Oleh Sumiati
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Kisah pilu umat muslim di berbagai negeri tak kunjung berhenti. Kematian akibat penganiayaan silih berganti, mengusik nurani untuk bangkit menyeru keadilan hakiki.
Dikutip oleh voa.com (10/8/2024), serangan pesawat nirawak atau drone terhadap warga Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar menewaskan puluhan orang, termasuk keluarga dengan anak-anak. Beberapa saksi mata mengatakan para korban selamat terpaksa harus mencari di antara tumpukan mayat untuk menemukan dan mengenali kerabat mereka yang tewas atau terluka. Empat saksi mata, aktivis, dan seorang diplomat menggambarkan serangan pesawat nirawak pada Senin yang menghantam keluarga yang menunggu untuk menyeberangi perbatasan ke negara tetangga Bangladesh.
Dari hari ke hari, berita duka terus berdatangan dari penjuru bumi. Menambah lengkap penderitaan kaum muslim di seluruh dunia. Walau pun berita pilu itu terus bergulir, tetapi tak mampu menolong dan tak mampu melakukan apa-apa, kecuali senjata umat muslim terakhir yakni doa. Namun, mereka tidak cukup dikirim doa, karena mereka juga memiliki hak hidup yang tenang, tentram di negeri mereka sendiri.
Mengapa ini terjadi? Tidak lain karena umat muslim tidak memiliki seorang pemimpin yang menjaga mereka dari berbagai kejahatan. Berawal hancurnya kepemimpinan Islam di Turki Utsmaniyah pada tahun 1924, yang pada saat itu pemimpin kaum muslim adalah Sulthan Abdul Majid 2, ia terusir dengan hina, atas kejahatan sang Mustafa Kemal At-Taturk, nasib umat muslim terombang-ambing. Tanpa pelindung dari pemimpin muslim dunia.
Sekat nasionalisme menjadi salah satu penyebab, tak berdayanya umat muslim. Masyarakat pun tak henti-hentinya dijejali pemahaman salah. Misal, “itu terjadi di negara lain, doakan saja, mereka juga memiliki pemimpin,” Kemudian, “sudah cukup kirim bantuan dana saja, untuk kebutuhan mereka, tidak perlu ikut campur urusan negara lain,” Dan banyak lagi ungkapan-ungkapan berdasarkan sekat nasionalisme yang membunuh rasa empati terhadap sesama muslim di belahan dunia.
Lebih dari itu, ketika negeri kufur menjadi negara adidaya, mengekang negara lain untuk memiliki senjata terbaik, menambah lemah posisi umat muslim, bagi negeri-negeri yang mayoritas muslim, tak mampu membela saudaranya di negeri lain yang teraniaya. Walaupun, masalah utamanya bukan itu, tetapi ketidakpedulian terhadap nasib saudara muslim di negeri minoritas dengan alasan nasionalisme tadi. Menyebabkan hati mereka seakan mati, mereka tak berfikir, jika negeri mereka terjadi kekacauan, maka negara lain pun tak akan menolong.
Bagaimana dengan Islam memandang hal demikian? Merujuk pada hadits Rasulullah saw. terkait persaudaraan sesama muslim sebagai berikut.
Sabda Nabi saw. :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya)” Shahih Muslim 4685)
Idealnya demikian, ketika saudara seiman teraniaya di negerinya, seharusnya negeri lain menolong dan menampung mereka untuk diurus, ditempatkan di tempat yang layak sebagai warga negara mereka sendiri. Karena mereka sesama muslim adalah saudara. Kemudian mengingatkan negeri yang telah berbuat aniaya terhadap muslim, bahkan lebih dari itu seharusnya mengirimkan tentara untuk memerangi kaum kafir yang telah berbuat jahat.
Hal ini, hanya bisa terjadi jika sistem dalam negara menerapkan syari’at Islam kaffah, dalam bingkai Khilafah. Sebagaimana dahulu, muslim jaya sejak Rasulullah saw hijrah ke Madinah, hingga berakhir di tahun 1924. Menerapkan Islam kaffah dari masalah kecil dalam rumah, sampai masalah besar yakni masalah negara. Saat ini umat muslim tidak mempunyai junnah atau perisai, tentunya tugas kita, untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan dakwah dan jihad. Kemudian menerapkan Islam sesuai yang ada dalam Al-Qura’an seutuhnya.
Wallahu’alam bis shawwab