cahaya matahari yang bersinar di siang hari bolong dan cahaya rembulan pada saat purnama.
Maka biarkanlah orang-orang bodoh itu. Mereka akan mati jika kalian tinggalkan. Dan akan hidup jika kalian ajak mereka berdebat. Mudah-mudahan dengan jalan meninggalkan mereka, maka mereka akan tercegah berlaku sombong dan congkak. Dengan menjauhkan diri dan meninggalkan berdebat dengan mereka, maka mereka akan mengerti kedudukan mereka sendiri. Ini jika kamu merasa pasti bahwa dia adalah seorang yang bodoh, mengikuti hawa nafsunya sendiri, tidak mau mengakui kebenaran dan tidak mau mengikuti sesuatu yang telah pasti kebenarannya.
Kedua: Lalai
Sifat lalai menyebabkan orang terjerumus ke dalam neraka.
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus : 7-8)
Lalai menyebabkan seseorang berpaling, menyebabkan seseorang menyikapi peringatan ayat-ayat Allah dengan senda gurau :
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi)hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka, ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya.” (QS. Al-Anbiya’ : 1-3)
Kamu mendatanginya dengan membawa berita yang sangat penting dan dengan perkataan yang serius. Kamu ceritakan kepadanya tentang berbagai pertempuran yang membuat agama Islam menghadapi dua pilihan : lenyap atau terus bertahan. Kamu ceritakan kepadanya tentang pertempuran yang sangat dahsyat dan membinasakan. Membinasakan anak manusia sebagaimana halnya batu penggiling menumbuk halus bulir padi. Namun demikian dia lalai dan tidak begitu mengacuhkan. Sambutan yang diberikannya padamu hanyalah senyum hampa atau mengatakan padamu, ‘Saya telah mendengar cerita mereka, bahwasanya mereka telah melakukan begini dan begitu.
Saya tidak punya waktu untuk mendengar pembicaraan mengenal kaum itu.’
Dia sibuk mengumpulkan uang dan menghitung-hitungnya, dia sibuk dengan berbagai macam buah-buahan yang hendak dimakannya dan berbagai macam jenis minuman yang hendak ditenggaknya. Kamu datang kepadanya untuk mengekang hawa nafsunya, untuk menyadarkannya sedikit dari kelalaian yang menghinggapi dirinya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Kamu hendak mengalihkan sedikit perhatiannya dari tumpukan uang yang selalu dihitung-hitungnya dan dari dunia yang ia jadikan tempat bersenang-senang, dan dari kehidupannya yang ia jadikan sebagai senda gurau dan main-main belaka. Kehidupan dunia telah menipunya. Dia tidak punya waktu sedikitpun untuk mendengar perkataan yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia dan di akhirat.
KITA LEBIH BERHAK TERHADAP PENGGUNAAN WAKTU
Ada beberapa orang bertanya pada Piccaso: “Berapa jam anda tidur dalam sehari?” “Empat jam.” Jawabnya. “Apakah empat jam cukup bagi anda?” Tanya mereka. Piccaso menjawab, “Kalian ingin saya tidur delapan jam sehari hingga sepertiga kehidupan saya terbuang sia-sia untuk tidur? Kapan saya bisa memuaskan kesenangan saya dan menyalurkan hobby serta bakat saya? Saya hanya tidur empat jam sehari.”
Siapa yang lebih berhak terhadap waktu? Kalian ataukah mereka?. Kalian yang berdiri shalat menghadap Rabbul Alamin atau mengikuti jejak Syahidul Mursalin shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lapang dan sempit, di malam yang gelap gulita dan di siang yang terang oleh cahaya mentari, ataukah mereka yang berlaku sombong yang tidak mau tidur delapan jam sehari supaya kesenangan dan keinginan mereka dapat terpenuhi dan tersalurkan?
Kita diperintahkan untuk menghentikan persahabatan dengan kaum yang lalai itu. Kita diperintahkan untuk menghentikan pembicaraan dengan mereka. Kita boleh memberikan kepada mereka sedikit senyuman, sedikit akhlak dan mu’amalah/perhubungan baik kita. Tetapi kita tidak boleh membuang-buang waktu kita bersama mereka. Kita tidak boleh menyatukan suatu pendapat apapun dengan mereka.
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengikuti Kami serta memperturutkan hawa nafsunya dan adalah urusannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Kata “Janganlah kamu mengikuti” dalam ayat ini adalah larangan, sedangkan larangan di situ menunjukkan keharaman.
Adalah urusannya kalau dia melampaui batas, oleh karena mengikuti hawa nafsu serta kelalaian hanya akan membawa cerai berainya urusan, lepasnya ikatan di antara manusia, hilangnya pemikiran yang sehat dan lenyapnya logika yang benar.
Ketiga: Hawa Nafsu
Hawa nafsu adalah kecenderungan manusia untuk memperturutkan syahwat/keinginannya. Hawa nafsu lawannya adalah kebenaran. Allah adalah Dzat yang Maha Benar, Dia menciptakan langit dan bumi dengan alasan yang benar. Firman-Nya :
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminun : 71)
Hawa nafsu akan membuat seseorang berlaku zhalim dan kezhaliman itu membuat seseorang tersesat dari jalan yang benar.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad : 26)
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ : 135)
Hawa nafsu akan selalu menjauhi keadilan, sedangkan kebenaran akan selalu diikuti keadilan.
Karena itulah hawa nafsu –dalam bahasa Arabnya—”Hawa”() yang berarti jauh dari tempat ketinggian ke tempat yang rendah. Oleh karena itu ia menjatuhkan orang yang mengikuti hawa nafsunya dari ketinggian ke tempat yang rendah. Maka orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang merosot dan jatuh bersama hawa nafsu, kelalaian dan kebodohannya ke tempat serendah-rendahnya di dunia dan akhirat, di mana ruhnya jatuh ke neraka Sijjil.
Terkadang hawa nafsu bisa membesar dalam diri seseorang sehingga orang tersebut tidak menentang kemungkaran yang dilihatnya dan tidak mengikuti kebaikan yang telah diyakininya. Bahkan bisa menjadi lebih besar lagi sehingga ia melihat yang mungkar menjadi ma’ruf dan ma’ruf menjadi mungkar.
“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan), ‘Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya’. Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan : 41-44).
Hawa nafsulah yang menjadikan seseorang cenderung kepada dunia dan kemewahannya. Dan hawa nafsu pula yang menurunkan kedudukan ulama’ dari tingkatan di bawah para nabi, yakni tingkatan para shiddiqin ke tingkat seekor anjing.
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf : 175-176).
Seperti anjing yang tiada henti-hentinya menjulurkan lidahnya, sama saja di saat dia istirahat ataupun tengah kecapaian. Sungguh alangkah indah dan mengenanya penyerupaan dan penggambaran yang dilukiskan Allah melalui firman-Nya.
Di dalam kitab-kitab tafsir diterangkan bahwa ayat di atas mengisahkan tentang seorang laki-laki Bani Isra’il yang bernama Bal’am bin Ba’ura’. Dahulunya ia adalah seorang yang sangat alim dan sangat mustajab do’anya. Ketika tentara Musa a.s. datang untuk menggempur kaum lalim yang bermukim di Palestina, maka kaumnya datang dan menemui serta membujuknya, ‘Berdo’alah kepada Allah untuk membinasakan Musa dan pengikutnya’. Maka lelaki ini menyanggupi permintaan kaumnya karena tamak terhadap dunia mereka. Lalu lidahnya menjulur ke dada dan ia meninggalkan ayat-ayat Allah. Maka jadilah ia seperti anjing, jika dihalau, lidahnya menjulur dan jika dibiarkan lidahnya tetap menjulur.
Keempat: Syahwat (Ambisi)
Sebab keempat yang menyebabkan diri manusia bertindak durhaka dan melampaui batas adalah syahwat. Syahwat menarik diri manusia untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Syahwat yang pertama adalah berlaku sombong di muka bumi. Yang menjadikan kebenaran seperti kebatilan dan menjadikan kebatilan seperti kebenaran. Orang-orang yang berlaku sombong di muka bumi tidak akan masuk surga.
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Qashash : 83).
Wallohu ta’ala a’lam bishshowab
sumber: Ashabulkahfi site