Oleh Nina Marlina, A.Md
Aktivis Muslimah
Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) kembali menjadi isu hangat di masyarakat. Hal ini terjadi usai kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024 mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Dengan ini, pekerja bergaji di atas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji. Tapera diklaim Pemerintah untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog. Namun, kebijakan ini mendapatkan penolakan dari pengusaha dan buruh karena dianggap akan semakin membebani mereka. Tak ketinggalan kritik juga datang dari pada netizen di media sosial.
Menurut Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, perhitungan matematis iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak masuk akal karena tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK. Ia juga mempertanyakan kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung.
Iqbal mengatakan, alasan lain mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut dan tahun ini naik upahnya murah sekali. Menurutnya, bila upah dipotong lagi 3% untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha. Dalam UUD 1945 tanggungjawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. (Sindonews.com, 29/05/2024)
Tapera Menambah Penderitaan Rakyat
Pemerintah mengklaim bahwa tapera dimaksudkan untuk memudahkan rakyat dalam memperoleh rumah layak huni. Namun, sebaliknya bagi rakyat kebijakan ini justru akan semakin menambah penderitaan mereka. Pasalnya rakyat selama ini sudah dibebani dengan berbagai macam potongan dan pajak. Para pekerja sudah mendapatkan potongan gajinya dengan pajak pph, iuran BPJS, dan iuran jaminan hari tua. Jika ditambah dengan iuran tapera tentu akan menambah potongan gaji mereka.
Ironisnya, menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna menjelaskan, kepesertaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mencakup pegawai swasta bukan untuk cicilan rumah. Tapi untuk mendapatkan subsidi bunga cicilan KPR yang berada di angka 5% flat. Herry menjelaskan, tabungan yang dibayarkan oleh peserta Tapera sektor swasta sebesar 3%, akan diakumulasikan selama setahun. Jika peserta dinilai memenuhi syarat, maka baru bisa memanfaatkan tapera untuk membeli rumah melalui skema KPR atau KBR dengan bunga flat 5%. (Sindonews.com, 02/06/2024).
Jika demikian, maka semakin jelas bahwa rakyat amat dipersulit untuk bisa memiliki rumah karena harus membeli dengan skema KPR. Itu pun jika sudah memenuhi syarat setelah uangnya terkumpul 1 tahun. Selain itu, jika tapera berkonsep tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela sehingga rakyat tak boleh dipaksa untuk mengikuti program tapera ini. Adapun terkait kebutuhan rumah untuk rakyat sudah semestinya menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhinya. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi (tanah) yang dikuasai negara dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Terlebih dana iuran sebanyak itu rawan terjadi penyelewengan atau korupsi. Jangan sampai Pemerintah memanfaatkan uang rakyat demi keuntungan dengan mengatasnamakan investasi.
Tanggung Jawab Negara Menyediakan Rumah Bagi Rakyat
Rumah atau tempat tinggal adalah salah satu kebutuhan pokok/primer yang harus dipenuhi oleh negara. Namun, saat ini banyak rakyat yang tak mampu memiliki rumah karena kemiskinan dan mahalnya harga rumah.
Dalam Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok rakyat secara langsung dan tidak langsung. Adapun kebutuhan papan rakyat dapat dipenuhi secara tidak langsung oleh negara yaitu dengan memberikan kemudahan bagi rakyat untuk bekerja sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan pokoknya termasuk dalam memiliki tempat tinggal yang layak.
Pengadaan rumah ini tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme yang berorientasi bisnis sehingga harga rumah menjadi sangat mahal. Alhasil, rakyat harus mencicilnya bertahun-tahun dan terjebak dalam riba.
Dalam Islam, negara akan memfasilitasi rakyat untuk bisa memiliki rumah baik dengan harga yang terjangkau atau pemberian secara gratis bagi rakyatnya yang tidak mampu. Hal demikian sangatlah mudah karena negara memiliki dana yang besar di Baitul mal yang berasal dari berbagai sumber-sumber pemasukan negara yang melimpah.
Dengan demikian, tapera hanyalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada rakyat dalam menyediakan rumah. Hal ini tak akan terjadi dalam negara yang berasaskan Islam yang sungguh-sungguh dalam mengurus rakyatnya. Wallahu a’lam bis shawwab.