JAKARTA (Arrahmah.com) – Dakwah dan jihad, selamanya tak bisa terpisahkan. Karena Islam selalu mewajibkan para pengikutnya melakukan amar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah keburukan). Amar ma’ruf adalah dakwah. Sementara nahi munkar adalah jihad. Demikian penegasan Ustadz Sulaiman Zakaweruz, salah satu penceramah acara Tabligh Akbar yang digelar Majelis Ilmu ar-Rayyan di Masjid Al-Munawwarah, Witanaharja, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (3/4) lalu.
Acara ini digelar rutin setiap Sabtu pertama setiap bulan. Di masjid ini juga rutin digelar pengajian terbuka setiap setelah Subuh, Kamis malam setelah Isya dan Ahad pagi pada pukul 07.30.
Pada acara tabligh dengan tema ‘Menapaki Perjalanan Dakwah dan Jihad Jalan Salaf al-Shalih’ itu, Ustadz Sulaiman tampil menjadi penceramah bersama Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman.
Dalam salah satu hadits, jelas pimpinan Majelis Ta’lim al-Itqon ini, Nabi Muhammad SAW menegaskan, “Lata’murunna bil ma’ruf, wa latanhawunna ‘anil munkar…” (Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi dari Hudzaifah, dinilai hasan gharib oleh Tirmidzi, dan hasan lighairihi oleh al-Albani –red.)
Menurutnya, bagi kalangan ahli lughat (bahasa Arab), pada hadits tersebut Rasulullah menekankan perintah ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan memberikan dua tekanan (ta’kiid). Yakni lam dan nun ta’kiid. “Tidak cukup hanya satu tekanan. Tapi dua! Artinya amar ma’ruf nahi munkar sangat-sangat ditekankan,” tegasnya mengingatkan.
Karena bila kita tidak melakukannya, lanjut Ustadz Sulaiman, Rasulullah mengkhawatirkan Allah akan menyiksa ummat Islam dengan azab di dunia dan tidak dikabulkannya doa.
Dia juga menyayangkan, karena hingga kini masih banyak para ulama dan ustadz yang berdakwah dengan “cara aman”, sehingga menghindari menjelaskan makna jihad yang sebenarnya dikehendaki Rasulullah SAW. Malah tak sedikit yang mengutip hadits palsu, yang mengatakan jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu.
“Bila jihad dalam arti perang melawan orang kafir adalah jihad kecil, dan melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar, apa jihad kecilnya sudah pernah dilakukan?” ungkapnya.
Untuk diketahui, menurut DR. Abdullah ‘Azzam –salah satu pencetus jihad Afghanisan melawan Rusia– dalam buku Prinsip-prinsip Jihad (terjemahan) terbitan pertama Kafayeh Cipta Media, Klaten Utara, Jawa Tengah, November 2007, di halaman 96, bila pernyataan itu dikatakan sebagai hadits, maka itu adalah hadits palsu. Karena kalimat tersebut adalah perkataan seorang tabi’in (generasi kedua setelah Rasulullah SAW) bernama Ibrahim bin Abi ‘Ailah.
Sementara menurut penelitian para ulama hadits, pernyataan itu adalah hadits dha’if (lemah). Misalnya ini bisa dilihat dalam Takhrij Ahaadits al-Ihyaa’ oleh al’Iraqi. Dia menyatakan, hadits itu diriwayatkan Imam Baihaqi dengan sanad dhai’f dari Jabir. Ini juga dilacak di Risalah Jihad-nya Hasan al-Banna, seperti dikutip Abu Jibriel dalam buku Karakteristik Lelaki Shalih terbitan Ar-Rahmah Media cetakan I, Oktober 2005, halaman 434.
Ada pula yang diriwayatkan Baihaqi, yakni yang diriwayatkan al-Khatib al-Baghdadi dari Jabir (Tarikh al-Baghdadi, 13/439). Hadits ini juga dhai’f karena di sanadnya (jalur penyampai hadits –red.) terdapat nama Khalaf bin Muhammad bin Ismail al-Khiyam, yang menurut al-Hakim, haditsnya gugur. Bahkan kata Abu Ya’la al-Khalili, Khalaf banyak mencampuradukkan dan dia sangat lemah, meriwayatan hadits yang tak dikenal (Masyaari’ul Asywaaq ilaa Masyaari’il ‘Usyaaq, 1/31). Sementara al-Hakim dan Ibnu Abi Zur’ah menyatakan, keterangan Khalaf hanya untuk i’tibar (pelajaran), namun mereka mengaku tak berani mempertanggungjawabkannya (Miizaan al-I’tidaal, 1/662).
Karena tak berani mengambil risiko, lanjut Ustadz Sulaiman, akhirnya cara dakwah yang dilakukan kebanyakan ulama dan ustadz sekarang malah mencampuradukkan dengan hal-hal yang tak pernah diajarkan Rasulullah SAW. Termasuk malah dengan hanya meninggikan organisasi tertentu, bukannya meninggikan Islam. “Kalau begini, dakwah bukan hanya berhenti, tapi malah sesat. Meski mereka mengaku mengikuti jalan salafus shalih,” cetusnya.
Sementara Abu Jibriel menjelaskan, istilah salaf al-shalih kini memang menjadi rebutan berbagai kalangan (firqoh). Padahal menurutnya, mudah sekali mengetahui, kelompok mana yang benar-benar mengkuti jalan generasi salaf ini. Karena menurutnya, para ulama sepakat mendefinisikan, salaf adalah generasi para sahabat hingga generasi ketiga setelah generasi Rasulullah SAW. Tak terkecuali generasi-generasi berikutnya yang mengikuti mereka, sejauh murni berpegang pada dua sumber Islam. Yakni al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Artinya, papar Abu Jibriel lagi, kelompok yang tidak tersesat adalah kelompok yang mengikuti Sunnah, sebagaimana yang selalu diikuti sahabat Rasulullah SAW dan selalu mengikuti jama’ah para sahabat beliau. Sehingga belakangan juga dikenal istilah ahlussunnah wal jama’ah. “Masing-masing kelompok juga mengaku-ngaku sebagai ahlussunnah wal jama’ah ini. Meski sering praktek agama mereka berlawanan dengan yang diajarkan Rasulullah,” keluh imam tetap Masjid al-Munawwarah ini.
Namun rumusnya dia nyatakan juga tidak sulit untuk melihat, kelompok mana yang benar-benar termasuk ahlussunnah wal jama’ah. Karena mereka akan selalu berpegang (iltizam) dengan al-Qur’an, Sunnah yang shahih, dan para sahabat, tabi’in, dan para ulama yang mengikuti sumber-sumber shahih sebelum mereka. (Muhammad)