JAKARTA (Arrahmah.com) – Densus 88 yang menjemput paksa kembali pimpinan Pondok Pesantren Darul Akhfiya di Desa Kepuh, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Ustadz Nasiruddin merupakan upaya mengkait-kaitkan dengan terorisme.
Hal itu disampaikan Ketua Lembaga Kajian Politis dan Syariat Islam (LKPSI) Ustadz Fauzan Al Anshori kepada arrahmah.com, Jakarta, Selasa (20/11).
“Tapi, lucu karena pasalnya bukan UU teroris hanya KUHP biasa” ungkapnya.
Kata Ustadz Fauzan, tindakan hukum yang diambil oleh kepolisian terhadap Ustadz Nashirudin terkesan berstandar ganda dengan kasus-kasus lainnya.
“Itu jelas sangat Sumir, kalau mau konsekuen maka penjara akan overload untuk menahan orang-orang yang punya identitas ganda seperti KTP, paspor, Sim, dan akte” bebernya.
Ia pun menghimbau umat Islam untuk memberikan perlawanan terhadap Densus 88 sesuai kemampuan. Karena, jika tidak dilawan Toghut akan selalu menggunakan segala cara untuk menangkap, mengusir, bahkan membunuh para mujahid seperti diungkapkan al-Qur’an dalam surat al-Anfal : 30.
Menurut Ustadz Fauzan, kasus yang dialami Ustadz Nashirudi juga pernah menimpa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan terorisme. Penguasa, menurutnya menggunakan dalih identitas palsu saat hijrah ke Malaysia untuk memenjarakan Ustadz Ba’asyir selama 4 tahun ketika tidak mampu menjerat Ustadz Ba’asyir dengan pasal-pasal terorisme.
“Ustad Abu bilang,bagaimana mau jujur sama thoghut, sedangkan saya mau hijrah, kalau lapor ya ditangkap” ucapnya menirukan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Sebagaimana diberitakan, Densus 88 menangkap Ustadz Nasiruddin Ahmad atau Landung Triwibawono (34) pada Sabtu (17/11).
Ketika itu, Ustadz Nasiruddin yang hendak menghadiri pengajian yang diisi oleh Ustadz Alfian Tanjung dari Jakarta langsung digelandang oleh Densus 88 dikawal puluhan aparat bersenjata lengkap.
Menurut kuasa hukum, Ustadz Nasiruddin, Achmad Rofiq mengatakan, kliennya, dijemput untuk diperiksa terkait kasus pemilikan kartu tanda penduduk (KTP) ganda. “Klien saya ini sementara ini dijerat pelanggaran Pasal 62 ayat 1 UU Nomor 23/2006 dengan ancaman hukuman maksimal dua tahun penjara,” ujar Achmad. (bilal/arrahmah.com)