(Arrahmah.com) – Salah satu doktrin pokok golongan Syiah adalah taqiyyah. Taqiyyah adalah menyembunyikan aqidah Syiah dari orang lain bahkan mengingkarinya bila dipandang perlu.
Para tokoh Syiah dahulu biasa merahasiakan ajaran-ajaran dan pendapat-pendapat mereka dari masyarakat umum. Mereka juga merahasiakan diri sebagai keturunan Ali dan hanya mau mengemukakan kepada teman karibnya. Mereka senantiasa menjaga diri dengan menyembunyikannya dan identitas mereka. Ada pernyataan yang sangat populer dari Ja’far Ash Shadiq:
“Taqiyyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku, siapa saja yang berterus terang sebelum datangnya Imam Mahdi kami maka dia bukan dari golongan kami.”
Hadits-hadits milik kaum Syiah yang menjelaskan tentang taqiyyah ini sangat banyak, antara lain disebutkan oleh Majelisi sebanyak seratus sembilan riwayat, dalam bab “Bertaqiyah tetapi tetap bermasyarakat” (Biharul Anwar: 75/393-443). Syekh mereka Ibnu Baabuwaih dalam bukunya al-I’tiqadat, dia menamakan judul kitabnya “Dinul Imamiyah” (Agama Imamiyah): Taqiyah adalah wajib, yang tidak boleh ditinggalkan sampai munculnya Imam Mahdi. Barangsiapa yang meninggalkannya sebelum datangnya Imam Mahdi maka dia telah keluar dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari agama Imamiyah, menentang Allah dan Rasulnya serta para Imam (al-I’tiqad hlm. 114-115).
Diriwayatkan bahwa khalifah al-Mansur dari Bani Abbasiyah tatkala mendengar informasi bahwa Ja’far bin Muhammad telah mengklaim jabatan khilafah dan imamah bagi dirinya, maka ia menyuruh punggawanya yang bernama Rabi’ agar datang ke Bghdad untuk menemui dan menghadirkan Ja’far kepadanya. Ketika khalifah al-Mansur melihatnya, dia berkata: “Allah akan membinasakanku kalau aku tidak membunuhmu. Apakah engkau mengingkari kekuasaanku dan engkau ingin melakukan tipudaya kepadaku?” Abu Abdillah menjawab: “Demi Allah, aku tidak berbuat seperti itu, kalau ada yang menyampaikan berita itu kepadamu, ia seorang pendusta. Sekiranya aku telah melakukannya, sesungguhnya Yusuf dahulu dianiaya orang namun ia memaafkan, dan ayub diberi cobaan namun dia bersabar, Sulaiman dikaruniai nikmat yang banyak dan ia bersyukur. Mereka semua adalah para Nabi Allah dan dari merekalah silsilahmu berasal…” dan seterusnya sampai akhir kalimat Ja’far yang mereka nukil. (Baca kalimat selengkapnya di Biharul Anwar: 47/174-175, dan al-Irsyad oleh Mufid hlm.290).
Di sini Imam Ja’far mengingkari apa yang menjadi anggapannya dihadapan al-Mansur. Dia menegaskan pengingkarannya dengan bersumpah menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal tidak diragukan lagi bahwa bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan dosa yang sangat besar, namunSyiah tidak menganggapnya sebagai dosa. Kisah ini tercantum dalam kitab-kitab mereka.
Pengingkaran Ja’far hanya salah satu contoh saja. Adapun segudang kebohongan Syiah sudahlah sangat jelas dibuktikan oleh pengalaman.
Karena itu Mullah Ahmad Kasravi menyatakan, “Taqiyyah dan penyimpangannya terhadap agama dan akal sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan pembahasan lagi karena hal ini merupakan bentuk kebohongan dan kemunafikan tidak perlu dijelaskan lagi kebusukannya.”
Disadur dari buku Ulama Syiah menghujat Syiah, Rabiul Tsani 1435/Februari 2014, lxxii + 218 hlm, Arrahmah Publishing. (azm/arrahmah.com)