(Arrahmah.com) – Ya ikhwani wa akhwatifillah… Banyak kita mendengar kata-kata tawakkal dalam keseharian kita, entah dari orang lain yang sedang menasehati kita, maupun kita sendiri yang me’wejangi’ diri kita sendiri dengannya.
Tawakkal adalah suatu maqam (kedudukan) dari maqam orang-orang yang yakin dan juga termasuk derajat yang tinggi dari orang-orang yang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Ia merupakan buah dari sebuah tauhid dan iman yang benar. Tingkatan ini tidak akan diperoleh, kecuali oleh orang yang beriman dan berkeyakinan teguh.
Tawakkal kepada Allah adalah bentuk penyerahan total hanya kepada-Nya, bersandar kepada Allah dan kepada pertolongan-Nya, dengan berkeyakinan bahwa takdir Allah mesti berlaku dan tidak dapat ditolak. Akan tetapi dengan tidak meninggalkan ikhtiar dan mencari apa-apa yang menjadi keperluan hidup, serta mengadakan persiapan dan berjaga-jaga dari tipu-daya musuh sebagaimana yang telah dilakukan oleh para nabi dan Rasul-Nya.
Tawakkal kepada Allah juga berarti meyakini bahwa apa yang ada di tangan Allah lebih baik dari yang ada dalam genggaman manusia. Hal ini berdasarkan hadits,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا عِنْدَ اللهِ أَوْسَقَ مِنْهُ بِمَا فِيْ يَدِيْهِ.
artinya, “Siapa yang merasa suka bahwa ia menjadi manusia terkaya, maka hendaklah ia meyakini apa yang ada pada Allah, daripada apa yang ada dalam tangannya.” (HR. Al-Hakim dan Baihaqi)
Kita dapat mengukur diri kita sampai sejauh mana tingkatan tawakkal kita kepada Allah Ta’ala. Sementara batasan antara iman dan tawakkal amatlah tipis, artinya keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Bukti kebenaran tawakkal seseorang dapat dilihat atau dirasakan bilamana ia sedang berhadapan dengan persoalan yang membuatnya sulit, diantaranya adalah:
a. Saat menghadapi musibah
Ketika Rasulullah menghadapi perlakuan kejam dari bani Tsaqif di Thaif, beliau langsung menuju ke suatu tempat yang rindang di bawah pohon untuk beristirahat. Beliau saw lalu berdo’a meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala karena merasa tidak mampu melaksanakan tugas dakwah seberat dalam menghadapi kaum tersebut bila tidak mendapat pertolongan–Nya. Maka beliau saw pun memanjatkan do’a seraya merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah, kepada Engkaulah aku mengadu akan kelemahan kekuatanku, kekurangan kemampuanku dalam menghadapi orang banyak…” dan seterusnya. Maka do’a tersebut diijabah Allah Ta’ala dengan mengutus dua malaikat penjaga gunung untuk meminta persetujuan Rasulullah agar menimpakan gunung tersebut diatas mereka yang telah menganiaya Rasulullah. Namun Rasulullah menjawab, “Tidak, akan tetapi yang kuharapkan adalah agar Allah membangkitkan satu generasi dari mereka yang kelak menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (Kitab Islaamuna, Sayyid Sabiq)
Demikianlah perangai Rasulullah ketika ditimpa musibah berupa kezaliman dari kaumnya, beliau saw hanya mengeluh dan bersandarkan kepada Allah semata.
Begitu juga dengan apa yang terjadi terhadap nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika dilemparkan ke dalam api oleh kaumnya, beliau lantang mengucapkan,
حَسْبِيَ اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلِ
artinya, “Cukuplah bagiku Allah sebagai pelindung dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.”
b. Saat menghadapi musuh
Tatkala Rasulullah dan Abu Bakar ra sedang berada di dalam sebuah goa, tiba-tiba Abu Bakar melihat kaum musyrikin yang mengejar-ngejar mereka berdua. Disaat itu, timbul rasa khawatir dalam diri Abu Bakar dan berkata, “Ya Rasulullah, andaikan salah-seorang dari mereka mengangkat kakinya, pasti mereka akan melihat kita. Rasulullah lalu menjawab, “Jangan engkau mengira kita hanya berdua saja, Allah lah yang menyertai kita.” (Al-Jaami’ ash-Shohih, Imam Bukhari)
Kejadian tersebut termaktub dalam ayat-Nya yang berbunyi,
”Wahai kaum mukmin, jika kalian tidak mau menolong Rasul, maka Allah telah menolongnya ketika kaum kafir Quraisy mengusirnya dari Makkah. Rasul disertai oleh Abu Bakar, sehingga menjadi berdua ketika berada di gua Tsur. Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika Rasul berkata kepada Abu Bakar: “Janganlah kamu merasa sedih. Allah pasti membela kita.” Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika perang Badar, Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul dan memperkuat pasukannya dengan tentara-tentara yang tidak kalian lihat. Allah telah menetapkan bahwa agama orang kafir itu hina, sedangkan agama Allah itulah yang mulia. Allah Mahaperkasa mengalahkan orang kafir, dan Mahabijaksana mengatur siasat-Nya.” (QS. at-Taubah, 9:40)
Dan dalam sebuah riwayat dikisahkan,
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: غَزَوْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم غَزْوَةَ نَجْدٍ فَلَمَّا اَدْرَكَتْهُ الْقَائِلَةُ وَ هُوَ فِيْ وَادٍ كَثِيْرِ الْعِضَاهِ, فَنَزَلَ تَحْتَ شَجَرَةٍ وَاسْتَظَلَ بِهَا وَ عَلَّقَ سَيْفَهُ فَتَفَرَّقَ النَّسُ فِيْ الشَّجَرِ يَسْتَظِلُّوْنَ. وَ بَيْنَا نَحْنُ كَذَلِكَ إِذْ دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَجِئْنَا, فَإِذَا أَعْرَابِيٌّ قَاعِدٌ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقَالَ: إِنَّ هَذَا أَتَانِيْ وَ أَنَا نَائِمٌ فَاخْتَرَطَ سَيْفِيْ فَاسْتَيْقَظْتُ وَ هُوَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِي مُخْتَرِطٌ صَلْتًا. قَالَ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِتِيْ؟ قَلْتُ: اللهُ. فَشَامَعُ ثُمَّ قَعَدَ فَهُوَ هَذَا قَالَ: وَ لَمْ يُعَاقِبْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم.
artinya, “Dari Jabir bin Abdullah ra, berkata, “Kami bersama Rasulullah dalam perang Najd. Karena merasa aman terlindungi oleh pepohonan, beliau bernaung di bawah sebatang pohon dan menggantungkan pedangnya. Banyak orang juga bertebaran untuk berlindung di bawah pepohonan. Tiba-tiba terdengar Rasulullah memanggil kami, maka setelah kami datang, kami melihat seorang desa (A’raby) sedang duduk di depan Rasulullah. Beliau saw lalu berkata, “Orang ini mendatangi aku ketika aku sedang tertidur, lalu ia memngambil pedangku sehingga aku terbangun. Aku melihatnya sedang mengacungkan pedang itu ke kepalaku dan berkata, “Siapa yang dapat menghindarkan pedang ini dari dirimu?” “Allah” jawab Rasulullah. Orang itu pun lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya, lalu duduk di depanku, maka itulah orangnya.” Jabir berkata, “Orang itu lalu dibebaskan oleh Rasulullah.” (HR. Bukhari)
Anjuran tawakkal
Allah Ta’ala berfirman,
“Segala yang ghaib di langit dan di bumi hanyalah berada dalam kekuasaan Allah. Semua urusan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, taatlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Tuhan kalian tidak akan melalaikan segala macam perbuatan yang telah kalian lakukan di dunia.” (QS. Hud, 11:123)
“…Siapa saja yang taat kepada Allah dan bertauhid, pasti Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari segala kesulitan. Allah akan memberikan rezeki kepada orang mukmin dari arah yang tidak disangka-sangka. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, cukuplah Allah menjadi penjamin orang mukmin. Allah pasti mengabulkan permohonannya. Allah menetapkan apa saja dengan ukuran tertentu.” (QS. at-Thalaq, 65:2-3)
“…Jika kamu telah berketetapan hati, maka pasrahkanlah dirimu kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang pasrah kepada ketetapan Allah.” (QS. Ali ‘Imron, 3:159)
Sementara Rasulullah bersabda,
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ أَفِئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفِئِدَةِ الطَّيْرِ.
artinya, “Akan masuk surga, orang yang hati (jiwa) mereka bagaikan hati burung, yang bertawakkal penuh dan yakin akan jaminan Allah atas dirinya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Juga sabdanya,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرِزَقُ الطَّيْرُ, تَغْدُوْ خِمَاصًا وَ تَرُوْحُ بِطَانًا.
artinya, “Andaikan engkau bertawakkal penuh kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepadamu, sebagaimana burung-burung yang keluar pada pagi hari dengan perut kosong dan kembali di senja hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah)
مَنْ قَالَ (يَعْنِيْ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ): بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قَوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ, يَقَالُ لَهُ: كُفِيْتَ وَ وُقِيْتَ وَ تَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ.
artinya, “Barangsiapa yang membaca do’a ketika keluar dari rumahnya: “Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan-Nya”, maka Allah menyambutnya dengan kata-kata: “Engkau telah mendapat daya dan kecukupan dunia-akhiratmu dan terpeliharalah jauh dari setan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas, maka orang-orang yang bertaqwa dan bertawakkal akan mendapat jaminan Allah, antara lain berupa:
1. Diberi kelapangan dan kemudahan dalam menghadapi segala persoalan dan problem hidup. Allah Ta’ala tidak akan membiarkannya berada dalam kesempitan dan kesusahan yang berketerusan, melainkan pasti Allah Ta’ala akan menolong dan memudahkan setelah kesulitan tersebut.
2. Allah Ta’ala akan memberikan rezeki dari arah yang tiada ia sangka dan tidak ia ketahui. Persoalan rezeki memang ada hubungannya dengan masalah taqdir, sebagaimana firman-Nya,
“Allah yang melapangkan atau menyempitkan rezeki para hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Sungguh Allah Maha Mengetahui semua kebutuhan manusia.” (QS. al-Ankabut, 29:62)
Tetapi taqdir tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan ia terkait erat dengan ikhtiar manusia itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
“Setiap manusia hanyalah mendapatkan pahala sesuai dengan amal shalih yang dilakukannya sendiri.”(QS. an-Najm, 53:39)
Apabila seorang hamba telah berusaha sekuat tenaga dan meyakini bahwa Allah Ta’ala lah Pemberi rezeki yang terbaik, maka pasti Allah akan memberinya sama dengan hasil jerih-payahnya itu dari arah yang tidak pernah ia perkirakan sebelumnya.
3. Allah Ta’ala akan mencukupkan keperluannya, artinya Allah Ta’ala akan memberikan rezeki sesuai dengan keperluan masing-masing hamba-Nya dan bukan menurut permintaan atau keinginan hamba tersebut.
Ya ikhwani wa akhwatifillah, kelapangan dan kesempitan rezeki adalah termasuk ujian Allah Ta’ala. Ia menguji perwatakan manusia; apakah mau bersyukur bila diberi kelapangan atau apakah tetap bersabar bila diuji dengan kesempitan. Memang sudah dilazimi bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk tidak merasa puas dan cukup atas apa yang ada padanya, namun seseorang yang memiliki kesholihan tentu akan merasa tercukupi dengan apa yang sudah Allah Ta’ala karuniakan kepada dirinya.
Mudah-mudahan kita menjadi hamba-hamba-Nya yang shobbarin syakur, senantiasa bersabar lagi tetap bersyukur kepada-Nya. Insyaa Allah… Semoga bermanfaat.
(dirujuk dari buku laris Karakteristik Lelaki Sholeh (Rojulun Sholih) karya Ustadz Abu Muhammad Jibriel AR)
(saifalbattar/arrahmah.com)