Jakarta (Arrahmah.Com) – Jum’at 3 Desember 2010 saat dibesuk di sel Bareskrim Mabes Polri Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memberikan taushiyahnya berkenaan dengan tahun baru 1432 Hijriyah. Apa sebenarnya esensi dari penetapan kalender hijriyah oleh khalifah Umar bin Khattab? Berikut adalah petikan taushiyah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir:
Umar bin Khattab menentukan tahun Hijriyah itu kan berdasarkan peristiwa Hijrah, Itu menunjukkan bahwa hijrah itu penting. Hijrah ada yang dalam pengertian bahasa dan dalam pengertian yang sebenarnya.
Hijrah ini sebenarnya realisasi dari sikap baro’. Lalu yang terpenting dalam kita membahas 1 Muharram itu wajib hukumnya bagi kita menggunakan tahun hijriyah dan haram menggunakan tahun masehi. Termasuk berwala’ kepada orang kafir itu kita menggunakan tahun masehi, maka hukumnya haram! Jadi orang Islam itu harus menggunakan tahun hijriyah.
Lalu Rasulullah juga menyunahkan untuk berpuasa asy-syura tetapi mulai tanggal 9, 10 dan 11 karena kalau tanggal 10 saja itu menyamai Yahudi.
Yang terpenting hijrah itu adalah realisasi terhadap baro’. Orang Islam itu kalau melihat kemusyrikan berlepas diri, diperangi, kalau tidak mungkin ya hijrah. Di samping itu hijrah untuk mempersiapkan kekuasaan sebagaimana Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Umat Islam itu memang harus mempunyai kekuatan senjata, harus! tidak boleh tidak!
Jadi, mengapa Sayidina Umar itu mengambil tahun hijriyah? itu untuk menunjukkan pentingnya hijrah dalam pengertian realisasi dari pada Al-Baro’. Maka, umat Islam itu kalau melihat kemunkaran jika tidak bisa menghancurkannya dia pergi.
Termasuk umat Islam harus hijrah dari negeri yang bukan negeri Islam. Seperti Indonesia ini harus hijrah mestinya, ini negeri syirik! Hukumnya haram tinggal di negeri syirik! Tapi kan kita tidak mampu berhijrah, kalau tidak mampu ya berjuang, dan kita tidak boleh diam saja.
Demikian kutipan taushiyah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir seorang ulama yang telah mengaplikasikan konsep hijrah dalam perjalan perjuangannya. Maka sudah seyogyanya umat Islam menyadari bahwa hijrah adalah realisasi sikap baro’ (anti loyalitas) dan sikap baro’ merupakan tuntutan dari ‘aqidah dien ini, dimana tidak akan mungkin seseorang dikatakan beriman tanpa mengamalkan sikap baro’ dalam hidupnya. (Wid/Arrahmah.com)