(Arrahmah.com) – Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi hafizhahullah telah menulis sebuah artikel berharga berjudul “Taujihat Tarbawiyah 1: Al-Inshaafu hullatu al-Asyraf wa Al-Asyraafu aqallu al-Ashnaaf” [Adil adalah sifat orang-orang mulia dan orang-orang mulia adalah golongan yang paling sedikit] sebagai sebuah nasehat bagi para aktivis jihad untuk bersikap adil dan obektif dalam menilai kelompok lain, khususnya Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Artikel berharga Syaikh Al-Maqdisi dimuat oleh situs resmi beliau, Mimbar At-Tauhid wa Al-Jihad, pada Rabu (23/10/2013). Karena pentingnya nasehat beliau tersebut bagi para aktivis dakwah dan jihad secara khusus, dan kaum muslimin secara umum, maka redaksi Arrahmah.com menerjemahkannya untuk para pembaca budiman dalam dua bagian. Berikut ini adalah bagian kedua sekaligus terakhir dari terjemahan artikel beliau tersebut. Semoga bermanfaat.
“Adil adalah sifat orang-orang mulia dan orang-orang mulia adalah golongan yang paling sedikit”
Sungguh telah mengejutkan diriku juga pemilihan waktu yang buruk dalam menyampaikan pernyataan-pernyataan yang zalim tersebut, yang tidak mengindahkan musibah besar yang menimpa kaum muslimin di Mesir dan bencana yang menimpa kaum pria dan wanita mereka, anak-anak dan orang dewasa mereka, yaitu konspirasi, penindasan, perburuan, penangkapan, pembungkaman mulut, penodaan terhadap kehormatan, bersatunya orang-orang menyimpang dari seluruh penjuru untuk melawan mereka dan persekongkolan orang-orang jahat tersebut untuk mencabut mereka sampai ke akar-akarnya, dengan dukungan gelontoran dana dari para thaghut Negara-negara Teluk dan “sepatu-sepatu” Amerika.
Orang-orang yang mengunjungiku di penjara telah memberitahukan kepadaku tindakan yang dilakukan tentara thaghut di Mesir dan pengikut-pengikutnya dari kalangan musuh-musuh Islam yang beragam nama dan bentuknya. Pada waktu yang bersamaan orang-orang yang mengunjungiku di penjara juga telah memberitahukan kepadaku pernyataan-pernyataan orang-orang yang membuat pernyataan itu dan para penulis di sini dan sana.
Aku pun merasa mual dan heran dengan hilangnya sikap bijaksana, taufik (ketepatan) dan perkataan yang lurus. Aku teringat dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam saat memberikan banyak harta rampasan perang Hunain kepada orang-orang Quraisy. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam meminta maaf kepada kaum Anshar dan menjelaskan alasan tindakan beliau tersebut dengan bersabda:
إِنَّ قُرَيْشًا حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَمُصِيبَةٍ، وَإِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَجْبُرَهُمْ وَأَتَأَلَّفَهُمْ،
“Sesungguhnya kaum Quraisy adalah orang-orang yang baru saja meninggalkan kekafiran dan terkena musibah. Aku ingin menutupi kesedihan mereka dan melunakkan hati mereka.”(HR. Ahmad no. 12766, Tirmidzi no. 3901, dan Abu Ya’la no. 3002. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: sanadnya shahih menurut syarat imam Bukhari dan Muslim)
Perhatikanlah bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mempertimbangkan musibah. Yang dimaksud di sini adalah musibah yang menimpa mereka (kaum Quraisy) dengan ditaklukkannya kota Makkah dan kemenangan kaum muslimin atas mereka.
Perhatikanlah akhlak yang agung ini, padahal musibah yang menimpa kaum Quraisy terjadi melalui tangan makhluk yang paling adil (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam). Maka bagaimana lagi apabila musibah yang terjadi menimpa kaum muslimin dan melalui tangan musuh-musuh agama Islam? Bukankah menghibur hati kaum muslimin dan mempertimbangkan musibah yang menimpa mereka dalam kondisi seperti ini lebih utama dan lebih layak?
Terakhir, saya mengajak saudara-saudaraku untuk memperhatikan tulisan Syaikh kita, Ibnu Taimiyah rahimahullah, pada bagian awal dari jilid IV Majmu’ Fatawa beliau, dan bagaimana beliau bersikap adil bahkan terhadap sekte-sekte yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau menyebutkan kebaikan-kebaikan pada masing-masing sekte tersebut meskipun mereka sangat menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Beliau menyebutkan kebaikan dalam sekte Mu’tazilah yang harus dipuji yaitu bantahan Mu’tazilah terhadap Rafidhah dalam sebagian perkara yang Rafidhah keluar dari petunjuk as-sunnah dan hadits, seperti menganggap cacat kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin [Abu Bakar, Umar dan Utsman, pent], menganggap cacat para sahabat dan ekstrim dalam memuliakan Ali bin Abi Thalib.
Beliau bersikap adil terhadap sekte Syiah generasi awal, dengan menyebutkan bahwa mereka [Syiah generasi awal] lebih utama dari Mu’tazilah, karena mereka [Syiah generasi awal] menyelisihi Mu’tazilah dengan menetapkan sifat-sifat Allah, takdir dan syafa’at. Mereka [Syiah generasi awal] juga dipuji karena menyelisihi Khawarij yang mengkafirkan Utsman dan Ali serta sahabat lainnya, serta mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan dosa besar. Mereka [Syiah generasi awal] juga dipuji karena menyelisihi Murjiah, meskipun mereka belum seratus persen mendapat petunjuk kepada as-sunnah.
Beliau juga bersikap adil terhadap kelompok mutakallimin yang menetapkan sifat-sifat Allah, seperti sekte Kullabiyah, Karramiyah dan Asy’ariyah. Beliau menyebutkan bahwa sekte-sekte tersebut dipuji karena mereka menetapkan pokok-pokok keimanan; membantah orang-orang kafir, musyrik dan Ahlu kitab serta menjelaskan kontradiksi argumentasi-argumentasi mereka. Demikian pula mereka dipuji karena membantah keyakinan-keyakinan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan Qadariyah yang menyelisihi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau kemudian menyebutkan imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan sebagian akidahnya yang sesuai dengan akidah Ahlus Sunnah wal Hadits.
Setelah itu beliau menulis: “Namun kesesuaian yang mengalahkan pihak yang berbeda pendapat dengannya dan menampakkan kecacatan pendapatnya, adalah termasuk dalam jenis kelompok mujahid yang meraih kemenangan. Orang yang membantah pendapat ahli bid’ah adalah seorang mujahid, sampai-sampai imam Yahya bin Yahya berkata: “Membela as-sunnah itu lebih utama dari jihad.” Sementara seorang mujahid itu terkadang melakukan tindakan durjana (kemaksiatan), sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam:
وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الفَاجِرِ
“Sesungguhnya Allah benar-benar akan meneguhkan agama Islam ini dengan perantaraan orang yang durjana (banyak berbuat dosa). (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111)
إِنَّ اللهَ سَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِأَقْوَامٍ لَا خَلَاقَ لَهُمْ
“Sesungguhnya Allah akan meneguhkan agama Islam ini dengan perantaraan orang-orang yang tidak memiliki bagian pahala di akhirat.” (HR. Ahmad no. 20454, An-Nasai dalam As-Sunan al-Kubra no. 8886, Al-Bazzar no. 1722, dan Ibnu Hibban no. 4517)
Oleh karenanya telah tetap di dalam As-sunnah kewajiban berjihad bersama seorang pemimpin kaum muslimin, baik ia pemimpin yang banyak berbuat ketaatan maupun pemimpin yang banyak berbuat kemaksiatan.
Sudah pasti bahwa jihad sendiri adalah amalan yang secara lahir pelakunya diberi ucapan terima kasih (balasan pahala). Jika dikerjakan dengan niat yang baik, maka pelakunya akan diberi ucapan terima kasih (balasan pahala) secara lahir dan batin. Ia diberi ucapan terima kasih karena ia telah menolong as-sunnah dan dien. Demikian pula orang yang memperjuangkan Islam dan as-sunnah, ia diberi ucapan terima kasih dari aspek ini.
Pujian terhadap orang di sisi Allah, rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman adalah berdasar kesesuaian orang tersebut dengan agama Allah, sunah rasul-Nya dan syariat-Nya, dan itu berlaku untuk seluruh golongan.”
Sampai perkataan beliau rahimahullah yang menyebutkan bahwa para fuqaha’ Irak mengingkari orang yang mencaci maki sekte Kullabiyah, Asy’ariyah dan lain-lain. Para fuqaha’ Baghdad memfatwakan hukuman ta’zir atas orang yang melaknat para ulama mereka [Kullabiyah, Asy’ariyah dan lain-lain]. Sebagian fuqaha’ Irak menyatakan alasannya adalah karena mereka adalah kelompok dari kaum muslimin. Sebagian fuqaha’ Irak lainnya menyatakan alasannya adalah karena mereka juga membela as-sunnah dan membantah ahli bid’ah dan orang-orang yang menyelisihi as-sunnah. Sampai pada akhir perkataan beliau. (Majmu’ Fatawa, 4/13-15)*1
Maka hendaklah kita belajar sikap adil dan obyektif dari syaikh kita Ibnu Taimiyah, rahimahullah, bahkan terhadap kelompok-kelompok yang menyelisihi kita dan tak henti-hentinya “menyerang” dan memusuhui kita. Kita tidak boleh bermaksiat kepada Allah dengan bersikap tidak adil kepada mereka, meskipun mereka bermaksiat kepada Allah dengan bersikap tidak adik kepada kita. Kita tidak boleh menzalimi mereka, meskipun mereka menzalimi kita. Kita tidak boleh memfitnah mereka, meskipun mereka memfitnah kita.
Betapa sering sekte-sekte bid’ah tersebut menjuluki Ahlus Sunnah dengan julukan miring Hasyawiyah, Musyabbihah, Mujassimah, Nawashib, Khawarij dan julukan-julukan buruk lainnya, yang sebenarnya Ahlus Sunnah berlepas diri darinya. Meski demikian, perhatikanlah bagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersikap adil dan obyektif terhadap mereka dengan menyebutkan aspek-aspek positif mereka yang membuat mereka layak untuk dipuji dan beliau tidak menzalimi mereka dalam aspek-aspek kebaikan tersebut.
Maka hendaklah kita belajar untuk bersikap adil dan obyektif, terhadap orang yang dekat maupun orang yang jauh, orang yang sependapat maupun orang yang berbeda pendapat, kawan maupun lawan. Janganlah kebencian dan permusuhan kita kepada suatu kaum membuat kita tidak bersikap adil dan obyektif terhadap mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
«إِذَا حَكَمْتُمْ فَاعْدِلُوا، وَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مُحْسِنٌ يُحِبُّ الْإِحْسَانَ»
“Jika kalian memutuskan perkara, maka bersikaplah adil dan jika kalian mengatakan sebuah perkataan, maka bersikaplah yang baik. Sesungguhnya Allah itu Maha Berbuat kebajikan dan mencintai perbuatan baik.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no. 5735. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir menyatakan hadits ini hasan)
Dalam peperangan Hudaibiyah, saat unta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak mau berjalan, para sahabat berkomentar: “Wah, Qushwa [nama unta tersebut] mogok.” Maksudnya, unta beliau diam, menderum, berhenti dan tidak mau berjalan padahal tidak sedang sakit. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membela unta beliau:
«مَا خَلَأَتْ القَصْوَاءُ، وَمَا ذَاكَ لَهَا بِخُلُقٍ، وَلَكِنْ حَبَسَهَا حَابِسُ الفِيلِ»
“Demi Allah, Qaswa’ tidak mogok dan mogok bukanlah kebiasaan Qashwa’. Namun Qaswa’ telah ditahan oleh [Allah] yang menahan serangan pasukan gajah.” (HR. Bukhari no. 2731 dan Ahmad no. 18910)
Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersikap adil dalam ucapan dan perkataan beliau, bahkan terhadap binatang sekalipun. Beliau berlaku obyektif kepada binatang, dan beliau tidak membiarkan binatang tersebut dizalimi atau dijuluki dengan julukan yang bukan sifatnya.
Maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah dan mengucapkan ucapan yang lurus. Hendaklah kita bertakwa kepada Allah terhadap kaum muslimin yang tertimpa bencana, yang ditindas dan dijadikan target konspirasi oleh para thaghut, orang-orang murtad dan penolong-penolong mereka.
Kita tidak boleh menyerahkan kaum muslimin tersebut kepada mereka [thaghut dan orang murtad], kita tidak boleh menelantarkan kaum muslimin tersebut, dan kita tidak boleh menzalimi kaum muslimin tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ،
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak akan menzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh.” (HR. Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)
Dalam riwayat lain dengan lafal:
«المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لَا يَخُونُهُ وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ، عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْتَقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ»
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak akan mengkhianatinya, tidak akan membohonginya dan tidak akan menelantarkannya. Seorang muslim atas muslim lainnya haram untuk mengusik nyawanya, hartanya dan kehormatannya. Takwa itu di ini (beliau menunjuk ke dada beliau). Cukuplah seseorang dianggap jahat apabila ia merendahkan saudaranya sesama muslim.” (HR. Tirmidzi no. 1927)
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
مَا مِنْ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا عِنْدَ مَوْطِنٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلَّا خَذَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ، وَمَا مِنْ امْرِئٍ يَنْصُرُ امْرَأً مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلَّا نَصَرَهُ اللهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ
“Tidaklah ada seseorang yang menelantarkan seorang muslim dalam kondisi saat muslim tersebut dilanggar kehormatannya dan dinodai kemuliaannya, kecuali Allah akan menelantarkan orang tersebut dalam kondisi yang ia menginginkan pertolongan-Nya. Dan tidaklah ada seseorang yang menolong seorang muslim dalam kondisi saat muslim tersebut dilanggar kehormatannya dan dinodai kemuliaannya, kecuali Allah akan menolong orang tersebut dalam kondisi yang ia menginginkan pertolongan-Nya.”(HR. Ahmad no. 16368, Abu Daud no. 4884, Al-Baihaqi no. 16682, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 4735, Al-Baghawi no. 3532 dan lain-lain)
Maka hendaklah kita menjadi para penegak kebenaran karena Allah dan saksi atas kebenaran di sisi Allah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan lainnya:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، يَكْتُبُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، يَكْتُبُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا عَلَيْهِ سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “
“Sesungguhnya seseorang terkadang mengatakan sebuah perkataan yang diridhai Allah, ia tidak menyangka perkataan tersebut akan mengantarkan kepada [kemuliaan] tertentu, ternyata dengan perkataan tersebut Allah menuliskan ridha-Nya untuk orang tersebut sampai hari kiamat. Dan sesungguhnya seseorang terkadang mengatakan sebuah perkataan yang dibenci Allah, ia tidak menyangka perkataan tersebut akan mengantarkan kepada [kehinaan] tertentu, ternyata dengan perkataan tersebut Allah menuliskan benci-Nya untuk orang tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Ahmad no. 15852, Tirmidzi no. 2319, Ibnu Majah no. 3969, Ibnu Hibban no. 280 dan lain-lain)
Sebagai penutup…
Selamanya saya tidak menyukai jika saudara-saudaraku menyerupai lawan-lawan kita dari kelompok Jahmiyah dan Murjiah yang telah rusak pada mereka, bahkan pada sebagian mereka telah runtuh, neraca-neraca wala’ (loyalitas) dan bara’ (anti loyalitas); di mana mereka seringkali bergembira jika musuh-musuh Allah dari kalangan penolong-penolong (pasukan) para thaghut menindas sebagian saudara kita, mereka menampakkan kegembiraan jika penolong-penolong para thaghut menangkap dan memenjarakan sebagian saudara kita, bahkan terkadang membunuh sebagian saudara kita.
Sebagian orang Jahmiyah dan Murjiah itu mengatakan: “Bagus!” Sebagian lainnya mengatakan: “Gampang, jebloskan saja ke dalam penjara. Semoga Allah mengistirahatkan kami dari dirinya.” Ini belum terhitung sikap mereka yang mendoakan kecelakaan bagi sebagian saudara kita tersebut dan memfitnahnya.
Ketika sebagian saudara kita menceritakan kepadaku sikap gembira orang-orang Jahmiyah dan Murjiah tersebut, saya waktu itu mengatakan: “Ini bukanlah sifat yang terhormat, bukan pula sikap yang ksatria, apalagi sesuai dengan ajaran agama. Mereka itu belum merasakan [nikmatnya] memberikan lotalitas dan bersikap rendah [lemah lembut] kepada orang-orang yang beriman. Alangkah miripnya mereka dengan kelompok Khawarij yang memerangi kaum muslimin dan membiarkan kaum musyrikin.”
Aku mengingatkan agar saudara-saudaraku tidak menyerupai mereka, dan tentu saudara-saudaraku tidak akan seperti mereka.
Saya selalu mengingat-ingat perumpamaan yang dikatakan kepadaku oleh seorang tentara pembela undang-undang positif, yaitu salah seorang sipir penjara Dinas Intelijen Yordania saat ia melihat kondisiku di dalam sel setelah aku keluar dari ruang penyiksaan. Ia berdiri dan memandang kepadaku dari celah jeruji besi sel yang saya tempati. Saat itu saya memandang kepadanya dengan pandangan tajam menantang, karena saya mengira ia bergembira atas kondisiku. Ternyata ia berkata kepadaku dengan menampakkan perasaan simpatinya: “Bukanlah pemberani, seseorang yang menyalak garang kepada seekor singa yang telah tewas, terluka atau terkurung di balik jeruji besi!”
Ditulis oleh
Abu Muhammad Al-Maqdisi
Dzulqa’dah 1434 H
Footnote:
1. Saya menampilkan di sini perkataan beliau [Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah] apa adanya dengan lafal beliau sendiri, agar saya bisa memberitahukan bahwa kami tidak mengingkari sikap membantah kesalahan Ikhwanul Muslimin atau kelompok lainnya, namun harus dengan adil dan obyektif. Buku-buku kami, dengan karunia Allah semata, penuh berisi bantahan-bantahan terhadap kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan ahli bid’ah zaman dahulu maupun zaman kontemporer.
(muhibalmajdi/arrahmah.com)