Oleh Ustadz Abu Muhammad Jibriel Ar.
(Arrahmah.com) – Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i, Anas bin Malik radhiallahu’anhu menceritakan sebuah kejadian yang dialaminya pada sebuah majelis bersama Rusulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.
Anas bercerita, “Pada suatu hari kamu duduk bersama Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda,
“Sebentar lagi akan muncul dihadapan kalian seorang laki-laki penghuni syurga.”
Tiba-tiba muncullah laki-laki Anshar yang janggutnya basah dengan air wudhunya. Dia mengikat kedua sandalnya pada tangan sebelah kiri. Esok harinya, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam berkata begitu juga,
“Akan datang seorang lelaki penghuni syurga.”
Dan munculah laki-laki yang sama. Begitulah Nabi mengulang sampai tiga kali.
Ketika majelis Rasulullah selesai, Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu’anhu mencoba mengikuti seorang lelaki yang disebut oleh Nabi sebagai penghuni syurga itu. Kemudian beliau berkata kepadanya:
“Saya ini bertengkar dengan ayah saya, dan saya berjanji kepada ayah saya bahwa selama tiga hari saya tidak akan menemuinya. Maukah kamu memberi tempat pondokan buat saya selama hari-hari itu?” kata Abdullah bin Amr bin Al-Ash kepada orang tadi.
Abdullah mengikuti orang itu ke rumahnya, dan tidurlah Abdullah di rumah orang itu selama tiga malam. Selama itu Abdullah ingin menyaksikan ibadah apa gerangan yang dilakukan oleh orang itu yang disebut oleh Rasulullah sebagai penghuni surga. Tetapi selama itu pula dia tidak menyaksikan sesuatu yang istimewa di dalam ibadahnya.
Kata Abdullah, “Setelah lewat tiga hari aku tidak melihat amalannya sampai-sampai aku hampir-hampir meremehkan amalannya, lalu aku berkata padanya:
“Hai hamba Allah, sebenarnya aku tidak bertengkar dengan ayahku, dan tidak juga aku menjauhinya. Tetapi aku mendengar Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam berkata tentang dirimu sampai tiga kali,
“Akan datang seorang darimu sebagai penghuni surga.”
Aku ingin memperhatikan amalanmu supaya aku dapat menirunya. Mudah-mudahan dengan amal yang sama aku mencapai kedudukanmu.”
“Yang aku amalkan tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan.” Kata orang tersbut.
Ketika aku mau berpaling, kata Abdullah, dia memanggil lagi, kemudian berkata,
“Demi Allah, amalku tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan itu. Hanya saja aku tidak pernah menyimpan pada diriku niat yang buruk terhadap kaum Muslim, dan aku tidak pernah menyimpan rasa dengki kepada mereka atas kebaikan yang diberikan Allah kepada mereka.”
Lalu Abdullah bin Amr berkata,
“Beginilah bersihnya hatimu dari perasaan jelek dari kaum Muslim, dan bersihnya hatimu dari perasaan dengki. Inilah tampaknya yang menyebabkan engkau sampai ke tempat yang terpuji itu. Inilah justru yang tidak pernah bisa kami lakukan.”
Memberikan hati yang bersih, tidak menyimpan prasangka yang jelek terhadap kaum Muslim kelihatannya sederhana tetapi justru amal itulah yang seringkali sulit kita lakukan. Mungkin kita mampu berdiri di malam hari, sujud dan rukuk di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi amat sulit bagi kita menghilangkan kedengkian kepada sesama kaum Muslim, hanya karena kita pahamnya berbeda dengan kita.
Hanya karena kita pikir bahwa dia berasal dari golongan yang berbeda dengan kita. Atau hanya karena dia memperoleh kelebihan yang diberikan Allah, dan kelebihan itu tidak kita miliki.
“Inilah justru yang tidak mampu kita lakukan.” kata Abdullah bin Amr. (Hayat Al-Shahabah, II, 520-521)
Wallahu’alam bish showab…
(abujibriel.com/arrahmah.com)