(Arrahmah.com) – Salah satu penyakit ganas yang telah mencerai-beraikan hasil-hasil jihad di bumi Afghanistan, Bosnia, Chechnya, dan banyak bumi jihad lainnya adalah perpecahan dan perselisihan di antara sesama mujahidin. Setiap kelompok jihad merasa dirinya yang paling benar, paling berjasa, paling kuat, dan paling berhak untuk berkuasa. Setiap kelompok jihad enggan menerima saran, nasehat, dan kritikan dari kelompok jihad lainnya, apalagi dari ulama dan tokoh-tokoh Islam yang tidak berada di medan jihad.
Sikap merasa paling benar, paling berjasa, dan paling berhak berkuasa mengakibatkan sebuah kelompok jihad enggan untuk menghargai kelompok-kelompok lain, bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain, bersatu dalam wadah majlis syura, dan tunduk kepada keputusan majlis syura kelompok-kelompok jihad.
Sikap merasa “paling” dalam segala hal tersebut akan menimbulkan tindakan-tindakan arogan kepada kelompok-kelompok jihad lainnya. Dampaknya persatuan, perdamaian dan perbaikan di antara sesama kelompok jihad sulit diwujudkan, karena ada sebagian kelompok jihad yang selalu ingin menang sendiri.
Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini alias Umar bin Mahmud Abu Umar, ulama mujahidin yang saat ini mendekam dalam penjara rezim sekuler Yordania, memandang benih-benih perpecahan dan perselisihan di antara kelompok-kelompok jihad tersebut saat ini mulai merebak di bumi jihad Suriah. Sebagai bentuk kecintaan beliau kepada jihad dan mujahidin, Syaikh Abu Qatadah menulis nasehat-nasehat berharga untuk mujahidin Islam di Suriah. Nasehat tersebut berjudul “Risalatun li-ahlil jihad bisy-Syam” dan dimuat oleh situs Mimbar At-Tauhid wal Jihad pada awal November 2013 M. Berikut terjemahan nasehat berharga beliau tersebut:
***
“Pesan Untuk Mujahidin di Syam”
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
dengan nama-Nya kita meminta pertolongan
Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada nabi yang terpercaya, Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amma ba’du.
Saya memohon kepada Allah Ta’ala semoga suratku ini sampai kepada saudara-saudaraku mujahidin di negeri Syam sedangkan mereka dalam keadaan yang paling baik dan jalan yang paling lurus untuk merealisasikan kemenangan dien Allah Ta’ala. Saya memohon kepada Allah Ta’ala semoga mereka berada di atas jalan yang paling lurus baik dalam amal-amal ketaatan maupun pemikiran.
Karena sesungguhnya kami mencintai untuk mereka semua bentuk kebaikan yang kami ketahui di dunia ini, dan mereka adalah orang yang paling layak dengan kebaikan ini, taufik ini dan ketepatan jalan ini. Karena jihad yang mereka lakukan merupakan bidang kehidupan yang paling agung dan paling penting.
Hendaknya mereka mengetahui bahwa seluruh umat Islam mengawasi (mengikuti perkembangan) jihad ini dan berharap jihad ini mampu merealisasikan kesimpulan (ringkasan) usaha yang telah ditempuh oleh para pejuang kebenaran dari kalangan ulama dan mujahidin dengan merealisasikan kemuliaan dan kemenangan Islam.
Setiap orang yang memperjuangkan dien Allah Ta’ala mengetahui bahwa jihad di negeri Syam ini merupakan serial yang menyatukan seluruh jihad umat Islam sebelumnya di setiap negara, karena jihad ini terjadi di negeri yang diberkahi [Suriah, Syam] dan hanya berjarak selemparan batu dari Baitul Maqdis, muara janji-janji Allah yang datang dari alam ghaib; di mana orang-orang yang beriman bergembira dengannya dan menunggu-nunggunya menjadi kenyataan yang tinggal menunggu pelaku peristiwa dan waktu kejadiannya.
Barangsiapa mengetahui nilai penting jihad di negeri Syam ini, lalu barangsiapa mengetahui bahwa jihad ini hanya terjadi dengan curahan nyawa, darah, usaha keras dan pemikiran yang dipersembahkan oleh mujahidin di setiap wilayah-wilayah jihad terdahulu, sejak dari Afghanistan, Chechnya, Yaman dan tempat-tempat lainnya seperti Irak hingga akhirnya jihad tersebut sampai di negeri kediamannya, kampong halaman Islam negeri Syam.
Saya katakan, barangsiapa mengetahui hal ini, niscaya ia akan menyikapi secara benar urgensi dan nilai penting jihad ini. Khususnya orang yang hatinya diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala untuk mengetahui bahwa jihad ini terjadi bukan untuk hilang begitu saja, namun jihad ini terjadi untuk menjadi kuat dan tegak dengan kokoh sampai akhirnya terealisasikan pembebasan Baitul Maqdis dan penegakan Daulah Islam yang kuat dan meraih kemenangan dengan izin Allah Ta’ala.
Wahai saudara-saudaraku yang tercinta, para mujahidin di negeri Syam….
Sesungguhnya hatiku memendam rasa cinta yang berat kepada kalian, demikian pula doa kepada Allah Ta’ala semoga menolong kalian dan mengaruniakan kemenangan di muka bumi kepada kalian. Orang ini [Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini, edt] telah melalui seluruh hidupnya dengan berjuang demi terealisasinya apa yang hari ini kita lihat melalui tangan kalian, di mana kita memohon kepada Allah Ta’ala semoga memberkahinya dan menguatkan sumpah-sumpahnya dalam kebaikan, jihad dan ujian.
Karena perasaan dalam hatiku seperti itu, maka sudah menjadi sebuah kewajiban yang menyertai rasa cinta dan doa tersebut untuk memberikan nasehat, yang telah Allah Ta’ala wajibkan kepada orang Islam terhadap orang yang dicintai dan diharapkan kebaikannya. Kalian telah mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Agama adalah nasehat.” (HR. Muslim no. 55, At-Tirmidzi no. 1926, An-Nasai no. 4197,4198,4199, 4200, Abu Daud no. 4944, Ahmad no. 3271,7894,16493,16494,16498, 16499, dan Ad-Darimi no. 2754)
Jika urusannya demikian, maka kewajiban kalian adalah mendengarkan nasehat ini dan memikirkan isinya, dan kalian layak atas semua hal ini.
Janganlah sekali-kali, janganlah sekali-kali kalian tertipu dan enggan menerima kebenaran, meskipun kebenaran tersebut tidak sesuai dengan apa yang kalian inginkan dan kalian cintai. Sesungguhnya kawan sejati adalah orang yang tulus menasehatimu, bukan orang yang berkompromi dengan kalian dan mempedaya kalian dengan perkara yang batil.
Kalian telah mengetahui dari pengalaman-pengalaman jihad sebelumnya [di negara-negara lain] bahwa banyak di antara perjuangan jihad tersebut telah mencapai kemenangan dan kekuasaan yang besar, kemudian karena kekeliruan-kekeliruan dan dosa-dosa berkumpul, akhirnya kemenangan dan kekuasaan yang besar tersebut hilang, lenyap, melemah dan menyimpang [dari jalan yang lurus]. Maka barangsiapa tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya niscaya ia lebih layak untuk hancur dan binasa. Semoga Allah Ta’ala melindungi kami dan kalian dari hal buruk tersebut.
Wahai saudara-saudaraku yang tercinta, para mujahidin di negeri Syam…
Sesungguhnya berita-berita baik telah datang dari kalian kepada umat Islam, di mana masyarakat Islam mencintai kalian, mereka menyambut dan menerima kalian, bukan menyambut selain kalian [kelompok pejuang nasionalis], demikian pula berita tentang operasi-operasi jihad kalian yang tepat [mendapat taufik Allah Ta’ala] yang menggembirakan hati setiap mukmin yang menginginkan kebaikan bagi dien Islam ini. Berita yang serupa adalah hijrahnya sebagian umat Islam kepada kalian dengan harapan bisa meraih pahala jihad yang penuh berkah ini.
Perkara seperti ini memang telah terjadi di negeri-negeri jihad terdahulu, namun perbedaannya dengan keadaan kalian pada hari ini adalah semua hal tersebut sangat kuat dan secara terang-terangan. Hal ini menunjukkan adanya kebangkitan Ilahi yang mengindikasikan kebaikan yang agung berupa terealisasinya janji-janji Allah ta’ala yang kita harapkan dari Rabb kita Subhanahu wa Ta’ala.
Namun setiap orang mukmin yang mencintai kalian khawatir kalian melakukan perbuatan dosa yang melenyapkan semua kebaikan tadi, khususnya akibat dosa perpecahan dan perselisihan kalian.
Berita-berita yang beredar dari kalian tentang perpecahan ini mengkhawatirkan dan menakutkan setiap orang mukmin yang mencintai kalian. Khususnya orang-orang yang telah mengetahui dari pengalaman-pengalaman jihad terdahulu dampak buruk perpecahan terhadap jihad dalam pengalaman-pengalaman dan negeri-negeri jihad terdahulu.
Dalam setiap kesempatan, ada saja orang yang menganggap remeh perpecahan seperti ini, namun akhirnya akibatnya sangat menyakitkan sehingga menggembirakan musuh-musuh Islam dan menumbuk sampai halus hati orang-orang beriman dan mujahidin. Apa yang terjadi hari ini merupakan bagian dari kebiasaan berpecah belah tersebut.
Sebenarnya orang ini [Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini, edt] memiliki banyak perasaan dan hal dalam hatinya yang ingin ia sampaikan kepada saudara-saduaranya, mujahidin di negeri Syam. Namun semoga saudara-saudara berkenan jika kami secara terus terang menyampaikan beberapa pesan ringkas berikut ini.
Pertama
Ketahuilah oleh kalian bahwa jihad kalian di negeri Syam adalah milik umat Islam, bukan milik (monopoli) kalian semata. Jika kalian dimuliakan Allah Ta’ala untuk melaksanakan jihad di negeri Syam ini, bukan berarti kalian memonopoli jihad tersebut dengan menyingkirkan umat Islam lainnya. Bahkan, [boleh jadi] sebagian umat Islam yang tidak bisa ikut berjihad di negeri Syam karena memiliki udzur syar’i lebih layak atas jihad ini dibandingkan kalian.
Sebab, jihad di negeri Syam saat ini bukanlah dilahirkan oleh kesempatan yang kalian lihat ini saja, melainkan ia merupakan satu serial dari rentetan serial panjang jihad yang telah dicurahkan oleh para ulama dan mujahidin terdahulu hingga akhirnya tongkat estafetnya sampai ke tangan kalian.
Maka wajib atas kalian, saya ulang sekali lagi dengan segenap rasa cinta, wajib atas kalian untuk mendengar [nasehat dan suara] mereka [para ulama dan mujahidin pendahulu tersebut] dan wajib atas kalian memandang diri kalian sebagai buah dari tanaman yang ditanam oleh orang lain [para ulama dan mujahidin pendahulu tersebut]. Mereka memiliki jasa atas kalian.
Selain fakta ini, banyak pendahulu kalian yang terpesona dan terpedaya oleh sebagian kemenangan dan kekuasaan yang berhasil mereka raih. Kemudian kemenangan dan kekuasaan tersebut akhirnya lenyap tak berbekas, bahkan terjadi peperangan di tengah perjalanan [di antara sesama kelompok mujahidin] sampai-sampai sebagian mereka melenyapkan sebagian lainnya.
Hal itu tidak terjadi kecuali karena adanya penyakit cinta kekuasaan, lalu penyakit cinta kekuasaan itu ditutup-tutupi dengan hadits-hadits dan klaim-klaim tentang “kami adalah orang yang paling utama”, di mana Allah Ta’ala mengetahui hal itu hanyalah penutup-penutup palsu yang tidak ada hakekatnya.
Sungguh menyedihkan sikap itu hari ini nampak sejengkal demi sejengkal dari pernyataan-pernyataan yang tidak samar lagi bagi orang yang ahli, berpengalaman dan bijaksana, bahwa seandainya prinsip “Penilaian diukur dari hasil-hasil akhir” niscaya setiap orang yang obyektif akan mengetahui bahwa bacaan-bacaan dan pernyataan-pernyataan tersebut adalah buah dari kebodohan dan cinta kekuasaan, karena hanya menyebabkan perpecahan, kelemahan dan perselisihan.
Kedua
Ketahuilah oleh kalian bahwasanya jika perselisihan tidak diselesaikan sejak awal perjalanan, niscaya perselisihan tersebut akan menguat di tengah perjalanan. Setiap hari di mana saudara-saudara lambat dalam menyelesaikan perselisihan berarti tambahan dosa atas mereka. Dan setiap dampak buruk yang ditimbulkan oleh perselisihan ini, baik terhadap hati maupun perbuatan, maka dosanya menjadi tanggungan para pemimpin. Setiap darah yang ditumpahkan pada hari ini atau besok hari pada dasarnya adalah akibat dari perpecahan pada hari ini.
Sesungguhnya seseorang sangat heran dari perkataan sebagian pihak pada hari ini:
“Perselisihan itu perkara kecil dan mudah”. Perkataan seperti ini hanya dikatakan oleh orang yang bodoh [tidak mengetahui] terhadap akibat-akibat perselisihan di antara mujahidin di negeri-negeri jihad sebelumnya.
Hal ini memberi dorongan kepada setiap orang yang mendapat taufik dan menunggu perjumpaan dengan Allah Ta’ala untuk bersegera menyelesaikan perselisihan, meskipun untuk itu ia harus melepaskan hak kekuasaannya atau melepaskan sebagian haknya, sebagaimana dilakukan oleh Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma dan ia telah dipuji oleh kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Ketiga
Saya memperingatkan kepada saduara-saudaraku mujahidin, baik komandan maupun tentara, untuk tidak mendengarkan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sebagian pihak dari kejauhan [bukan dari lapangan, negeri jihad Suriah]. Fatwa-fatwa tersebut ditulis oleh para pelajar pemula [santri, bukan ulama, edt], atau bahkan oleh selain pelajar namun menamakan dirinya dengan nama-nama pelajar; mereka mewajibkan segolongan orang untuk melebur kepada segolongan lainnya dengan fatwa syar’i.
Seakan-akan perkara [perselisihan di antara sesama kelompok mujahidin] ini diselesaikan dengan cara yang polos dan kekanak-kanakan seperti ini. Sesungguhnya perselisihan itu tidak diselesaikan kecuali dengan cara mengusahan perdamaian dan itulah cara yang paling layak, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa’ [4]: 128)
Atau perselisihan harus diselesaikan lewat cara meminta keputusan hukum dan peradilan.
Mereka itu yang menulis fatwa-fatwa seperti itu di situs-situs internet dan tempat lainnya benar-benar “anak-anak kecil”, mereka memprovokasi pihak yang mereka dukung untuk ngotot mempertahankan sikapnya, namun tidak merealisasikan tujuan sama sekali yaitu menolak perselisihan, merealisasikan perdamaian dan persatuan. (Fatwa-fatwa itu) justru mengakibatkan lebih banyak perpecahan dan kedengkian hati yang baru. Bahkan fatwa-fatwa yang bodoh ini bias mempercepat peperangan di antara sesama saudara-saudara [mujahidin]. Hal ini telah diketahui oleh orang-orang yang berpengalaman sebelumnya. Melalui fatwa-fatwa yang asing tersebut, engkau tidak akan kesulitan menemukan orang bodoh yang menihilkan secara total [eksistensi dan peranan] orang lain.
Keempat
Apa yang saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku mujahidin untuk saat ini, secara ringkas saja, hendaknya mereka berusaha untuk membentuk satu kelompok [lembaga] syari’at yang kokoh, beranggotakan ulama-ulama yang memiliki ilmu yang shahih, juga orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dan bashirah; para saudara-saudara terpilih tersebut diberi keleluasaan penuh untuk mengambil keputusan-keputusan yang mengikat terhadap semua pihak sehingag bisa merealisasikan persatuan dan kesepakatan.
Semua keputusan saudara-saudara terpilih tersebut harus diterima, kecuali keputusan yang mengakui [mengesahkan] perpecahan di antara mujahidin ini. Sebab, perpecahan ini selamanya tidak memiliki alasan apapun dalam tinjauan syari’at. Tidak ada penafsiran [yang membenarkan] atas fenomena perpecahan ini selain satu penafsiran saja, yaitu cinta kekuasaan dan rusaknya pemikiran; meskipun sebagian pihak berusaha untuk menutup-nutupinya dengan penutup-penutup palsu dan batil.
Sesungguhnya apa [perpecahan] yang sampai hari ini terjadi di antara saudara-saudara [sesama kelompok mujahidin] tidak menunjukkan kecuali pada makna [cinta kekuasaan dan rusaknya pemikiran] ini saja, bukan pada makna lainnya.
Saya meminta maaf kepada saudara-saudaraku mujahidin atas bahasaku yang vulgar dan keras ini, karena sesungguhnya perkara kekeliruan di dalam jihad tidaklah seperti kekeliruan dalam perkara-perkara lainnya. Barangsiapa mengingat-ingat peristiwa perang Uhud niscaya akan mengetahui kebenaran apa yang aku ucapkan ini. Semoga Allah mengampuniku dan mengampuni saudara-saudaraku, semua mujahidin.
Kelima
Saya ingin saudara-saudaku, mujahidin, menjauhi orang-orang bodoh yang menganggap bahwa perkara [perselisihan] seperti ini diselesaikan dengan pengerahan kekuatan, atau sikap ngotot mempertahankan pendapat, atau sikap fanatisme buta terhadap nama Jama’ah atau Amir. Orang-orang bodoh seperti itu harus dijauhkan dari diambil pendapat dan sarannya.
Dalam sebagian kondisi orang-orang bodoh itu memang paling keras suaranya dan paling besar pengaruhnya, namun dalam setiap waktu mereka juga merupakan orang-orang yang paling merusak.
Sebagai sebuah nasehat, saya katakan kepada kalian: Sebagian Amir dan komandan mencintai orang-orang bodoh seperti itu karena orang-orang bodoh tersebut bisa merealisikan bagi mereka keinginan-keinginan mereka dalam mencintai kepemimpinan dan langgengnya kekuasaan. Namun orang yang senantiasa mengawasi hatinya dan diennya niscaya tidak akan mendengarkan bisikan hawa nafsu dalam perkara agama ini, apalagi dalam perkara puncak ketinggian agama ini yaitu jihad di jalan Allah Ta’ala.
Keenam
Sebagai tambahan, saya mengingatkan saudara-saudaraku bahwa Imarah [kepemimpinan] pada hari ini adalah Imarah Jihad [pemimpin kelompok-kelompok jihad], kelompok-kelompok yang hari ini ada adalah kelompok-kelompok jihad. Hari ini di sana [Suriah] belum ada Amir yang berkuasa penuh dan bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap Khalifah atau nama dan julukan yang semisal dengannya.
Barangsiapa tidak mengerti perkara ini, niscaya kerusakan yang ia timbulkan lebih besar, karena ia akan memaksakan kepada kelompok-kelompok lain konskuensi-konskuensi nama ini seperti pemimpin atas seluruh kaum beriman atau khalifah atas seluruh kaum muslimin; juga memasuki perdamaian atau tahkim [pengadilan juru damai dan meminta keputusan pihak penengah] dengan pengertian lain.
Padahal jama’ah-jama’ah yang ada adalah jama’ah-jama’ah jihad, berjuang untuk merealisasikan kemenangan, namun justru hanya merealisasikan kerusakan, karena dibangun di atas dasar kebodohan dan keterpedayaan bukan atas dasar realita-realita menurut orang-orang yang berakal sehat [orang-orang bijak dan berpengalaman] dan orang-orang yang berilmu [ulama].
Sesungguhnya akibat buruk dari menamakan hal-hal yang semu dengan realita-realita adalah [orang-orang] bergantung dengan nama-nama, julukan-julukan dan struktur-struktur. Sungguh sebuah dosa besar dalam agama Allah Ta’ala jika sebagian umat Islam membunuh umat Islam lainnya hanya demi Amir-amir atau nama-nama Tanzhim yang dibuat oleh manusia dan mereka [Amir-amir maupun tanzhim-tanzhim tersebut] tidak memperoleh legalitas kekuasaan kecuali dari manusia belaka.
Manusia berhak merubah kondisi [amir-amir dan tanzhim-tanzhim] tersebut, berdasar kaedah hadits:
إِنِّي وَاللَّهِ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – لاَ أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ، فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا كَفَّرْتُ عَنْ يَمِينِي، وَأَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Sesungguhnya aku, demi Allah, insya Allah, tidaklah aku mengucapkan sebuah sumpah, lalu aku melihat ada selainnya yang lebih baik dari sumpahku tersebut, kecuali aku akan membatalkan sumpahku tersebut dengan membayar kaffarah dan aku akan melakukan hal yang lebih baik tersebut.” (HR. Bukhari no. 2964, 4124, 5199, 6449, 6273, 6302, 6340, 6342, 7116, Muslim no. 1649, An-Nasai no. 3780, Abu Daud no. 3278, Ibnu Majah no. 2107 dan Ahmad no. 19064, 19094 dan 19250)
Namun sebagian orang menyikapi Amir-amir dan jama’ah-jama’ah mereka seakan-akan ia [amir-amir dan jama’ah-jama’ah tersebut] produk Allah, mereka berperang untuknya [amir-amir dan jama’ah-jama’ah tersebut] dan enggan meninggalkannya, seakan-akan ia [amir-amir dan jama’ah-jama’ah tersebut] adalah tujuan itu sendiri, bukan sarana.
Ini adalah perkara yang samar bagi banyak jiwa. Padahal seluruh amir-amir dan jama’ah-jama’ah yang ada saat ini adalah seperti itu [amir dan jama’ah kecil bagian dari keseluruhan umat Islam, edt] statusnya yang benar dalam pandangan orang-orang [ulama dan tokoh berpengalaman] yang mengetahui, mengawasi dan melakukan kajian dan pemikiran.
Jika statusnya sebenarnya telah jelas bagi mereka [namun mereka masih ngotot “mendewakan” Amir dan jama’ahnya seakan-akan Khalifah seluruh kaum muslimin, edt] niscaya perdamaian akan semakin jauh dan sulit terjadi. Saya berdoa kepada Allah Ta’ala semoga hal ini tidak terjadi pada diri seorang pun.
Saya melihat sebagian orang yang menamakan dirinya khalifah atau amirul mukminin, dalam perkara ini, ia mengikuti tradisi agama Rafidhah tanpa ia sadari. Hanya orang-orang Rafidhah-lah yang meyakini bahwa Amir-amir dan imam-imam adalah produk [pilihan langsung dari] Allah, bukan hasil pilihan manusia yang tunduk kepada kemaslahatan. Hujjah dalam hal ini adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu rela turun dari jabatannya sebagai amirul mukminin, dan ia mendapat pujian dari pemilik syariat baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Namun ketika manusia sudah berpegang teguh dengan nama-nama dan tokoh-tokoh, maka mau atau tidak mau, sejatinya mereka telah masuk dalam tradisi [agama Rafidhah yang mendewakan Imam mereka, edt].
Ketujuh
Saya berdoa kepada Allah Ta’ala semoga tidak dimintai pendapatnya [dijadikan majlis syura, edt] orang yang tidak mau menerima nasehat kecuali dari orang-orang yang selaras dengan keinginan, madzhab dan jama’ahnya semata.
Karena sifat seperti itu [hanya menerima nasehat dari orang yang semadzhab, sejama’ah dan sesuai dengan hawa nafsunya, edt] adalah agama Yahudi yang menjalari orang yang meniti jalan hidup mereka atau meniti sebagian jalan hidup mereka. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al-Qur’an yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada Al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 91)
Sikap ini meneguhkan hawa nafsu di dalam jiwa tanpa mau melihat pihak lain dari kelompok kaum muslimin yang berselisih pendapat dengannya. Sampai-sampai dikhayalkan bagi orang yang hanya mau mendengarkan pendapatnya sendiri atau hanya mau mendengarkan pendapat yang selaras dengan pendapatnya bahwasanya semua pendapatnya adalah kebenaran dan semua pendapat orang lain adalah kebatilan. Maka ia akan enggan berdamai kecuali menurut syarat yang ia tetapkan. Ini merupakan pintu keburukan dan kerusakan. Jika hal ini terjadi, niscaya perdamaian, perbaikan dan kesepakatan tidak akan tercapai.
Kedelapan
Saya berhadap saudara-saudaraku mengetahui bahwa kondisi saat ini adalah kondisi perjuangan, bukan kondisi bagi-bagi harta rampasan perang sehingga terjadi persaingan dan perebutan atasnya.
Ya, cinta kepemimpinan merupakan penyakit jiwa, bahkan atas orang yang jiwanya suci sekalipun, meskipun harus melalui ujian berat.
Namun barangsiapa bertakwa kepada Rabbnya, bekerja untuk negeri akhirat dan ia mengetahui bahwa apa yang akan datang kepadanya adalah hal yang lebih baik di akhirat, karena ia tidak tahu apakah ia akan mati hari ini atau esok hari, dan ia menyadari sepenuhnya bahwa surga dan neraka lebih dekat kepada dirinya daripada dekatnya ia kepada tali sandalnya; niscaya cita-citanya hanya tertuju untuk memenangkan agama Allah dan membuat marah orang-orang kafir. Tujuan mulia ini tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya persatuan, karena sesungguhnya perselisihan itu adalah hal yang buruk, sebagaimana dikatakan oleh tokoh umat ini yang bijaksana lagi mendapat petunjuk, sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Penutup
Inilah beberapa kalimat dari orang yang mencintai, orang yang tidak menolong sebuah nama tertentu kecuali agama Islam, tidak memberikan loyalitas kecuali di atas jalan jihad, dan tidak memandang sosok-sosok tertentu kecuali sebagai alat-alat untuk menolong dien Allah Ta’ala, bukan sebagai tujuan itu sendiri.
Ia mencintai jihad ini, yang sejak waktu yang begitu lama ia cita-citakan agar bisa mencapai kampung kediaman Islam, negeri Syam, dan ia berharap jihad ini tidak ditimpa oleh apa [perpecahan dan kegagalan] yang menimpa jihad di negeri-negeri lainnya yang ia sendiri mengalaminya dan ia melihatnya bagaimana jihad itu berawal kemudian bagaimana ia berkesudahan.
Ia mengetahui bahwa orang yang memanggul senjata di sana [negeri Syam], sampai para komandan dan pemimpinnya sekalipun, tidak lebih berhak darinya dalam jihad ini, bahkan tidak lebih berhak walau sebesar biji sawi darinya.
Jika saudara-saudara menerima kalimat-kalimat nasehat ini, niscaya itulah yang ia senangi dan itu pula harapannya kepada orang-orang yang menempuh jalan jihad yang agung ini, jalan yang tidak ditempuh kecuali oleh orang-orang yang Allah Ta’ala pilih untuk menaati-Nya.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik untuk kami dan kalian kepada perkara yang dicintai dan diridhai-Nya.
Orang ini [Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini] meminta maaf karena kaIimat pertama yang kepada orang-orang yang dicintainya, saudara-saudaranya dan putra-putranya adalah kalimat-kalimat ini, namun kondisi saat inilah yang akan membuat orang yang obyektif dan mencintai memaafkannya. Udzur penulis kalimat ini adalah ia mencintai mereka, dan ia sedang tertawan.
Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
Abu Qatadah Al-Filisthini
(muhibalmajdi/arrahmah.com)