Oleh: Harits Abu Ulya
(Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur CIIA)
(Arrahmah.com) – Pemirsa ILC tahu bahwa topik utama yang diangkat adalah “Kini polisi yang diteror”. Dan ketika mengikuti dengan seksama, pemirsa juga tahu akhirnya dialog mengerucut bahwa kelompok teroris dengan ideologinya menjadi sumber dan akar masalahnya. Modus TV One ini sudah yang kesekian kalinya, melakukan penggiringan opini atas satu fakta tindak kejahatan lepas dari TKP. Cenderung membuat kesimpulan gegabah dan dipaksakan berdasarkan opini dan asumsi semata dengan beragam argumentasi yang dipaksakan.
Dari komposisi peserta ILC saja yang hadir, terlihat sekali hampir 80 persen mereka yang sudah dalam frame pemikiran tendensius bahwa terorislah biang kerok semua aksi-aksi teror belakangan ini. Dari sini saja sangat bisa dipahami kemana arah kesimpulan dialog dan kemana persepsi publik digiring. Jika publik bertanya-tanya kenapa bisa demikian? Analisa saya dibalik itu semua ada faktor yang sangat mempengaruhi.
Pertama, TV One punya komitmen dengan BNPT untuk menjadi “Public Relation” dalam kepentingan kontra terorisme. Wajar kalau kemudian diberbagai kasus “terorisme” TV One menjadi salah satu TV terdepan melakukan liputan ditempat operasi Densus 88 dan Satgas BNPT. Dan itu menjadi “kompensasi” yang didapatkan TV One, termasuk menjadi terdepan untuk memblowup isu-isu terkait terorisme.
Kedua, dalam kasus teror di dua bulan terakhir ini sikap Mabes Polri cukup proporsional, tidak mudah menarik kesimpulan bahwa ini adalah kasus terorisme. Mereka berangkat dari TKP dan membuka semua perspektif dan kemungkinan. Melakukan analisa berbagai kemungkinanya. Mabes lebih banyak memaksimalkan peran Resmob. Kita yang inten mencermati isu terorisme akan bisa melihat perubahan signifikan sikap Polri yang tidak murah obral tuduhan terorisme dalam dua bulan terakhir ini. Saya melihat Densus 88 saat ini “terkunci” langkahnya. Apalagi Satgas BNPT yang dipimpin oleh Petrus Golose, seperti tidak punya panggung atas berbagai kasus teror yang terjadi.
Ketiga, ada pengurangan dana yang signifikan bagi Densus 88 dan khususnya untuk Satgas BNPT, dan ini memberi pengaruh mereka makin sulit untuk “bergerak” dan bermanufer sesukanya.
Maka wajar jika kemudian pihak BNPT dan kru perlu memainkan “mindset contro“, yaitu media seperti TV One untuk membangun propaganda dan tekanan opini agar bisa melabeli aksi-aksi teror selama ini benar adanya adalah terorisme.
Jadi dengan langkah seperti itu bisa diharapkan tergelarnya “karpet merah” bagi Densus 88 dan Satgas BNPT untuk kembali eksis dan mendapat panggung kemudian berikutnya adalah kucuran dana yang lebih besar lagi. Dibalik hiruk pikuk berita aksi penembakan polisi, di sana ada “pertarungan” yang tidak wajar dari pihak BNPT dan Densus 88 yang intinya mereka harus punya “panggung eksistensi”.
Akhirnya diluar upaya pengungkapan kasus yang dilakukan oleh Mabes, justru BNPT diluar sangat kontrproduktif bernafsu membangun opini dan propaganda dengan beragam statemen. Ini dilakukan para pejabat teras BNPT sampai para pengamat binaan mereka dan pengamat patner mereka bahkan para kombatan yang loyal menjilat semua kata mereka.
Wajar saja, karena kerjanya kontra terorisme akhirnya setiap kasus kejahatan dan teror diruang publik disimpulkan adalah aksi terorisme.Padahal dalam kasus teror, tidak menutup kemungkinan adanya langkah-langkah intelijen “ilegal” reproduksi “teror” yang digunakan sebagai pembenaran dan keberlangsungan proyek kontra terorisme.
Di Indonesia, terorisme versi BNPT dan Densus 88 sudah bergeser sedemikian rupa, yang terjadi lebih banyak adalah “teroris opini” dibandingkan teroris sebagai sebuah aksi yang sesungguhnya layak disemati secara obyektif dengan label terorisme. Moga masyarakat makin cerdas bisa membedakan manakah media TV yang obyektif dan manakah yang subyektif tendensius menjadi corong kepentingan-kepentingan tertentu yang opuntunir.
(arrahmah.com)