(Arrahmah.com) – Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya serta umatnya yang komitmen menjalankan syariatnya. Amma ba’du.
Berikut ini adalah bahasan singkat tentang tata cara pengangkatan khalifah dalam syariat Islam dan kehidupan generasi sahabat. Sebelumnya bahasan ini pernah dimuat oleh arrahmah.com dalam kajian “Pokok-pokok Ketentuan Syariat dalam Bidang Politik dan Pemerintahan“ seri 11 dan seri 12. Untuk memudahkan para pembaca memahami masalah ini, dalam kesempatan kali ini kedua seri tersebut disatukan. Semoga bermanfaat.
Bahasan 1
Hukum asal dari kepemimpinan [imamah atau khilafah] adalah ba’ait atas dasar kerelaan bukan karena paksaan, haram berselisih dan berebutan dalam masalah kepemimpinan [menjadi imam atau khalifah], kepemimpinan dan pemerintahan itu berdasar syura, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak menunjuk seorang pun sebagai khalifah sepeninggal beliau dan beliau menyerahkan persoalan pemilihan khalifah sepeninggal beliau kepada umat Islam
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Ad-dien [agama] adalah ketaatan dan ketundukan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk umat manusia, [disebabkan] kalian memerintahkan perbuatan yang ma’ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 110)
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan perkara diantara mereka diselesaikan melalui musyawarah.” (QS. Asy-Syura [42]: 38)
Hadits no. 1:
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengajak kami maka kami pun membai’at beliau. Diantara isi bai’at yang beliau ambil dari kami adalah kami membai’at untuk senantiasa mendengar dan menaati baik kami dalam keadaan semangat maupun terpaksa, kami dalam keadaan sulit maupun lapang, bahkan atas para pemimpin yang mementingkan diri mereka atas diri kami [rakyat] serta kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang memegangnya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat pada diri pemimpin tersebut kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti yang nyata [dalil] atasnya dari sisi Allah.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
Hadits no. 2:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata:
قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَسْتَخْلِفْ أَحَدًا وَلَوْ كَانَ مُسْتَخْلِفًا أَحَدًا لَاسْتَخْلَفَ أَبَا بَكْرٍ أَوْ عُمَرَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam wafat dan beliau tidak mengangkat seorang pun sebagai khalifah sepeninggal beliau. Seandainya beliau mengangkat seseorang sebagai khalifah sepeninggal beliau pastilah beliau akan mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq atau Umar bin Khathab.” (HR. Ahmad no. 24346, Al-Khallal dalam As-Sunnah no. 330, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no. 7053, dan Al-Hakim, 3/78. Imam Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain dari Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Saya mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha telah ditanya:
مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَخْلِفًا لَوْ اسْتَخْلَفَهُ قَالَتْ أَبُو بَكْرٍ فَقِيلَ لَهَا ثُمَّ مَنْ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ عُمَرُ ثُمَّ قِيلَ لَهَا مَنْ بَعْدَ عُمَرَ قَالَتْ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ ثُمَّ انْتَهَتْ إِلَى هَذَا
“Siapa kiranya orang yang akan diangkat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sebagai khalifah sepeninggal beliau andai saja beliau mengangkat seorang pun sebagai khalifah sepeninggal beliau?” Aisyah menjawab: “Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Aisyah ditanya lagi: “Lalu siapa sepeninggal Abu Bakar?” Aisyah menjawab: “Umar bin Khathab.” Aisyah ditanya lagi: “Lalu siapa sepeninggal Umar?” Aisyah menjawab: “Abu Ubaidah bin Jarrah.” Aisyah berhenti pada nama Abu Ubaidah saja. (HR. Muslim no. 2385, Ahmad dalam Fadhail Ash-Shahabah no. 204, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no, 8202, Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqat Al-Kubra, 3/181 dan Ad-Dulabi dalam Al-Kuna, 2/39)
Dalam hadits lain dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَحْفَظُ دِينَهُوَإِنِّي لَئِنْ لَا أَسْتَخْلِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَسْتَخْلِفْ
“Sesungguhnya Allah akan menjaga agama-Nya. Jika aku tidak mengangkat seseorang sebagai khalifah sepeninggalku, maka sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam juga tidak mengangkat seorang pun sebagai khalifah sepeninggal beliau.” (HR. Muslim no. 1823, Abu Daud no. 2939, Tirmidzi no. 2225 dan Ahmad no. 332)
Bahasan 2
Peristiwa Saqifah [balai pertemuan] Bani Sa’idah, ijma’ generasi shahabat bahwa imarah [kepemimpinan] adalah berdasar hasil syura, batalnya bai’at orang yang merampas hak umat Islam dalam menyelenggarakan syura dan memilih amir, pencalonan beberapa orang yang memiliki kelayakan untuk menjadi amir [khalifah] dan persaingan dalam hal itu, penyerahan hak kepada umat Islam untuk memilih salah satu calon diantara para calon khalifah, dan hak umat untuk mengajukan syarat kepada amir [khalifah]
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Demikianlah Kami telah menjadikan kalian [generasi sahabat] sebagai sebaik-baik umat manusia agar kalian menjadi saksi atas umat manusia [pada hari kiamat kelak].” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Akan tetapi Allah menjadikan kalian [generasi sahabat] mencintai keimanan dan Allah menampakkan keindahan iman dalam hati kalian, dan Allah menjadikan kalian membenci kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Mereka itulah orang-orang yang lurus [mendapat petunjuk].” (QS. Al-Hujurat [49]: 7)
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan mereka memecahkan perkara diantara mereka dengan musyawarah…”(QS. Asy-Syura [42]: 38)
Hadits no. 3:
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كُنْتُ أُقْرِئُ رِجَالًا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ مِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فَبَيْنَمَا أَنَا فِي مَنْزِلِهِ بِمِنًى وَهُوَ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا إِذْ رَجَعَ إِلَيَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ لَوْ رَأَيْتَ رَجُلًا أَتَى أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ الْيَوْمَ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ هَلْ لَكَ فِي فُلَانٍ يَقُولُ لَوْ قَدْ مَاتَ عُمَرُ لَقَدْ بَايَعْتُ فُلَانًا فَوَاللَّهِ مَا كَانَتْ بَيْعَةُ أَبِي بَكْرٍ إِلَّا فَلْتَةً فَتَمَّتْ فَغَضِبَ عُمَرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَقَائِمٌ الْعَشِيَّةَ فِي النَّاسِ فَمُحَذِّرُهُمْ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُرِيدُونَ أَنْ يَغْصِبُوهُمْ أُمُورَهُمْ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَفْعَلْ فَإِنَّ الْمَوْسِمَ يَجْمَعُ رَعَاعَ النَّاسِ وَغَوْغَاءَهُمْ فَإِنَّهُمْ هُمْ الَّذِينَ يَغْلِبُونَ عَلَى قُرْبِكَ حِينَ تَقُومُ فِي النَّاسِ وَأَنَا أَخْشَى أَنْ تَقُومَ فَتَقُولَ مَقَالَةً يُطَيِّرُهَا عَنْكَ كُلُّ مُطَيِّرٍ وَأَنْ لَا يَعُوهَا وَأَنْ لَا يَضَعُوهَا عَلَى مَوَاضِعِهَا فَأَمْهِلْ حَتَّى تَقْدَمَ الْمَدِينَةَ فَإِنَّهَا دَارُ الْهِجْرَةِ وَالسُّنَّةِ فَتَخْلُصَ بِأَهْلِ الْفِقْهِ وَأَشْرَافِ النَّاسِ فَتَقُولَ مَا قُلْتَ مُتَمَكِّنًا فَيَعِي أَهْلُ الْعِلْمِ مَقَالَتَكَ وَيَضَعُونَهَا عَلَى مَوَاضِعِهَا فَقَالَ عُمَرُ أَمَا وَاللَّهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَأَقُومَنَّ بِذَلِكَ أَوَّلَ مَقَامٍ أَقُومُهُ بِالْمَدِينَةِ
“Saya mengajarkan Al-Qur’an kepada beberapa orang sahabat Muhajirin, diantaranya Abdurrahman bin Auf. Ketika saya sedang berada di rumah [tenda] Abdurrahman bin Auf di Mina, dimana ia bersama Umar bin Khathab dalam haji terakhir yang dilakukannya, tiba-tiba Abdurrahman bin Auf kembali kepadaku dan berkata: “Andai saja engkau melihat seseorang pada hari ini telah mendatangi Amirul mukminin dan berkata ‘Wahai Amirul mukminin, bagaimana sikap Anda terhadap fulan, yang mengatakan: “Jika Umar bin Khathab telah meninggal, maka aku akan membai’at si fulan. Demi Allah, dahulu pembai’atan Abu Bakar juga terjadi secara spontan dalam waktu sesaat saja.”
Maka Umar bin Khathab marah mendengar ucapan orang itu, lalu Umar mengatakan: “Sesungguhnya saya Insya Allah akan berdiri di hadapan orang-orang [jama’ah haji] sore hari ini. Aku akan memperingatkan mereka untuk mewaspadai orang-orang yang hendak merampas urusan mereka [hak mereka memilih Amir].”
Maka Abdurrahman bin Auf berkata: “Wahai Amirul mukminin, janganlah Anda melakukan hal itu, karena sesungguhnya musim haji itu mengumpulkan orang-orang yang gembel dan orang-orang tukang gaduh, mereka akan mengalahkan kedekatan Anda saat Anda berdiri di hadapan orang-orang. Saya khawatir Anda berdiri di hadapan orang-orang lalu Anda mengatakan perkataan yang disebar luaskan kemana-mana oleh setiap pembawa berita, padahal mereka tidak memahami maksud perkataan Anda dan mereka meletakkan tidak pada tempat yang selayaknya. Tundalah sampai Anda tiba di Madinah, karena Madinah adalah negeri hijrah dan negeri sunnah. Anda bisa menjumpai para ulama dan tokoh-tokoh terhormat masyarakat, sehingga Anda leluasa menyampaikan maksud perkataan Anda, maka para ulama itu akan memahami maksud perkataan Anda dan mereka akan meletakkannya pada tempat yang selayaknya.”
Umar bin Khathab menjawab: “Jika begitu, demi Allah, insya Allah saya akan menyampaikan perkataan saya begitu saya tiba di Madinah.”
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فِي عُقْبِ ذِي الْحَجَّةِ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ عَجَّلْتُ الرَّوَاحَ حِينَ زَاغَتْ الشَّمْسُ حَتَّى أَجِدَ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ جَالِسًا إِلَى رُكْنِ الْمِنْبَرِ فَجَلَسْتُ حَوْلَهُ تَمَسُّ رُكْبَتِي رُكْبَتَهُ فَلَمْ أَنْشَبْ أَنْ خَرَجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَلَمَّا رَأَيْتُهُ مُقْبِلًا قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ لَيَقُولَنَّ الْعَشِيَّةَ مَقَالَةً لَمْ يَقُلْهَا مُنْذُ اسْتُخْلِفَ فَأَنْكَرَ عَلَيَّ وَقَالَ مَا عَسَيْتَ أَنْ يَقُولَ مَا لَمْ يَقُلْ قَبْلَهُ فَجَلَسَ عُمَرُ عَلَى الْمِنْبَرِ فَلَمَّا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُونَ قَامَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي قَائِلٌ لَكُمْ مَقَالَةً قَدْ قُدِّرَ لِي أَنْ أَقُولَهَا لَا أَدْرِي لَعَلَّهَا بَيْنَ يَدَيْ أَجَلِي فَمَنْ عَقَلَهَا وَوَعَاهَا فَلْيُحَدِّثْ بِهَا حَيْثُ انْتَهَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ وَمَنْ خَشِيَ أَنْ لَا يَعْقِلَهَا فَلَا أُحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَكْذِبَ عَلَيَّ
Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya: “Maka kami tiba di Madinah setelah bulan Dzulhijah. Ketika hari Jum’at tiba, saya segera berangkat ke masjid saat matahari condong ke barat sampai saya mendapati Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail duduk di bawah tiang mimbar. Saya pun duduk di sekitarnya, dimana lututku menyentuh lututnya. Saya tidak bangkit hingga Umar bin Khathab muncul. Ketika saya melihat Umar tiba, saya berkata kepada Said bin Zaid bin Amru bin Nufail: “Umar benar-benar akan mengatakan pada sore ini perkataan yang belum pernah ia katakan sejak ia diangkat sebagai khalifah.” Said bin Zaid mengingkari ucapan saya dan ia berkata: “Kenapa engkau mengatakan sesuatu hal yang belum Umar katakan?”
Umar duduk di atas mimbar. Ketika para muadzin telah diam, maka Umar berdiri menyampaikan khutbah. Umar memuji Allah Ta’ala, kemudian Umar berkata, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku akan mengatakan bagi kalian perkataan yang ditakdirkan aku akan mengatakannya. Aku tidak tahu, barangkali ini perkataan yang aku ucapkan sebelum kematianku tiba. Maka barangsiapa paham dan mengerti maksud perkataanku, hendaklah ia menceritakannya ke mana saja tempat yang bisa ia capai dengan untanya. Adapun barangsiapa tidak memahami maksud perkataanku, maka aku tidak menghalalkan bagi dirinya untuk berdusta atas namaku.
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ وَاللَّهِ مَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أُحْصِنَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الِاعْتِرَافُثُمَّ إِنَّا كُنَّا نَقْرَأُ فِيمَا نَقْرَأُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ أَنْ لَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ أَوْ إِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ أَلَا ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُطْرُونِي كَمَا أُطْرِيَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam dengan kebenaran dan menurunkan kitab suci Al-Qur’an kepadanya. Maka diantara wahyu yang Allah turunkan (dalam Al-Qur’an) adalah ayat tentang hukum rajam. Maka kami telah membaca ayat tersebut, menghafalnya dan memahaminya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah melaksanakan hukum rajam dan sepeninggal beliau kami juga melaksanakan hukum rajam.
Aku khawatir jika telah berlalu masa waktu yang panjang, akan ada orang yang mengatakan: ‘Demi Allah, kami tidak mendapatkan ayat rajam dalam kitab Allah.” Akibatnya mereka tersesat karena meninggalkan kewajiban yang telah Allah Ta’ala turunkan. Rajam dalam kitab Allah adalah hukuman yang wajib atas orang laki-laki dan perempuan yang berzina jika ia telah secara sah menikah dan telah terdapat bukti nyata atasnya, atau ia hamil, atau ia mengakui perbuatannya.
Kemudian sesungguhnya diantara ayat Al-Qur’an yang telah kami baca (pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam) adalah ayat ‘Janganlah kalian membenci ayah kalian, karena itu adalah tindakan kekufuran’. Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana Isa bin Maryam dipuji secara berlebih-lebihan [oleh orang-orang Nasrani sampai dipertuhankan], namun katakanlah Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya.”
ثُمَّ إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ قَائِلًا مِنْكُمْ يَقُولُ وَاللَّهِ لَوْ قَدْ مَاتَ عُمَرُ بَايَعْتُ فُلَانًا فَلَا يَغْتَرَّنَّ امْرُؤٌ أَنْ يَقُولَ إِنَّمَا كَانَتْ بَيْعَةُ أَبِي بَكْرٍ فَلْتَةً وَتَمَّتْ أَلَا وَإِنَّهَا قَدْ كَانَتْ كَذَلِكَ وَلَكِنَّ اللَّهَ وَقَى شَرَّهَا وَلَيْسَ مِنْكُمْ مَنْ تُقْطَعُ الْأَعْنَاقُ إِلَيْهِ مِثْلُ أَبِي بَكْرٍ مَنْ بَايَعَ رَجُلًا عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُبَايَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي بَايَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
Lalu telah sampai berita kepadaku bahwa seseorang di antara kalian mengatakan: “Jika Umar telah mati, maka aku akan membai’at si fulan.” Janganlah sekali-kali seseorang terpedaya dan mengatakan: “Dahulu pembai’atan Abu Bakar terjadi secara spontan dan cepat.”
Ya, memang seperti itu, namun Allah Ta’ala telah melindungi dari keburukannya. Padahal tiada seorang pun diantara kalian yang akan mampu mencapai derajat Abu Bakar. Maka barangsiapa membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, niscaya orang tersebut tidak boleh dibai’at dan begitu juga orang yang membai’at dirinya, karena ia telah mempertaruhkan keduanya untuk dibunuh.
وَإِنَّهُ قَدْ كَانَ مِنْ خَبَرِنَا حِينَ تَوَفَّى اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْأَنْصَارَ خَالَفُونَا وَاجْتَمَعُوا بِأَسْرِهِمْ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ وَخَالَفَ عَنَّا عَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ وَمَنْ مَعَهُمَا وَاجْتَمَعَ الْمُهَاجِرُونَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقُلْتُ لِأَبِي بَكْرٍ يَا أَبَا بَكْرٍ انْطَلِقْ بِنَا إِلَى إِخْوَانِنَا هَؤُلَاءِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَانْطَلَقْنَا نُرِيدُهُمْ فَلَمَّا دَنَوْنَا مِنْهُمْ لَقِيَنَا مِنْهُمْ رَجُلَانِ صَالِحَانِ فَذَكَرَا مَا تَمَالَأَ عَلَيْهِ الْقَوْمُ فَقَالَا أَيْنَ تُرِيدُونَ يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ فَقُلْنَا نُرِيدُ إِخْوَانَنَا هَؤُلَاءِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَا لَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَقْرَبُوهُمْ اقْضُوا أَمْرَكُمْ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَنَأْتِيَنَّهُمْ
Sungguh diantara berita kondisi kami ketika Allah Ta’ala mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah kaum Anshar menyelisihi kami. Semua mereka berkumpul di Saqifah [balai pertemuan] Bani Sa’idah. Adapun Ali, Zubair dan orang yang bersama keduanya juga tidak turut menyertai kami [karena sibuk mengurus jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, red]. Maka orang-orang Muhajirin berkumpul pada Abu Bakar. Aku katakan kepada Abu Bakar: “Wahai Abu Bakar, mari kita pergi ke saudara-saudara kita kaum Anshar!”
Maka kami berangkat untuk menemui mereka. Tatkala kami telah dekat ke tempat mereka, kami bertemu dengan dua orang yang shalih dari kalangan mereka [dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan keduanya adalah ‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’an bin ‘Adi, red] maka keduanya menceritakan kepada kami pertemuan kesepakatan orang-orang Anshar. Kedua orang itu bertanya, “Kemana kalian hendak pergi, wahai orang-orang Muhajirin?” Kami menjawab: “Kami hendak menemui saudara-saudara kami kaum Anshar.” Keduanya mengatakan: “Tidak masalah jika kalian tidak mendatangi mereka. Selesaikan saja urusan kalian!” Maka aku mengatakan: “Demi Allah, kami tetap akan mendatangi mereka.”
فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَاهُمْ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَإِذَا رَجُلٌ مُزَمَّلٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالُوا هَذَا سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ فَقُلْتُ مَا لَهُ قَالُوا يُوعَكُ فَلَمَّا جَلَسْنَا قَلِيلًا تَشَهَّدَ خَطِيبُهُمْ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَنَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ وَكَتِيبَةُ الْإِسْلَامِ وَأَنْتُمْ مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ رَهْطٌ وَقَدْ دَفَّتْ دَافَّةٌ مِنْ قَوْمِكُمْ فَإِذَا هُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يَخْتَزِلُونَا مِنْ أَصْلِنَا وَأَنْ يَحْضُنُونَا مِنْ الْأَمْرِ فَلَمَّا سَكَتَ أَرَدْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ وَكُنْتُ قَدْ زَوَّرْتُ مَقَالَةً أَعْجَبَتْنِي أُرِيدُ أَنْ أُقَدِّمَهَا بَيْنَ يَدَيْ أَبِي بَكْرٍ وَكُنْتُ أُدَارِي مِنْهُ بَعْضَ الْحَدِّ فَلَمَّا أَرَدْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رِسْلِكَ فَكَرِهْتُ أَنْ أُغْضِبَهُ فَتَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَكَانَ هُوَ أَحْلَمَ مِنِّي وَأَوْقَرَوَاللَّهِ مَا تَرَكَ مِنْ كَلِمَةٍ أَعْجَبَتْنِي فِي تَزْوِيرِي إِلَّا قَالَ فِي بَدِيهَتِهِ مِثْلَهَا أَوْ أَفْضَلَ مِنْهَا حَتَّى سَكَتَ
فَقَالَ مَا ذَكَرْتُمْ فِيكُمْ مِنْ خَيْرٍ فَأَنْتُمْ لَهُ أَهْلٌ وَلَنْ يُعْرَفَ هَذَا الْأَمْرُ إِلَّا لِهَذَا الْحَيِّ مِنْ قُرَيْشٍ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ نَسَبًا وَدَارًا وَقَدْ رَضِيتُ لَكُمْ أَحَدَ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ فَبَايِعُوا أَيَّهُمَا شِئْتُمْ فَأَخَذَ بِيَدِي وَبِيَدِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ وَهُوَ جَالِسٌ بَيْنَنَا فَلَمْ أَكْرَهْ مِمَّا قَالَ غَيْرَهَا كَانَ وَاللَّهِ أَنْ أُقَدَّمَ فَتُضْرَبَ عُنُقِي لَا يُقَرِّبُنِي ذَلِكَ مِنْ إِثْمٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَأَمَّرَ عَلَى قَوْمٍ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ اللَّهُمَّ إِلَّا أَنْ تُسَوِّلَ إِلَيَّ نَفْسِي عِنْدَ الْمَوْتِ شَيْئًا لَا أَجِدُهُ الْآنَ
Maka kami berangkat hingga kami mendatangi mereka pada Saqifah Bani Sa’idah. Ternyata ada seseorang yang diselimuti di hadapan mereka. Saya bertanya, “Siapa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah Sa’ad bin Ubadah.” Saya bertanya: “Ada apa dengan dirinya?” Mereka menjawab, “Ia sedang sakit demam.”
Setelah kami duduk sesaat, salah seorang diantara mereka berkhutbah [dalam riwayat disebut khatib kaum Anshar adalah Tsabit bin Qais bin Syamas, red]. Khatib itu mengucapkan syahadat dan memuji Allah, lalu ia berkata: “Amma ba’du. Kami adalah Anshar [para penolong agama] Allah dan Katibah [pasukan besar] Islam. Adapun kalian wahai orang-orang Muhajirin adalah satu kelompok kecil saja. Sungguh segelintir orang dari kalian [Muhajirin] telah bergerak untuk memonopoli kekuasaan dan menyingkirkan kami dari kekuasaan.”
Setelah khatib itu berhenti bicara, saya ingin berbicara. Saya telah mempersiapkan sebuah pembicaraan yang mengagumkanku dan saya ingin mengajukannya di hadapan Abu Bakar. Saya agak menghindar dari tempat Abu Bakar berada, maka tatkala saya hendak berbicara, tiba-tiba Abu Bakar berkata kepada saya, “Sabarlah dan tahanlah dirimu!” Maka saya tidak suka jika membuat Abu Bakar marah.
Abu Bakar pun berbicara dan ia adalah orang yang lebih santun dan lebih tenang daripada saya. Demi Allah, tidaklah saya menyiapkan sebuah perkataan pun yang hendak saya sampaikan, melainkan Abu Bakar telah mengucapkan perkataan yang semisalnya atau bahkan perkataan yang lebih baik darinya sampai Abu Bakar selesai bicara. Abu Bakar berkata: “Kebaikan yang telah kalian sebutkan tentang diri kalian, kalian memang menyandangnya, namun sekali-kali urusan pemerintahan [khilafah] ini tidak dikenal kecuali milik golongan [Muhajirin] dari Quraisy ini. Mereka adalah suku bangsa Arab yang paling baik nasabnya dan negerinya. Saya telah meridhai bagi kalian salah satu dari dua orang ini, maka bai’atlah oleh kalian mana diantara keduanya yang kalian kehendaki.”
Abu Bakar lalu memegang tangan saya [Umar bin Khathab] dan tangan Abu Ubaidah bin Jarrah. Abu Bakar duduk diantara kami [Umar dan Abu Ubaidah] berdua. Dari khutbah Abu Bakar, tiada yang lebih saya tidak sukai daripada kalimat terakhirnya tersebut. Demi Allah, jika saya dihadapkan lalu dipenggal kepala saya meskipun saya tidak melakukan dosa apapun adalah lebih saya sukai daripada saya memimpin sebuah kaum yang di dalam kaum tersebut ada Abu Bakar. Kecuali jika sesuatu keinginan dibisikkan kepada jiwaku saat kematian yang tidak saya dapati saat ini.
فَقَالَ قَائِلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا جُذَيْلُهَا الْمُحَكَّكُ وَعُذَيْقُهَا الْمُرَجَّبُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَكَثُرَ اللَّغَطُ وَارْتَفَعَتْ الْأَصْوَاتُ حَتَّى فَرِقْتُ مِنْ الِاخْتِلَافِ فَقُلْتُ ابْسُطْ يَدَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعْتُهُ وَبَايَعَهُ الْمُهَاجِرُونَ ثُمَّ بَايَعَتْهُ الْأَنْصَارُ وَنَزَوْنَا عَلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ قَتَلْتُمْ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فَقُلْتُ قَتَلَ اللَّهُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ قَالَ عُمَرُ وَإِنَّا وَاللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيمَا حَضَرْنَا مِنْ أَمْرٍ أَقْوَى مِنْ مُبَايَعَةِ أَبِي بَكْرٍ خَشِينَا إِنْ فَارَقْنَا الْقَوْمَ وَلَمْ تَكُنْ بَيْعَةٌ أَنْ يُبَايِعُوا رَجُلًا مِنْهُمْ بَعْدَنَا فَإِمَّا بَايَعْنَاهُمْ عَلَى مَا لَا نَرْضَى وَإِمَّا نُخَالِفُهُمْ فَيَكُونُ فَسَادٌ فَمَنْ بَايَعَ رَجُلًا عَلَى غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُتَابَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي بَايَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
Lalu salah seorang dari kaum Anshar [dalam riwayat disebutkan ia adalah Habbab bin Mundzir] berkata, “Saya adalah seorang yang dimintai pendapatnya dan seorang yang mendukung kaumnya. Dari kami ada amir [pemimpin] sendiri dan dari kalian juga ada amir sendiri, wahai orang-orang Quraisy.”
Maka terjadilah kegaduhan dan suara-suara yang meninggi. Saya khawatir terjadi perselisihkan. Maka saya berkata: “Ulurkanlah tanganmu, wahai Abu Bakar!” Maka Abu Bakar pun mengulurkan tangannya. Saya pun segera membai’at Abu Bakar, lalu kaum muhajirin membai’atnya, lalu kaum Anshar membai’atnya. Kami sampai melangkahi badan sa’ad bin Ubadah. Maka salah seorang Anshar berkata, “Kalian telah membunuh Sa’ad bin Ubadah.” Saya menjawab: “Semoga Allah membunuh Sa’ad bin Ubadah.”
Demi Allah, kami tidak mendapati dari kehadiran kami dalam pertemuan Saqifah Bani Sa’idah sebuah perkara yang lebih kuat daripada pembai’atan Abu Bakar. Kami khawatir jika kami berpisah dari pertemuan tersebut sementara belum ada bai’at, niscaya setelah kami pulang kaum Anshar akan membai’at salah seorang diantara mereka sebagai Amir. Sehingga hanya akan ada dua pilihan; kami membai’at amir mereka dalam keadaan yang tidak kami ridhai atau kami menyelisihi [tidak membai’at amir mereka] sehingga timbul kerusakan. Maka barangsiapa membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, niscaya orang yang membai’at tersebut dan orang yang dibai’at tersebut tidak boleh diikuti, karena ia telah menjerumuskan mereka berdua untuk dibunuh.” (HR. Bukhari: Kitab Al-Hudud no. 6830, lafal ini adalah lafal Al-Bukhari dan Muslim: Kitab Al-Hudud no. 1691 dengan lafal yang lebih ringkas)
Hadits no. 4:
Dari Miswar bin Makhramah berkata:
أَنَّ الرَّهْطَ الَّذِينَ وَلَّاهُمْ عُمَرُ اجْتَمَعُوا فَتَشَاوَرُوا فَقَالَ لَهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَسْتُ بِالَّذِي أُنَافِسُكُمْ عَلَى هَذَا الْأَمْرِ وَلَكِنَّكُمْ إِنْ شِئْتُمْ اخْتَرْتُ لَكُمْ مِنْكُمْ فَجَعَلُوا ذَلِكَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَلَمَّا وَلَّوْا عَبْدَ الرَّحْمَنِ أَمْرَهُمْ فَمَالَ النَّاسُ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَتَّى مَا أَرَى أَحَدًا مِنْ النَّاسِ يَتْبَعُ أُولَئِكَ الرَّهْطَ وَلَا يَطَأُ عَقِبَهُ وَمَالَ النَّاسُ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ يُشَاوِرُونَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي حَتَّى إِذَا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَصْبَحْنَا مِنْهَا فَبَايَعْنَا عُثْمَانَ قَالَ الْمِسْوَرُ طَرَقَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ هَجْعٍ مِنْ اللَّيْلِ فَضَرَبَ الْبَابَ حَتَّى اسْتَيْقَظْتُ فَقَالَ أَرَاكَ نَائِمًا فَوَاللَّهِ مَا اكْتَحَلْتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ بِكَبِيرِ نَوْمٍ انْطَلِقْ فَادْعُ الزُّبَيْرَ وَسَعْدًا فَدَعَوْتُهُمَا لَهُ فَشَاوَرَهُمَا ثُمَّ دَعَانِي فَقَالَ ادْعُ لِي عَلِيًّا فَدَعَوْتُهُ فَنَاجَاهُ حَتَّى ابْهَارَّ اللَّيْلُ ثُمَّ قَامَ عَلِيٌّ مِنْ عِنْدِهِ وَهُوَ عَلَى طَمَعٍ وَقَدْ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَخْشَى مِنْ عَلِيٍّ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ ادْعُ لِي عُثْمَانَ فَدَعَوْتُهُ فَنَاجَاهُ حَتَّى فَرَّقَ بَيْنَهُمَا الْمُؤَذِّنُ بِالصُّبْحِ
“Sesungguhnya orang-orang [majlis Syura] yang telah diserahi oleh Umar tugas mengangkat khalifah berkumpul dan bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf berkata kepada mereka: ‘Saya bukanlah orang yang akan bersaing dengan kalian dalam memperebutkan jabatan khilafah ini. Namun jika kalian setuju, saya akan memilih salah seorang diantara kalian sebagai khalifah.”
Maka mereka setuju dan mereka menyerahkan urusan tersebut kepada Abdurrahman bin Auf. Ketika mereka telah menyerahkan urusan tersebut kepada Abdurrahman bin Auf, ternyata masyarakat cenderung kepada Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai Abdurrahman bin Auf tidak melihat seorang warga pun memilih orang-orang yang dicalonkan oleh Umar tersebut. Masyarakat cenderung kepada Abdurrahman bin Auf. Mereka bermusyawarah dengan Abdurrahman bin Auf selama beberapa malam.
Sampai pada malam hari dimana keesokan paginya kami membai’at Utsman, Abdurrahman bin Auf mendatangiku [Miswar bin Makhramah] setelah tidur malam. Abdurrahman bin Auf mengetuk pintu rumahku, maka aku pun terbangun. Abdurrahman bin Auf berkata: “Saya melihatmu tidur. Demi Allah, malam ini saya tidak sedikit pun mencicipi tidur yang cukup. Pergilah, panggilkan Sa’ad bin Abi Waqash dan Zubair bin Awwam. Saya pun memanggil keduanya, lalu Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan keduanya.
Abdurrahman bin Auf lalu memanggilku dan berkata: “Panggilkan untukku Ali bin Abi Thalib!” Aku pun memanggilnya, lalu Abdurrahman bin Auf berbicara berduaan dengan Ali sampai larut malam. Ali kemudian pergi dari rumah Abdurrahman dengan penuh harapan akan dipilih sebagai khalifah yang baru. Abdurrahman bin Auf sendiri mengkhawatirkan sesuatu hal dari diri Ali.
Abdurrahman bin Auf kemudian memanggilku dan berkata: “Panggilkan untukku Utsman bin Affan!” Aku pun memanggil Utsman, lalu Abdurrahman bin Auf berbicaraa berduaan dengan Utsman, sampai keduanya dipisahkan oleh muadzin yang mengumandangkan shalat Subuh.
فَلَمَّا صَلَّى لِلنَّاسِ الصُّبْحَ وَاجْتَمَعَ أُولَئِكَ الرَّهْطُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ فَأَرْسَلَ إِلَى مَنْ كَانَ حَاضِرًا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَأَرْسَلَ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ وَكَانُوا وَافَوْا تِلْكَ الْحَجَّةَ مَعَ عُمَرَ فَلَمَّا اجْتَمَعُوا تَشَهَّدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ يَا عَلِيُّ إِنِّي قَدْ نَظَرْتُ فِي أَمْرِ النَّاسِ فَلَمْ أَرَهُمْ يَعْدِلُونَ بِعُثْمَانَ فَلَا تَجْعَلَنَّ عَلَى نَفْسِكَ سَبِيلًا فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى سُنَّةِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْخَلِيفَتَيْنِ مِنْ بَعْدِهِ فَبَايَعَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَبَايَعَهُ النَّاسُ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ وَأُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ وَالْمُسْلِمُونَ
Tatkala selesai mengimami masyarakat shalat Shubuh dan seluruh calon khalifah berkumpul dibawa mimbar, Abdurrahman bin Auf mengutus seorang pembantu untuk menghadirkan seluruh Muhajirin dan Anshar yang berada di Madinah. Abdurrahman bin Auf juga mengutus seorang pembantu untuk menghadirkan seluruh gubernur wilayah, yang [pada bulan Dzulhijah tahun tersebut] mereka bertepatan melaksanakan ibadah haji bersama Umar bin Khatah.
Setelah mereka semua hadir di dalam masjid, Abdurrahman bin Auf menyampaikan khutbah. Ia mengucapkan syahadat dan memuji Allah Ta’ala, lalu ia berkata: “Amma ba’du. Wahai Ali bin Abi Thalib, sesungguhnya aku telah melihat kehendak masyarakat. Aku melihat pilihan mereka tidak beralih dari Utsman bin Affan. Maka janganlah engkau sekali-kali menjadikan jalan bagi dirimu untuk meraih jabatan khilafah ini.”
Ali bin Abi Thalib berkata [kepada Utsman]: “Aku membai’atmu di atas sunnah [hukum] Allah, sunnah Rasul-Nya dan dua orang khalifah setelahnya.” Lalu Abdurrahman bin Auf membai’at Utsman bin Affan. Maka masyarakat dari kalangan Muhajirin, Anshar, para gubernur wilayah dan seluruh umat Islam memba’iat Utsman bin Affan. (HR. Bukhari: Kitab Al-Ahkam no. 7207)
Hadits no. 5:
Dari Amru bin Maimun tentang kisah pembunuhan khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu:
فَقَالُوا أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ قَالَ مَا أَجِدُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ أَوْ الرَّهْطِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ فَسَمَّى عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ فَإِنْ أَصَابَتْ الْإِمْرَةُ سَعْدًا فَهُوَ ذَاكَ وَإِلَّا فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلَا خِيَانَةٍ
Orang-orang berkata: “Berilah wasiat wahai amirul mukminin! Tunjuklah seseorang sebagai khalifah yang baru sepeninggal Anda!”
Umar menjawab: “Saya tidak mendapati seorang pun yang lebih layak memegang kekhilafahan ini selain dari orang-orang yang diridhai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam saat beliau wafat.” Umar lalu menyebutkan nama Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin auf.
Umar berkata: “Sebagai saksi atas kalian adalah Abdullah bin Umar, namun ia tidak berhak atas perkara kekhilafahan.” Seakan-akan itu ungkapan belasungkawa kepada Ibnu Umar.
Umar berkata: “Jika jabatan khilafah dipegang oleh Sa’ad bin Abi Waqash, maka itu baik. Adapun jika bukan dia yang menjadi khalifah, maka hendaklah siapapun khalifah yang terpilih meminta bantuan Sa’ad, sebab aku memberhentikan Sa’ad [dari jabatan gubernur Kufah] bukanlah karena ia pejabat yang lemah atau berkhianat.”
وَقَالَ أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَنْصَارِ خَيْرًا{ الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ }أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الْأَمْصَارِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الْإِسْلَامِ وَجُبَاةُ الْمَالِ وَغَيْظُ الْعَدُوِّ وَأَنْ لَا يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلَّا فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَعْرَابِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ أَصْلُ الْعَرَبِ وَمَادَّةُ الْإِسْلَامِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ وَيُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ وَلَا يُكَلَّفُوا إِلَّا طَاقَتَهُمْ فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَتْ أَدْخِلُوهُ فَأُدْخِلَ فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ
Umar berkata lagi: “Saya mewasiatkan kepada khalifah sepeninggalku untuk mengenal hak kaum Muhajirin yang pertama dan menjaga kehormatan mereka, juga saya mewasiatkan kepadanya untuk memperlakukan kaum Anshar ‘yaitu orang-orang yang telah memiliki negeri dan beriman sebelum kedatangan muhajirin – QS. Al-Hasyr [59]: 9′, menerima orang yang berbuat baik diantara mereka dan memaafkan orang yang berbuat buruk diantara mereka.
Saya juga mewasiatkan kepadanya untuk memperlakukan penduduk wilayah-wilayah secara baik, sebab mereka adalah pokok bangsa Arab dan bahan baku umat Islam, hendaklah diambil harta zakat dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka. Saya juga mewasiatkan kepadanya dengan jaminan Allah dan jaminan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam, hendaklah ia memenuhi perjanjian kepada rakyat dan berperang untuk melindungi mereka [dari serangan musuh Islam] serta janganlah ia membebani rakyat di luar batas kesanggupan mereka.”
Ketika Umar meninggal, kami keluar membawa jenazahnya dan kami berangkat dengan berjalan kaki [menuju rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha]. Abdullah bin Umar pun mengucapkan salam dan berkata: “Umar bin Khathab meminta izin masuk.” Aisyah menjawab: “Masukkanlah jenazahnya!” Maka jenazah Umar dibawa masuk ke kamar Aisyah dan dimakamkan di sana bersama dua sahabatnya [Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan Abu Bakar].
فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ الرَّهْطُ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنْكُمْ فَقَالَ الزُّبَيْرُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَلِيٍّ فَقَالَ طَلْحَةُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عُثْمَانَ وَقَالَ سَعْدٌ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيُّكُمَا تَبَرَّأَ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ فَنَجْعَلُهُ إِلَيْهِ وَاللَّهُ عَلَيْهِ وَالْإِسْلَامُ لَيَنْظُرَنَّ أَفْضَلَهُمْ فِي نَفْسِهِ فَأُسْكِتَ الشَّيْخَانِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَفَتَجْعَلُونَهُ إِلَيَّ وَاللَّهُ عَلَيَّ أَنْ لَا آلُ عَنْ أَفْضَلِكُمْ قَالَا نَعَمْ فَأَخَذَ بِيَدِ أَحَدِهِمَا فَقَالَ لَكَ قَرَابَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقَدَمُ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَاللَّهُ عَلَيْكَ لَئِنْ أَمَّرْتُكَ لَتَعْدِلَنَّ وَلَئِنْ أَمَّرْتُ عُثْمَانَ لَتَسْمَعَنَّ وَلَتُطِيعَنَّ ثُمَّ خَلَا بِالْآخَرِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَلَمَّا أَخَذَ الْمِيثَاقَ قَالَ ارْفَعْ يَدَكَ يَا عُثْمَانُ فَبَايَعَهُ فَبَايَعَ لَهُ عَلِيٌّ وَوَلَجَ أَهْلُ الدَّارِ فَبَايَعُوهُ
Ketika penguburan jenazah Umar telah selesai, keenam orang yang disebut namanya oleh Umar sebagai calon khalifah pun berkumpul. Abdurrahman bin Auf berkata: “Jadikanlah urusan pemilihan khalifah ini untuk tiga calon saja diantara kalian!” Maka Zubair bin Awwam berkata: “Hak saya telah saya serahkan untuk Ali bin Abi Thalib.” Thalhah bin Ubaidillah berkata: “Hak saya telah saya serahkan untuk Utsman bin Affan.” Sa’ad bin Abi Waqash berkata: “Hak saya telah saya serahkan kepada Abdurrahman bin Auf.” Maka Abdurrahman bin Auf berkata: “Siapakah diantara kalian berdua [Ali dan Utsman] yang siap melepaskan haknya sehingga jabatan kekhilafahan ini akan kita serahkan kepadanya. Allah dan [umat] Islam sungguh-sungguh akan melihat orang yang paling utama diantara mereka dalam dirinya.” Ali dan Utsman terdiam.
Abdurrahman bin Auf bertanya: “Apakah kalian rela menyerahkan pemilihan ini kepadaku, maka saya memiliki kewajiban terhadap Allah untuk tidak meninggalkan orang yang paling mulia diantara kalian?”
Ali dan Utsman menjawab: “Ya, kami rela.”
Maka Abdurrahman bin Auf memegang tangan salah satu dari keduanya [Ali bin Abi Thalib] dan berkata kepadanya: “Anda memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan Anda terdahulu dalam masuk Islam. Kewajibanmu atas Allah seandainya aku mengangkatmu sebagai pemimpin, hendaklah Anda berbuat adil dan seandainya aku mengangkat Ustman sebagai pemimpin maka Anda harus mendengar dan menaatinya.”
Abdurrahman bin Auf lalu memegang tangan calon lainnya [Utsman] dan mengatakan hal serupa kepadanya. Setelah Abdurrahman bin Auf selesai mengambil perjanjian, ia berkata: “Angkatlah tanganmu wahai Utsman!” Lalu Abdurrahman bin Auf membai’at Ustman, disusul oleh Ali yang membai’atnya, lalu orang-orang di luar rumah pun masuk ke dalam rumah dan membai’at Utsman. (HR. Bukhari: Kitab Fadhail Ash-Shahabah no. 3700)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)