Selasa (16/11/10) saat dibesuk di sel bareskrim Mabes Polri Usatadz Abu Bakar Ba’asyir memberikan taushiyahnya kepada umat Islam yang saat ini sedang merayakan hari raya Idul Adha. Dengan ilmiah beliau menjelaskan apa saja hikmah hari raya idul adha dan apa kaitannya dengan perjuangan menegakkan Islam, dan berikut inilah taushiyah beliau mengenai hikmah Idul Adha.
Idul qurban, qurban di sini dalam bahasa arab asalnya (قَرُبَ) qoruba artinya mendekat. Jadi sebenarnya pelajaran dari idul qurban yaitu untuk menguji kebenaran iman. Kebenaran iman itu harus dibuktikan dan siap untuk berkorban, dalilnya mana? Yaitu ketika Nabi Ibrahim mulai punya anak, setelah diberi anak satu yaitu Ismail diperintahkan Ibu (Hajar) dan anaknya pergi;
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman.” (Qs. Ibrahim : 37)
Menurut akal anak dan ibunya ini akan mati, tidak ada tumbuh-tumbuhan tidak ada air – yang sekarang jadi masjidil haram – nah itu ujian iman. Kalau menurut akal tidak akan mau melaksanakan perintah itu. Tapi kerena Nabi Ibrahim imannya itu di atas segala-galanya maka di letakkan betul anak dan istrinya di sana. Memang ada kesulitan, sampai Hajar berlari-lari dari shafa ke marwa terus mucul sumur zam-zam semua kan ujian itu. Jadi iman itu harus dibuktikan dengan ta’at meski perintah itu sepertinya berbahaya. Ini ujian yang pertama.
Dalam surat As-Shafat ayat 102;
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim…” Nabi Ibrahim yang mempunyai anak begitu baik sangat sayang, tetapi setelah dia dewasa, membantunya kerja dan akhlaqnya baik baik tiba-tiba ada lagi wahyu lewat mimpi, ayatnya;
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
artinya; “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Nabi Ibrahim mendapat wahyu lewat mimpi untuk menyembelih Ismail. Bayangkan! orang yang sudah tua, baru punya anak satu yang begitu menyenangkan hati diperintahkan untuk menyembelih, disampaikanlah: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Dan ismail itu imannya sama dengan ayahnya, tidak banyak cakap; Ia menjawab:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
artinya; “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Nah ini ujian yang kedua.
Ujian itu yang kalau dipikir pakai akal bias stress. Allah Cuma mau nguji mau taat atau tidak, itu saja!
Itulah hikmah idul adha, menguji ketaatan, iman itu prinsipnya pada ketaatan. Kemudian dilaksanakan betul (oleh Nabi Ibrahim);
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” (Qs. As-Shafat : 103)
Setelah dicelentangkan mau disembelih diganti oleh Allah dengan kambing, terus ayat selanjutnya itu kan Allah menguji,
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (Qs. As-Shafat : 106) Itulah iman.
Dalam surat Al-Ankabut ayat 2-3 Allah berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ( ) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Kalau dengan mulut semua orang bisa, tetapi ketika ada perintah Allah mau taat atau tidak? Itu persoalannya. Jadi idul adha itu titik beratnya pejaran iman untuk mengajarkan iman yang benar itu harus dibuktikan dengan taat, sami’na wa atha’na tidak boleh dibahas, dicocok-cocokan, hanya kita diberi kelonggaran menurut kemampuan. Sebab orang beriman itu modalnya percaya hanya kepada Allah dan RasulNya itu mutlak, pokoknya dari Allah dan Rasul itu benar titik! Apakah akal bisa memahami maslahatnya atau tidak, pokoknya dari Allah dan Rasul itu paling benar, paling ilmiah, paling modern titik! Sikap yang seperti ini namanya mukmin, sikap yang seperti ini yang dinamakan oleh orang-orang kafir itu ekstrimis, fundamentalis. Tapi memang begitu, iman itu harus begitu.
Maka dalam ayat yang lain;
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs. An-Nur : 51)
Kami dengar kami taati. Bukan kami dengar kami koreksi, itu syaitan, takabur itu. Seperti iblis kan begitu tidak mau sujud karena mengoreksi perintahnya Allah; “wong saya dari api dan dia dari tanah ya Allah kok saya yang suruh sujud” (lihat Qs. Al-A’raf : 12, Shad : 76). Itu kan mengoreksi namanya, diusir, dilaknat sampai hari kiamat karena itu takabur.
Jadi idul adha itu prinsipnya mengajarkan tentang iman, iman yang benar itu dibuktikan dengan taat mutlak kepada Allah dan RasulNya menurut kemampuan, tidak boleh membantah, tidak boleh dikoreksi, kita harus mempunyai modal (iman);
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Hujarat : 15)
Keterkaitannya dengan perjuangan, di dalam ayat itu (Al-Hujarat ayat 15) karakter orang beriman itu ada dua.
Satu, imannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah didasari yakin sehingga menimbulkan taat mutlak. Nah karakter semacam ini menimbulkan karakter yang kedua yaitu;
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“…dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah…”
Hidupnya itu hanya untuk berjuang menegakkan Islam dengan harta dan nyawa. Berjuang dengan sistim perang, berjuang dengan sistim dakwah berjuang dengan harta masing-masing menurut kemampuan. Jadi otomatis orang beriman itu hidupnya untuk berjuang menegakkan Islam di luar itu tidak! Nah kalau sudah dua karakter ini ada baru ditutup ayat ini;
أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“…mereka itulah orang-orang yang benar .” itu kaitan idul adha dengan perjuangan.
Demikianlah taushiyah ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengenai hikmah Idul Adha dan hendaknya setiap muslim merenungkan apa yang beliau nasihatkan agar perayaan idul adha yang diperingati setiap tahun bukan sekedar menjadi ritual rutinitas tanpa makna namun sarat akan hikmah untuk memperkuat keimanan sebagai modal dalam memperjuangkan tegaknya Islam.
Semoga Allah membebaskan beliau …!