Itu adalah perselisihan kecil, pertengkaran antara teman lama mengenai uang, atau mengenai pekerjaan di sebuah sekolah setempat, namun itu sudah cukup untuk membawa pemiliki toko Atif Saeed Abdu dan Gaber Al-Sofi, seorang guru, ke dalam penjara, satu di sebuah fasilitas yang dijalankan oleh Houtsi dan satu lagi yang dijalankan oleh pro-pemerintah di dekat kota Taiz.
Dua pria tersebut, yang tidak saling mengenal, berada di antara puluhan ribu warga Yaman yang telah dikirim ke penjara, tanpa diadili, oleh berbagai pihak yang bertarung dalam perang yang hampir berusia tiga tahun ini. Sesampai disana, banyak yang disiksa.
Tidak jelas berapa banyak orang Yaman yang telah ditahan tanpa diadili dan saat ini berada di dalam penjara yang dijalankan oleh berbagai pihak yang saling bertempur.
Tahun lalu, kementerian hak asasi manusia mengatakan ada lebih dari 14.000 tahanan di fasilitas penahanan yang dijalankan oleh Houtsi dan ratusan orang telah disiksa sampai mati.
Tidak ada perkiraan yang tersedia untuk jumlah tahanan di dalam penjara pro-pemerintah. Namun, ribuan orang Yaman dilaporkan telah menghilang dipenjara yang dikelola oleh pasukan keamanan Uni Emirat Arab dan pasukan keamanan Yaman di selatan, yang digambarkan oleh Amnesti Internasional sebagai “jaringan penyiksaan yang mengerikan”.
Pengacara hak asasi manusia Yaman mengatakan penahanan hanyalah perpanjangan dari pertempuran di medan perang yang mereka tidak berharap untuk segera berhenti dalam waktu dekat.
“Penahanan ilegal adalah hasil dari perang yang sedang berlangsung dan itu terjadi di mana-mana,” ujar Essam Al-Shaeri, wakil Yayasan Sah untuk Membela Hak Asasi dan Kebebasan yang berbasis di Aden, seperti dilaporkan Middle East Monitor.
“PBB harus memberi tekanan pada pihak-pihak yang bertikai untuk melepaskan [tahanan].”
Tanpa tuduhan apapun
Saat itu adalah kunjungan ke keluarganya di mana mimpi buruk Abdu dimulai.
Pada November 2016, pria berusia 38 tahun yang menjual propana di kota Taiz, meninggalkan kota Taiz menuju Sana’a untuk mengunjungi pamannya yang menderita gagal ginjal.
Tapi seorang teman lama yang marah setelah keduanya meributkan uang sejumlah 212 USD, mengatakan ke pihak Houtsi bahwa Abdu adalah mata-mata untuk kelompok perlawanan rakyat.
Dua tahun sebelumnya, temannya tersebut telah bergabung dengan Houtsi dan terus memerangi pasukan pro-pemerintah Yaman pimpinan Abd-Rabbu Mansour Hadi.
“Saya sampai di rumah sepupu saya di Sana’a dan saat saya sedang mengunyah qat dengan beberapa kerabat dan teman, sekelompok pejuang Houtsi menyerbu rumah tersebut dan menangkap saya tanpa tuduhan apapun,” ujarnya kepada MEE.
“Saya tidak melihat paman saya, saya berencana untuk beristirahat dan mengunjunginya di malam hari, tapi Houtsi telah menahan saya di siang hari.”
Mereka membawa Abdu ke kantor polisi Al-Tahrir dan menginterogasinya, namun mereka tidak mempercayainya saat mengatakan bahwa ia bukanlah mata-mata. Kemudian Abdu menyadari siapa yang mengadukan dirinya kepada Houtsi.
“Ketika saya tahu nama informan,” ujarnya, “saya mengerti semuanya.”
Tapi itu tidak membantu, Abdu tetap berada di kantor polisi selama tiga hari dan kemudian Houtsi membawanya ke penjara pusat di Sana’a di mana ia bertemu dengan ratusan tahanan yang menurutnya dituduh melakukan pengkhianatan, namun mereka tidak bersalah seperti dirinya.
“Ketika saya mencoba untuk berbicara, Houtsi datang dan memukul saya dengan punggung Kalashnikov dan kadang membenturkan kepala saya ke dinding,” ujar Abdu.
“Kebanyakan tahanan memilih untuk tetap diam.”
Selama tiga bulan pertama dalam tahanan, Abdu menuntut penyelidikan atas kasusnya. Akibatnya, katanya, dia disiksa dan kehilangan sebagian giginya. Setelah itu, dia tetap diam sementara beberapa kerabatnya mencoba membujuk Houtsi dan mengatakan bahwa ia tidak bersalah.
Setelah satu tahun penjara, beberapa teman Abdu meyakinkan teman lamanya dan informannya untuk memberitahu Houtsi bahwa dia telah membuat klaim tersebut, tetapi ia tidak setuju.
Pada 10 Desember 2017, Houtsi melepaskan Abdu.
“Mereka tidak membenarkan penahanan mereka, mereka hanya mengatakan kepada saya bahwa ada pemberitahuan palsu terhadap saya,” katanya.
Membantu preman
Beberapa bulan sebelum Abdu ditangkap, pasukan pro-pemerintah menangkap Gaber Al-Sofi, seorang guru di skeolah Khawla di Taiz, menuduhnya telah menjadi mata-mata Houtsi.
Mereka membawa Sofi ke penjara Al-Ain di distrik Al-Mawaset, skeitar 30 km dari kota Taiz, di mana dia masih dalam penjara menunggu persidangan.
Kerabat Sofi membantah bahwa dia adalah seorang mata-mata.
“Gaber adalah seorang guru dan dia tidak memiliki hubungan dengan Houtsi, tapi dia memiliki beberapa perselisihan dengan individu yang mendukung Perlawanan Rakyat, dan inilah mengapa ia ditangkap,” ujar Monther, sepupu Gaber.
“Perlawanan Rakyat mengatakan bahwa dia adalah mata-mata Houtsi, tapi mereka menolak untuk membawanya ke pengadilan karena mereka tahu ini hanya dalih untuk menahannya di penjara.”
Monther menuntut agar pemerintah memastikan bahwa semua tahanan mendapatkan pengadilan yang adil, alih-alih membantu preman menangkap warga sipil secara tidak sah.
Seorang pemimpin di brigade lapis baja 35 di Taiz berbicara dalam kondisi anonim, mengatakan kepada MEE bahwa tidak ada satupun tahanan di penjara yang dikendalikan oleh pasukan pro-pemerintah di Taiz yang menjadi target penyiksaan. Tapi ratusan tahanan terus ditahan karena pengadilan sudah tutup selama berbulan-bulan.
“Kami tidak bisa membebaskan seorang terdakwa sampai dia diadili secara adil, jadi semua tahanan akan tetap berada di dalam penjara dan kami hanya membebaskan mereka yang dapat membawa jaminan dari seorang pemimpin di tentara atau di pemerintahan.”
Awal bulan ini, pengadilan kembali dibuka di Taiz dan beberapa tahanan sekarang dapat dikirim ke pengadilan, namun sisanya masih belum pasti. (haninmazaya/arrahmah.com)