(Arrahmah.com) – Saya lihat struk pembayaran listrik pasca bayar untuk rumah saya, ternyata… tarif naik lagi! Lagi-lagi tarifnya naik, tentu masyarakat bawah makin terbebani, kenaikan ini memberikan dampak negatif bagi perekonomian masyarakat. Setiap ada kenaikan tarif seperti listrik, beban ekonomi rumah tangga masyarakat rendah akan meningkat dan berefek pada daya beli yang semakin rendah pula.
Semakin tinggi tekanan yang diterima kelompok masyarakat ekonomi bawah, pasti akan berpengaruh pada gini ratio. Karena bagaimanapun beban ekonomi rumah tangga akan meningkat. Upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi dengan menaikkan harga jual, keputusan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena tingginya biaya produksi listrik semata-mata karena kegagalan pemerintah sendiri seperti penjualan energi murah seperti gas lebih berpihak kepada swasta/asing dan dugaan inefisiensi di tubuh PLN sendiri.
Jika PLN bisa mendapatkan pasokan gas dalam jumlah yang cukup dan terjamin, maka kenaikan TDL tidak akan terus mengancam. Kebutuhan selanjutnya adalah pengembangan sumber listrik yang terbarukan seperti panas bumi, tenaga surya, air, angin, gelombang laut, dsb; atau bahkan mengembangkan PLTN (Nuklir) yang meski tidak terbarukan tapi bisa menyediakan tenaga listrik dalam jumlah sangat besar. Ironis, gas produksi dalam negeri justru lebih banyak diekspor dengan kontrak jangka panjang. Pangkalnya adalah UU yang dibuat DPR yaitu UU No 22 tahun 2001 tentang Migas yang mengamanatkan Domestic Market Obligation (DMO)–kewajiban suplai gas untuk kebutuhan dalam negeri–hanya minimal 25%. Akibatnya, gas Tangguh terus mengalir ke luar, di antaranya ke Cina dengan harga yang murah.
Dan satu pangkal persoalan adalah demokrasi-kapitalisme, menyuburkan perilaku kejahatan yang mengatasnamakan rakyat untuk merampok harta rakyat. Doktrin ideologi dan sistem ekonomi Kapitalisme diadopsi di negeri ini. Rakyat akan makin merugi dengan skenario politik demokrasi dan sistem perekonomian neoliberal. Rakyat dipaksa harus hidup mandiri dengan bantuan ala kadarnya. Karena mereka tidak punya hak diurus sepenuhnya oleh penguasa.
Kebijakan kapitalis telah meletakkan kekayaan milik umum di dalam kekuasaan berbagai perusahaan swasta global dan di tangan segelintir orang pemilik modal. Pemeliharaan urusan rakyat di mata para penguasa itu ujung-ujungnya adalah meningkatkan pajak atas masyarakat. Semua orang mengetahui bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan listriknya dari gas, minyak bumi, energi angin, hidrokarbon, dan batu bara. Namun selama kapitalisme diterapkan, tidak dikerahkan secara maksimal dalam memanfaatkan semua potensi energi itu untuk memproduksi energi listrik murah/gratis.
Solusi Islam
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berkali-kali menyampaikan paket solusi Islam, energi listrik dan bahan baku pembangkit energi listrik berupa migas, batubara, panas bumi semuanya adalah milik umum, maka penguasaan dan pengelolaan listrik wajib dilakukan oleh negara dan tidak diperbolehkan dikelola oleh individu dan swasta. Hal ini agar kebutuhan pokok berupa listrik ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dengan harga murah dan dengan cara yang mudah. Bukan seperti dalam sistem kapitalis saat ini dimana listrik diperoleh masyarakat diperoleh dengan mahal dan susah karena dikelola oleh swasta dan sumber energi pembangkit tidak diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan listrik tetapi justru diekspor untuk memenuhi kebutuhan negara lain.
Pengelolaan listrik termasuk bentuk pemilikan umum lainnya seperti halnya kepemilikan umum lainnya. Pengelolaan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing yang secara pasti akan merugikan rakyat. Pengelolaan SDA dengan sistem negara koorporasi seperti sekarang inilah yang menyebabkan banyak problem ekonomi dan energi rakyat menjadi terus bertambah.
Berkali-kali Hizbut Tahrir Indonesia telah menyampaikan, Islam telah mengharamkan privatisasi kepemilikan umum seperti halnya sumber-sumber energi. Telah dinyatakan di dalam hadis Rasulullah saw bahwa sumber-sumber alam adalah milik seluruh masyarakat. Mereka berserikat di dalam sumber-sumber alam itu. Dan berikutnya haram diprivatisasi kepada individu atau perusahaan. Rasul saw bersabda: Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagai milik umum, Islam menetapkan migas dan listrik itu harus sepenuhnya dikelola oleh negara mewakili rakyat. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada seluruh rakyat. Migas tidak boleh diserahkan atau dikuasakan kepada swasta apalagi asing. Sehingga untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis energi saat ini, pemerintah harus membatalkan privatisasi pembangkit listrik dan mengembalikannya sebagai milik umum. Pemerintah wajib mengelolanya sendiri. Kemudian, pemerintah menyediakan listrik untuk masyarakat sesuai biaya produksinya. Jika pemerintah menerapkan kebijakan ini maka masyarakat tidak akan terancam oleh permainan harga tinggi oleh swasta. Karena masyarakat membutuhkan listrik dengan harga murah.
Refleksi
Di bawah sistem kapitalisme saat ini, beragam potensi negara lari ke kantong swasta-swasta asing melalui penyerahan kepemilikan atas berbagai potensi itu kepada mereka padahal potensi-potensi itu merupakan harta milik umum. Mestinya, dengan adanya potensi berlimpah itu, negara tidak boleh mewajibkan berbagai macam pajak kepada masyarakat umum.
HTI telah menyampaikan seruan damai bahwa sistem Khilafah Islamiyah mampu membebaskan umat dari kebijakan yang zalim melalui penerapan sistem ekonomi Islam dan memberi rakyat Indonesia apa yang mereka butuhkan serta menghilangkan penderitaan dan himpitan ekonomi yang mereka derita selama ini. Selanjutnya pilihan perubahan kembali kepada umat, apakah tetap dalam konsep kapitalisme, atau hijrah menuju sistem Islam yang mampu mewujudkan keadilan.
Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim)
(*/arrahmah.com)