(Arrahmah.com) – Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi [semoga Allah membebaskannya dari penjara rezim sekuler Yordania] kembali menulis taushiyah ringkas untuk mujahidin Islam di Suriah. Taushiyah itu berjudul “Tidak seperti wanita yang rela anaknya dibelah”, ditulis oleh beliau pada Selasa, 1 Muharram 1435 H/5 November 2013 M dan dimuat oleh situs resmi beliau, Mimbar At-Tauhid wal Jihad, pada Ahad (17/11/2013).
Mengingat penting dan berharganya taushiyah terbaru Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi ini, arrahmah.com menerjemahkannya untuk para pembaca budiman. Semoga bermanfaat.
****
“Tidak seperti wanita yang rela anaknya dibelah”
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Tidak ada orang yang memahami agamanya, mengilmui syariatnya, antusias terhadap kebaikan jihad dan mujahidin, dan mengkhawatirkan nasib Islam dan kaum muslimin; yang akan rela jika jihad terbelah atau mujahidin terpecah-belah, atau mempertentangkan antara dakwah tauhid dengan jihad demi menegakkan tauhid, atau memutuskan sebagian dakwah tauhid dari jihad, atau membagi-bagi para pembela tauhid dan pengikut dakwah tauhid menjadi pengikut fulan A dan pengikut fulan B.
Justru orang-orang yang rela atas hal itu adalah orang yang paling bodoh dan paling berbahaya terhadap dakwah dan jihad. Mereka memutuskan perkara yang Allah telah memerintahkan untuk disambung, dan mereka senang apabila para pejuang agama ini tetap berpecah-belah dan tercerai berai dalam banyak golongan, tanpa disatukan oleh ikatan tauhid yang menyatukan mereka!
Orang yang tidak cukup dengan dua hal ini
Semoga Allah tidak melindunginya dari buruknya musibah-musibah zaman
Orang yang tidak cukup dengan dua hal ini
Semoga Allah tidak menyembuhkan sakit hati dan badannya
Orang yang tidak cukup dengan dua hal ini
Semoga Allah Rabbul ‘Arsy melemparnya dengan kekurangan dan keterhalangan Orang yang tidak cukup dengan dua hal ini.
Mereka itu tidak mungkin menjadi pembela-pembela jihad dan tidak pula pecinta-pecinta jihad yang tulus. Justru mereka seperti seorang wanita yang mengklaim secara dusta dan zalim, sementara ia sendiri menelantarkan anaknya, lalu ia rela anak yang tiada hubungan darah dengannya dibelah. Ia mengklaim anak tersebut adalah anaknya. Seandainya klaimnya benar, tentulah ia akan merasa sayang kepada anak tersebut, tidak rela jika anak itu dibelah atau dikoyak-koyak atau dicerai-beraikan tulang belulangnya.
Sudah pasti bisa diterima jika [klaim] wanita itu disangkal dari anak tersebut, dicela karena ia bukan ibunya yang sebenarnya, ia tidak peduli dengan nasib anak tersebut, anak tersebut tidak memiliki kaitan apapun dengannya atau ia tidak memiliki kaitan apapun dengan anak tersebut —seperti dilakukan oleh ibu kandung sebenarnya dari anak tersebut, yang sangat mengasihi dan menyayanginya—. [Ia sudah pasti layak ditolak klaimnya dan dicela dengan celaan-celaan tersebut] karena ia rela anak tersebut dibelah, dikoyak-koyak dan dicerai-beraikan anggota badannya.
Tidak diragukan lagi bahwa para pembaca tulisanku ini sudah mengerti perumpamaan yang saya isyaratkan dan saya jadikan landasan di sini, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Al-Bukhari, pada Kitab Al-Faraidh, Bab Jika Seorang Wanita Mengklaim Seorang Anak. Hadits itu mengisahkan Nabi Sulaiman ‘alaihi salam dan dua orang wanita yang bersengketa tentang seorang anak, setelah seekor srigala membawa lari seorang anak dari salah satu wanita tersebut. Saya menulis tulisan ini setelah sampai berita kepadaku bahwa sebagian orang nekat mengenakan pakaian peran wanita yang mengklaim secara dusta tersebut dan memerankan peran wanita yang meratap secara dusta.
Seandainya mereka jujur dalam meratapi kondisi umat Islam, persekongkolan musuh-musuh terhadap umat Islam dan agama Islam, memilukan mereka kondisi jihad melawan musuh-musuh Islam dan pengeroyokan musuh-musuh Islam terhadap jihad; niscaya mereka tidak akan rela melakukan peran seperti ini. Tentulah mereka akan termasuk golongan yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya serta mereka takut kepada hisab yang buruk.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 21)
Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala dan mengatakan perkataan yang lurus. Maka kami katakan sebagai penjelasan sikap kami terhadap kelompok-kelompok mujahidin di Suriah, sekaligus sebagai nasehat kepada orang-orang yang berkepentingan dengan urusan jihad: Kami memberikan loyalitas dan menolong setiap orang yang mengangkat panji tauhid dari kalangan saudara-saudara kami mujahidin di Suriah, juga setiap orang yang berjihad demi menolong dan memenangkan panji tauhid, tanpa membeda-bedakan antara satu kelompok jihad dengan kelompok jihad lainnya; dan di barisan pelopor mereka adalah saudara-saudara kami dalam kelompok Jabhah Nushrah dan saudara-saudara kami dalam kelompok Daulah Irak dan Syam.
Kami tidak rela jika kelompok-kelompok mujahidin dipecah-belah. Kondisi itu sungguh menyedihkan kami dan kami mengajak mereka untuk bersatu di bawah panji tauhid dan di bawah kepemimpinan seorang Amir. Jika hal itu sulit dilakukan, maka minimal hendaknya mereka bersatu di bawah naungan Majlis Syura yang mengumpulkan mereka dan menyatukan suara mereka. Kami tidak rela kurang dari hal itu. Bahkan kami berharap ikut disatukan bersama mereka setiap kelompok jihad lainnya yang sepakat mereka dalam perkara ushul [akidah dan manhaj].
Selain itu harus ditonjolkan dan didahulukan [dijadikan pimpinan] saudara-saudara kita dari penduduk Suriah asli di bagian depan dan sendi-sendi [bagian-bagian Majlis Syura] yang paling penting. Hal itu karena kita dan setiap orang yang berakal sehat mengetahui bahwa peperangan ganas yang diterjuni oleh mujahidin pada hari ini di Suriah tidak mungkin akan dimenangkan dengan tercerai-berainya mujahidin atau dimenangkan oleh satu kelompok jihad sendirian.
Bagaimana mujahidin rela untuk tetap bercerai-berai, sementara kekuatan-kekuatan kekafiran dengan beragam jenisnya, yaitu kelompok Bathiniyah [rezim Nushairiyah Suriah, pent], kelompok salibis dan rezim-rezim Arab yang murtad, mereka semua melakukan konspirasi terhadap mujahidin. Kekuatan kafir yang beragam jenis tersebut telah bersatu padu dan bersekongkol menghadapi panji mereka dan jihad mereka.
Menghadapi persatuan dan persekongkolan kekuatan musuh ini, tidak ada yang layak dilakukan mujahidin selain menyatukan barisan, mencairkan perselisihan, mencampakkan kepentingan-kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan [maslahat] jihad yang menyeluruh daripada sebagian kepentingan [maslahat] yang lebih lemah atau parsial, yang sebenarnya bisa direalisakan secara cepat setelah mujahidin meraih kemenangan dan kekuasaan. Persatuan akan membuat marah orang-orang kafir, melegakan hati orang-orang yang bertauhid dan menguatkan barisan mujahidin.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaf [61]: 4)
Pertama: Kami mengingatkan mujahidin akan pentingnya mengindahkan siyasah syar’iyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, khususnya di awal-awal pendirian daulah dan sebelum kaum muslimin memiliki kekuatan [dominan] di Madinah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mengindahkan aliansi-aliansi yang ada pada saat itu, beliau mengikat perjanjian damai bahkan dengan orang-orang Yahudi, dan beliau tidak membatalkan perjanjian tersebut sampai daulah Islam kuat dan orang-orang Yahudi sendiri yang membatalkannya.
Beliau juga tidak memulai benturan dengan orang-orang munafik, meskipun mereka menyakiti beliau. Beliau membiarkan mereka dan menunda mereka sampai saat kaum muslimin kuat. Beliau memaafkan gangguan mereka dan tidak mempedulikan gangguan orang-orang lainnya, sehingga masyarakat tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh kawan-kawannya sendiri. Beliau juga mempertimbangkan situasi masih barunya orang-orang masuk Islam.
Kedua: Kami mengingatkan mujahidin bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengindahkan sunnah-sunnah kauniyah [sunatullah, hukum alam] dan sarana-sarana, mengkaji pertimbang-pertimbangan kekuatan dan kelemahan, dan menimbang sedikit – lemahnya kekuatan dan banyak-kuatnya kekuatan. Padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa salam adalah pemimpin orang-orang yang bertawakal, bersabar dan yakin.
Ketiga: [Kami juga mengingatkan mujahidin bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam] mengindahkan belum lamanya masyarakat meninggalkan zaman jahiliyah dan belum kokohnya keislaman dalam hati banyak masyarakat. Ini termasuk hal-hal yang dipertimbangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebab, meskipun beliau meleburkan mayoritas masyarakat dalam kelompok Muhajirin dan Anshar, namun beliau tidak menabrak atau tidak melupakan perkara yang telah berakar kokoh dalam hati masyarakat, yaitu sikap masyarakat yang mendahulukan tokoh-tokoh mereka dan mengikuti pemimpin-pemimpin mereka serta bermusyarawah dengan orang-orang bijak mereka saat terjadi peristiwa-peristiwa penting.
Sirah nabawiyah menjadi bukti atas hal itu dan penuh dengan peristiwa itu. Maka barangsiapa ingin membakar tahapan-tahapan itu, tergesa-gesa meniadakan pertimbangan-pertimbangan seperti ini dan melompatinya, niscaya ia telah tergesa-gesa untuk meraih suatu perkara sebelum waktunya tiba dan ia tidak mengindahkan siyasah nabawiyah. Ia hanya akan memetik tercerai-berainya lingkaran konflik dan membuka banyak front dalam waktu yang bersamaan. Dan hal itu bukanlah siyasah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Keempat: Oleh karena itu, kami senang untuk jihad di Suriah, jika qiyadah [kepemimpinan]nya dan orang-orang yang ditonjolkan di bagian mukanya adalah saudara-saudara kita orang-orang yang bertauhid dari penduduk Suriah sendiri. Kami memandang hal itu merupakan sebuah maslahat yang kami telah mengarahkan saudara-saudara kita mujahidin di berbagai penjuru medan jihad. Kami tidak senang jika pertimbangan ini diabaikan, lantaran klaim bahwa hal ini berarti mengaitkan jihad dengan pembagian-pembagian jahiliyah perjanjian Sykes – Picot.
Kita tidak mengaitkan jihad dengan perjanjian jahiliyah seperti itu, namun kita mengaitkan jihad dengan kitab Allah [Al-Qur’an] yang mengindahkan hal itu dalam pemilihan para nabi. Maka mengindahkan hal itu untuk pemilihan selain nabi adalah lebih layak lagi. Demikian pula kita mengaitkannya dengan sirah nabawiyah yang mengindahkan pertimbangan ini dan tidak mengabaikannya dalam banyak peristiwa.
Kelima: Saya mengingatkan sangat pentingnya menyadari perbedaan yang sangat jelas antara imarah [kepemimpinan jama’ah] perang dan jihad atau imarah-imarah sebelum kemenangan [tegaknya daulah Islam] dengan Imarah mukminin dan daulah yang telah meraih kemenangan, terlebih lagi khilafah Islamiyah. Berinteraksi dengan substansi, ukuran yang sebenarnya, dan penamaan yang sesuai syariat dan realita akan menempatkan semua perkara sesuai kadar ukurannya yang benar, dan tidak akan menimbulkan dampak buruk yang tidak disukai atau membebaninya dengan beban yang tidak sanggup ia pikul.
Keenam: Saya mengajak saudara-saudara kami kaum muslimin secara umum dan para pembela agama ini secara khusus untuk menolong panji tauhid di Suriah. Hendaknya mereka jeli memandang makar-makar para musuh Islam dan para penguasa thaghut yang membuat makar terhadap jihad dan mencitrakan secara buruk jihad dan mujahidin. Waspadalah dari membenarkan kebohongan para penguasa yang kafir atau membantu mereka dalam melakukan kebatilan mereka.
Ketujuh: Secara khusus, saya juga mengajak saudara-saudaraku para penuntut ilmu [ulama, ustadz dan santri, pent] untuk menolong panji yang diberkahi ini, membelanya, dan membantu untuk menyatukan kelompok-kelompoknya. Bukannya [membantu dalam] mencerai-beraikannya dengan sifat fanatisme atau memihak sebagian kelompok tersebut, sebab orang yang memihak tidak akan bisa membedakan. Hendaknya mereka mengetahui bahwa saudara-saudara mereka mujahidin telah meminta mereka untuk berangkat berjihad dan mujahidin meminta pertolongan mereka.
Mujahidin telah berulang-kali memintaku untuk mengingatkan kalian akan hal ini. Sebab mujahidin sangat membutuhkan pertolongan para penuntut ilmu, dengan jiwa mereka, senjata mereka, lisan mereka, dan leher-leher mereka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah!” (QS. Ash-Shaf [61]: 14)
Saya menulis tulisan ini sebagai pertolongan kepada panji tauhid dan nasehat bagi jihad dan mujahidin. Juga untuk memenuhi keinginan dan permintaan mujahidin yang meminta nasehat dariku. Seandainya mereka tidak meminta nasehat dariku sekalipun, sesungguhnya menasehati mereka merupakan sebuah kewajiban bagiku. Apalagi mereka telah meminta kepadaku dan menyampaikan kepadaku bahwa mereka mengindahkan nasehat-nasehatku dan tidak mengabaikan arahan-arahanku, bahkan mereka mengajarkan tulisan-tulisanku kepada pasukan mereka.
Saya memohon kepada Allah semoga menerima amal kami dan amal mereka, menyatukan barisan mujahidin, menjayakan panji tauhid dan menjungkirkan panji-panji kesyirikan, memenangkan kita atas musuh kita, menyerahkan bahu-bahu mereka kepada kita dan menguasakan leher-leher mereka kepada kita.
Ditulis oleh pelayan mujahidin
Abu Muhammad Al-Maqdisi
1 Muharram 1435 H
(muhibalmajdi/arrahmah.com)