(Arrahmah.com) – Beragam tanggapan muncul dari kalangan aktivis Islam, termasuk kelompok-kelompok jihad, terhadap tragedi kudeta militer di Mesir. Secara umum kelompok-kelompok jihad dan kelompok politik non parlementer menilai kudeta militer Mesir adalah bukti bahwa demokrasi dan parlementer bukanlah jalan untuk menegakkan Daulah Islam dan menerapkan syariat Islam.
Syaikh Aiman az-Zawahiri dalam pesan audio berdurasi 72 menit dan berjudul “Iman Mengalahkan Arogansi” menguraikan pihak-pihak yang terlibat dalam kudeta militer tersebut dan dosa-dosa mereka. Beliau juga menyerukan kepada Ikhwanul Muslimin Mesir untuk menjadikan demonstrasi-demonstrasi anti kudeta sebagai gerakan dakwah yang memperjuangkan penerapan syariat Islam.
Dalam pesan audio terbaru yang berdurasi 16 menit dan berjudul “Thaghut Dalam Menghadapi Thaghut”, Syaikh Aiman Az-Zhawahiri juga menyatakan ungkapan bela sungkawa kepada keluarga ribuan muslim Mesir yang tewas dibantai militer Mesir di Rabiah Square, Nadhah Square, Ramses, Sinai dan wilayah Mesir lainnya.
Kelompok jihad yang berbasis di Semenanjung Sinai, Jama’ah Ansharu Baitil Maqdis bahkan telah melakukan tiga serangan besar untuk membela kaum muslimin Mesir; bom mobil terhadap Menteri Dalam Negeri Mesir, bom mobil dan serangan terhadap Markas Dinas Intelijen di Sinai serta bom mobil dan serangan terhadap Markas Dinas Intelijen Perang di kota Ismailiyah. Hal itu belum terhitung pertempuran-pertempuran skala kecil yang menewaskan tentara Mesir di Sinai.
Barangkali komentar paling “miring” dan kontroversial dari kalangan kelompok jihad adalah komentar yang disampaikan oleh juru bicara resmi mujahidin Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS), Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani hafizhahullah. Dalam pesan audio berjudul “As-Silmiyatu Dienu Man?” [Cara damai itu agama siapa?], beliau dengan pedas menyebut Ikhwanul Muslimin “lebih buruk dari orang-orang sekuler” dan “partai sekuler yang menuhankan kursi kekuasaan, demi kursi kekuasaan rela untuk melakukan kesyirikan”.
Komentar-komentar Syaikh Al-Adnani yang sangat pedas tersebut telah mengundang reaksi kurang baik dari berbagai kalangan. Banyak ulama dan komandan mujahidin sendiri menyayangkan komentar-komentar tersebut. Pemilihan judul komentar beliau saja mengesankan bahwa Ikhwanul Muslimin menganut dua agama: Islam dan agama damai alias anti jihad.
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi hafizhahullah adalah salah satu ulama dari kelompok salafi jihadi yang menyayangkan komentar Syaikh Al-Adnani tersebut. Secara khusus Syaikh Al-Maqdisi menulis sebuah artikel berjudul “Taujihat Tarbawiyah 1: Al-Inshaafu hullatu al-Asyraf wa Al-Asyraafu aqallu al-Ashnaaf” [Adil adalah sifat orang-orang mulia dan orang-orang mulia adalah golongan yang paling sedikit] sebagai sebuah nasehat bagi para aktivis jihad untuk bersikap adil dan obektif dalam menilai kelompok lain.
Artikel berharga Syaikh Al-Maqdisi dimuat oleh situs resmi beliau, Mimbar At-Tauhid wa Al-Jihad, pada Rabu (23/10/2013). Karena pentingnya nasehat beliau tersebut bagi para aktivis dakwah dan jihad secara khusus, dan kaum muslimin secara umum, maka redaksi Arrahmah.com menerjemahkannya untuk para pembaca budiman. Mengingat artikel beliau cukup panjang, insya Allah artikel tersebut akan dimuat dalam dua bagian berseri. Semoga bermanfaat.
“Adil adalah sifat orang-orang mulia dan orang-orang mulia adalah golongan yang paling sedikit”
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Banyak menyakitkan (menyedihkan) diriku bahwa penunjukan judul di atas tidak mampu mencakup sebagian saudaraku dan sikap tersebut [adil, obyektif] hilang dari diri mereka, padahal dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah telah mengajak untuk bersikap adil dan obyektif.
[Sikap obyektif dan adil hilang dari diri sebagian ikhwan] yaitu saat mereka menilai Ikhwanul Muslimin melalui pernyataan-pernyataan resmi, tulisan-tulisan, dan ceramah-ceramah mereka yang berisi caci makian, cercaan dan peremehan.
Padahal Ikhwanul Muslimin sendiri pada waktu yang sama mengalami musibah, ujian dan ditindas oleh rezim kekafiran dan tentara thaghut di Mesir; dibunuh, diburu, dipenjarakan, disiksa, istri-istri, anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan mereka diperkosa.
Sementara mereka adalah saudara-saudara perempuan dan kehormatan kita juga, apa yang menyusahkan mereka adalah juga menyusahkan kita, apa yang menyakitkan mereka adalah juga menyakitkan kita. Anjing-anjing para thaghut dan “sepatu-sepatu” rezim yaitu media massa kaum Luth menindas mereka untuk menerapkan atas diri mereka strategi media massa kaum Sodom dan Amuriyah yang pilar-pilarnya adalah kebohongan, kepalsuan, pencitraan buruk terhadap lawan hanya lantaran “kejahatan” mereka adalah orang-orang yang mensucikan diri!
Sungguh menyusahkan diriku, demi Allah, buruknya pemilihan waktu yang membuat sebagian ikhwan kita tersebut menampakan dirinya tanpa sengaja seakan-akan berbaris dalam barisan orang-orang zalim, thaghut-thaghut dan orang-orang murtad, dalam menyerang segala hal yang memiliki kaitan sedikit pun dengan Islam.
Hal yang lebih menyedihkanku lagi adalah tidak adanya sikap adil [obyektif] dari hal yang sampai kepadaku berupa ceramah-ceramah dan pernyataan-pernyataan resmi yang menganggap Ikhwanul Muslimin lebih buruk dari orang-orang sekuler dan orang-orang murtad dari kalangan para pelaku kudeta militer. Ceramah-ceramah dan pernyataan-pernyataan resmi itu bahkan menganggap Ikhwanul Muslimin sebagai bagian dari para thaghut, begitulah.
Padahal kewajiban mereka bukan saja untuk menahan lisan mereka dalam kondisi yang sulit ini dan meninggalkan serangan terhadap mereka [Ikhwanul Muslimin Mesir] semata. Justru mereka wajib mengatakan kalimat kebenaran dan berlaku adil [obyektif], serta menolong mereka [Ikhwanul Muslimin Mesir] sesuai kemampuan dalam hal yang mereka [Ikhwanul Muslimin Mesir] memiliki hak pembelaan dan loyalitas.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 135)
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah [5]: 8)
Allah Ta’ala juga menyerukan kepada kita dalam kitab suci-Nya dan mengajarkan kepada kita sikap adil [obyektif], bahkan terhadap orang-orang kafir sekalipun. Maka tentu lebih layak lagi bersikap adil terhadap kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah yang menisbahkan dirinya kepada Islam, bahkan sekalipun kita berbeda pendapat dengan mereka dan mereka berbeda pendapat dengan kita dalam banyak perkara.
Allah Ta’ala berfirman dengan memilah-milah di antara golongan-golongan Ahlu Kitab:
وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا
Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. (QS. Ali Imran [3]: 75)
Perhatikanlah, bagaimana Allah memberikan rincian dan Allah tidak menyatakan akhlak yang buruk ini kepada semua orang Ahlu Kitab. Padahal semua golongan Ahlu Kitab tersebut memiliki sifat yang lebih buruk lagi [misalnya kesyirikan] dari sifat buruk ini.
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (QS. Al-Ankabut [29]: 46)
Maka Allah Ta’ala memilah-milah antara orang yang zalim dengan orang yang tidak zalim di kalangan Ahlu Kitab. Allah menjelaskan kepada kita bahwa di antara Ahlu Kitab ada orang yang harus didebat dengan kita dengan cara yang paling baik dan di antara Ahlu Kitab juga ada orang yang harus dilawan dengan cara yang paling kuat. Antara mengedepankan dan mengakhirkan huruf lam (cara menyikapi dengan baik atau keras ) sesuai orang yang berhak menerimanya terdapat sikap adil yang agung dan obyektif yang jelas.
Di dalam surat Al-Mumtahanah, Allah ta’ala memisahkan antara orang-orang kafir yang memerangi kita karena agama, mengusir kita dari negeri kita atau bahu-membahu dengan orang-orang yang memerangi kita dengan orang-orang kafir yang tidak melakukan hal itu kepada kita.
Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam mu’amalah [interaksi sosial], sirah [perjalanan hidup], cara dan petunjuknya membeda-bedakan antara orang-orang kafir yang memerangi Allah dan rasul-Nya serta menyakiti kaum beriman seperti Uqbah bin Abi Mu’aith dan orang-orang yang seperti dirinya; dengan orang-orang kafir yang memberikan perlindungan kepada beliau, menolong beliau dan berusaha untuk membatalkan lembaran perjanjian boikot yang ditanda tangani oleh orang kafir Quraisy, seperti Muth’im bin Adi dan Abul Bakhtari.
Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berbicara tentang nasib orang-orang kafir Quraisy yang tertawan dalam perang Badar:
لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا فَكَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى أَطْلَقْتُهُمْ لَهُ
“Seandainya Muth’im bin Adi masih hidup, lalu ia berbicara kepadaku tentang para orang busuk [musyrikin Qurais] itu niscaya aku akan membebaskan mereka untuknya.” (HR. Bukhari no. 3139, Abu Daud no. 2689 dan Ahmad no. 16733)
Maksudnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam melakukannya sebagai wujud terima kasih kepada Muth’im bin Adi. Sungguh sebuah sikap yang adil di dalam hadits ini, bahkan terhadap seorang musyrik penyembah berhala yang dalam suatu waktu tertentu pernah memberikan perlindungan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam membalas kebaikannya dengan pernyataan beliau ini, bahkan setelah Muth’im bin Adi meninggal [ia meninggal sebelum terjadinya perang Badar, pent], sehingga beliau menyabdakan pernyataan di atas. Inilah sikap adil yang menjadi sifat orang-orang mulia.
Maka lebih layak lagi hal itu dilakukan saat membicarakan tentang kaum muslimin, yang memiliki hak untuk ditolong, selama mereka belum keluar dari ruang lingkup agama Islam [selama belum murtad].
Oleh karena itu, Allah mengajarkan kepada kita sebagai kebalikan dari tuntutan Allah kepada kita untuk berlepas diri sepenuhnya dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan, sebagaimana dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
Allah juga berfirman tentang perkara orang-orang yang beriman:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ. فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. As-Syu’ara’ [26]: 215-216)
Perhatikanlah perbedaan antara berlepas diri secara total dari orang-orang musyrik dan berlepas diri secara parsial dari orang-orang beriman, yang direpresentasikan oleh sikap berlepas diri dari kemaksiatan-kemaksiatan mereka saja, bukan berlepas diri dari diri mereka.
Pembeda yang jelas ini mewujudkan sikap adil, seimbang dan obyektif. Oleh karena itu jika salah seorang sahabat bermaksiat, hukuman yang dijatuhkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam kepadanya tidak melampaui batasan yang telah Allah tetapkan kepada orang-orang yang sepertinya [para pelaku kemaksiatan lainnya].
Beliau menyaksikan hak-hak yang memang para pelaku kemaksiatan tersebut berhak menerimanya. Sehingga kemaksiatan-kemaksiatan mereka, bahkan walau berupa dosa-dosa besar, tidaklah menghilangkan hak-hak mereka dan juga tidak mengeluarkan mereka dari lingkaran orang-orang yang berhak mendapatkan loyalitas keimanan.
Ketika beliau melaksanakan hukuman rajam terhadap wanita Ghamidiyah yang terbukti melakukan perbuatan zina, Khalid bin Walid melemparkan batu ke wajah wanita itu sehingga darah wanita itu terpercik ke wajah Khalid. Khalid pun mencaci maki wanita itu. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam pun bersabda:
«مَهْلًا يَا خَالِدُ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ» ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا، وَدُفِنَتْ
“Tenanglah wahai Khalid, demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya, wanita ini telah bertaubat dengan sungguh-sungguh, yang seandainya seorang penarik pajak liar (pungutan liar) bertaubat sungguh-sungguh sepertinya niscaya ia akan diampuni.” Beliau kemudian memerintahkan untuk mengurus jenazah wanita itu, sehingga beliau menshalatkannya dan kemudian jenazahnya dimakamkan.(HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud) [HR. Muslim no. 1695, Abu Daud no. 4442, Ad-Darimi no. 2324 dan Ahmad no. 22949)
Dalam riwayat imam Muslim juga disebutkan:
فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: تُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللهِ وَقَدْ زَنَتْ؟
Umar bertanya: “Apakah Anda menshalatkan jenazahnya wahai Nabi Allah, padahal ia telah berzina?”
Maka beliau bersabda:
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ
“Ia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh, yang sekiranya taubatnya dibagi-bagikan di antara tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya akan mencukupi mereka.” (HR. Muslim no. 1696)
Dalam riwayat Muslim lainnya, beliau bersabda:
وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى؟
“Apakah engkau pernah menemukan taubah yang lebih utama daripada wanita yang telah mengorbankan nyawanya karena Allah semata?” (HR. Muslim no. 1696)
Allahu akbar…!
Alangkah indah dan sempurnanya sikap adil dan obyektif beliau!
Kesalahan wanita itu adalah satu perkara sendiri, demikian pula haknya dan [kewajiban] bersikap adil terhadapnya adalah satu perkara sendiri, hak itu tidak hilang meski wanita itu berbuat kesalahan. Inilah keadilan yang telah Allah perintahkan kepada kita di dalam kitab suci-Nya:
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) (QS. Al-An’am [6]: 152)
Maka setelah Ikhwanul Muslimin di Mesir mengalami musibah, apakah perkataan orang yang menyatakan “Ikhwanul Muslimin itu lebih buruk dari orang-orang sekuler dan orang-orang murtad” adalah sikap adil dan obyektif?!
Apakah orang yang mengucapkan pernyataan-pernyataan seperti ini secara serampangan tanpa dipikirkan masak-masak terlebih dahulu lepas atas —jika ia tidak bertakwa kepada Allah dan mengendalikan dirinya dengan perkataan yang lurus— mampu bersikap adil kepada manusia dan memerintah di antara mereka dengan adil jika ia telah memegang tampuk kepemimpinan?!
Padahal di tengah masyarakat terdapat orang-orang awam, para pelaku maksiat, para pelaku kesalahan, orang-orang yang menyelisihi syariat, orang-orang fasik dan lain-lain yang lebih buruk dari Ikhwanul Muslimin?!
Barangsiapa mengikuti [berita] perlakukan orang-orang sekuler Mesir terhadap Ikhwanul Muslimin —baik laki-laki maupun wanita mereka, anak-anak maupun orang jompo mereka— dan melihat permusuhan-permusuhan kaum sekuler tersebut terhadap Islam, bahkan hanya karena namanya [orang yang dimusuhi tersebut] Islami, dan sikap kaum sekuler yang memerangi syariat Islam, bahkan sekedar tulisan syariat Islam; pasti akan mengetahui bahwa ungkapan-ungkapan dan pernyataan-pernyataan berapi-api seperti ini adalah pernyataan-pernyataan zalim, dimana orang yang mengucapkannya tidak mengindahkan kehormatan dan hak kaum muslimin. Ia tidak pula mengindahkan musibah dan bencana yang menimpa kaum muslimin. Ia telah menyamakan antara orang-orang yang memerangi agama Allah dan tidak mengindahkan hubungan kekeluargaan maupun jaminan kepada seorang mukmin, dengan orang muslim yang taat atau orang muslim yang bermaksiat. Ini bukanlah sikap adil dan keseimbangan yang dengannya langit dan bumi tegak.
Maka hendaklah seluruh dunia mengetahui bahwa kami tidak mengkafirkan Ikhwanul Muslimin. Bahkan menurut kami mereka adalah kaum muslimin, sekalipun mereka berbeda pendapat dengan kami dalam banyak perkara; sebagiannya dalam perkara manhaj dan ushul.
Ikhwanul Muslimin dengan para pengikutnya, pendukungnya dan simpatisannya berjumlah ribuan [jutaan, pent], mereka memiliki tingkatan-tingkatan yang beragam. Di antara mereka ada ulama dan ada orang yang bodoh, ada orang yang taat dan ada orang yang bermaksiat, ada orang yang menuntut ilmu dan ada orang yang awam.
Di antara mereka juga ada orang yang berlumuran diri dengan sebagian hal yang membatalkan keislaman, seperti memerintah [memutuskan perkara] dengan selain hukum Allah, atau turut serta menetapkan undang-undang [yang menyelisihi hokum Allah], atau bersumpah untuk menghormati undang-undang kekafiran, atau memuji hukum-hukum positif, para hakimnya dan pengadilan-pengadilannya.
Di antara mereka juga ada orang-orang yang tidak melakukan sedikit pun hal-hal tersebut. Maka setiap orang [di antara mereka] harus disikapi sesuai haknya. Dalam menyikapi mereka tidak boleh melanggar batasan-batasan yang telah Allah tetapkan dengan menyikapi mereka semuanya seperti sikap kita kepada orang yang kita benar-benar telah melihatnya melakukan sebagian pembatal keislaman, yang berakibat orang yang bersih di antara mereka disakiti akibat dosa orang yang berlumuran kotoran [pembatal keislaman].
Ini sama sekali bukanlah sikap adil. Khususnya, Ikhwanul Muslimin bukanlah kelompok muharibah (perusak, pengacau keamanan dengan melakukan perampokan dan lain-lain) dan bukan pula kelompok yang mempertahankan diri dengan kekuatan. Justru Ikhwanul Muslimin adalah kelompok muharabah [kelompok yang dianiaya, kelompok yang ditindas] karena mereka memegang teguh sebagian ajaran dien Islam.
Maka dalam kondisi seperti itu, kita tidak boleh bermaksiat kepada Allah dengan berlaku tidak adil kepada mereka, meskipun mereka bermaksiat kepada Allah dengan bersikap tidak adil kepada kita. Kita tidak boleh memfitnah mereka, meskipun sebagian mereka memfitnah kita, menzalimi kita dan menjuluki kita “para teroris” [irhabiyyun] atau “tukang mengkafirkan” [takfiriyyun].
Kita tidak akan menzalimi mereka, meskipun mereka telah menzalimi kita. Justru kita akan menaati Allah dengan bersikap adil kepada mereka, meskipun mereka bermaksiat kepada Allah dengan tidak bersikap adil kepada kita. Kita bertakwa kepada Allah dengan bersikap adil dan obyektif kepada mereka, meskipun sebagian mereka menzalimi kita dan tidak bertakwa kepada Allah dalam bersikap kepada kita.
Beginilah seharusnya cetakan aliran pergerakan kita [salafi jihad]. Beginilah seyogyanya manhaj putra-putra aliran pergerakan ini dan akhlak para pemimpin [komandan], ulama dan tokoh panutannya. Mereka adalah orang yang paling layak untuk bersikap adil kepada manusia saat manusia menzalimi mereka. Mereka adalah orang yang paling layak untuk bersikap adil kepada manusia saat manusia memfitnah mereka.
Sebab, orang yang telah kenyang dizalimi oleh orang lain sudah selayaknya menjadi orang yang paling membenci dan menjauhi akhlak berbuat zalim. Orang yang telah merasakan kejinya fitnahan-fitnahan dan busuknya kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh lawan-lawannya dari golongan zalim dan rezim pembohong lagi kafir, sudah selayaknya menjadi manusia yang paling jauh dari akhlak buruk memfitnah dan berbohong, menjadi orang yang paling membencinya dan orang yang paling antusias untuk bersikap adil dan obyektif.
Inilah dia agama kami, dan inilah dia akhlak kami. Kami menyikapi manusia dengan akhlak ini, dan kami tidak menyikapi mereka dengan akhlak mereka. Bukanlah sikap menjaga kehormatan, dan bukan pula sikap ksatria, jika kita menampakkan kegembiraan atas musibah yang menimpa kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan kita dan penindasan musuh-musuh Islam terhadap mereka dan kehormatan mereka.
Orang [musuh Islam] yang memusuhi mereka [Ikhwanul Muslimin] dengan keislaman mereka yang menurutnya adalah Islam “moderat”, sudah pasti lebih memusuhi kita dan keislaman kita yang menurutnya adalah Islam “fundamentalis”, “ekstrimis” dan “teroris”.
Putra-putra aliran pergerakan ini [mujahidin] yang terjatuh dalam genggaman tangan dan lisan musuh-musuh Allah [tertangkap dan dipenjara] akan menghargai apa yang saya katakan ini dan mengetahuinya sejelas-jelasnya.
Di antara ikatan iman yang paling kuat, yang selama ini telah kami pelajari, terus-menerus kami ajarkan dan kami serukan adalah “kaum muslimin diberikan loyalitas, masing-masing sesuai kadar loyalitas yang berhak ia terima, yaitu sesuai kadar kedekatannya dengan agama Islam dan amal ketaatan; bahwa kita harus membedakan antara orang-orang muslim dan orang-orang durjana; bahwa kita harus memilah-milah antara orang-orang Islam dan musuh-musuh Islam.
Bahkan orang-orang fasik dan pelaku dosa besar dari kalangan orang-orang yang mengaku beragama Islam pun, kita tidak boleh menzalimi mereka atau melanggar batasan yang telah Allah tetapkan terhadap diri mereka. Orang Islam yang fasik juga memiliki hak untuk dicintai dan dibela, dan hak tersebut tidak hilang dari dirinya selama ia belum keluar dari lingkaran Islam [murtad].
Bahkan Allah Ta’ala telah mengajarkan kepada kita untuk berbuat adil kepada orang yang lebih buruk darinya sekalipun. Anda akan melihat Allah Ta’ala memberikan pernyataan secara rinci, bahkan tentang orang-orang munafik. Allah tidak menyatakan semua orang munafik mengatakan perkataan yang dikatakan oleh sebagian orang munafik. Allah juga tidak menyatakan semua orang munafik bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh sebagian orang munafik.
Bahkan Anda akan melihat Al-Qur’an menyatakan:
وَإِذْ قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ
“Dan ingatlah ketika satu kelompok di antara mereka…” (QS. Al-Ahzab [33]: 13)
وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ
“Dan satu kelompok di antara mereka meminta izin…”(QS. Al-Ahzab [33]: 13)
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا تَفْتِنِّي
“Dan di antara mereka ada orang yang mengatakan “Berilah saya izin, janganlah engkau mencampakkan aku kepada fitnah”. (QS. At-Taubah [9]: 49)
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang pembagian zakat…” (QS. At-Taubah [9]: 58)
وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang menyakiti nabi…” (QS. At-Taubah [9]: 61)
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ
Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. At-Taubah [9]: 75)
Demikianlah, banyak lagi contoh ayat lainnya yang menyebutkan “dan di antara mereka…dan di antara mereka…dan di antara mereka”.
Demikian pula Allah Ta’ala memberikan perincian tentang orang-orang Arab badui. Allah berfirman:
وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَائِرَ
Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu. (QS. At-Taubah [9]: 98)
وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ
Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. (QS. At-Taubah [9]: 99)
Allah membeda-bedakan, bersikap adil dan memilah-milah, dan Allah adalah Dzat Yang paling adil, paling menahan diri dan melimpahkan ampunan. Ini semua untuk mengajarkan kepada kita sikap adil, obyektif, memilah-milah, dan membedakan secara jelas antara wali-wali Allah dan wali-wali setan.
Maka tidak boleh menempatkan kelompok-kelompok Islam – Ikhwanul Muslimin atau lainnya— semuanya dalam satu anak timbangan dan satu penilaian (vonis) serta menyatakan orang yang tidak melakukan pembatal keislaman ikut menanggung kesalahan orang yang melakukan pembatal keislaman. Bahkan [tidak boleh menyamakan] orang yang melakukan pembatal keislaman karena melakukan ta’wil, sedang ia tidak mempertahankan diri dengan kekuatan dan tidak pula memerangi agama, dengan orang yang melakukan pembatal keislaman secara sengaja, mempertahankan diri dengan kekuatan dan memerangi agama Islam dan kaum muslimin.
Oleh karena semua hal di atas, bukanlah sikap adil jika menyamakan antara Ikhwanul Muslimin dengan orang-orang sekuler dan musuh-musuh agama yang memerangi [Islam dan kaum muslimin]. Orang yang menginginkan kebaikan, namun ia meleset [tidak tepat mengenai kebaikan tersebut] tidaklah sama dengan orang yang menginginkan kebatilan, ia mendapatkan kebatilan tersebut maupun ia tidak mendapatkannya.
(Bersambung, insya Allah)
(muhibalmajdi/arrahmah.com)