(Arrahmah.com) – Redaksi arrahmah.com pada Kamis (10/5/2012) menurunkan tulisan berjudul ‘Fenomena perdebatan seputar takfir ta’yin terhadap anshar thaghut’. Tulisan yang diangkat dari fakta memprihatinkan di lapangan dakwah tersebut bermaksud mendudukkan hakekat persoalan dan mendamaikan perselisihan intern para aktivis Islam.
Beragam tanggapan diberikan oleh para pembaca terhadap tulisan tersebut, baik yang mengapresiasi positif maupun negatif. Di antara sekian pembaca yang memberikan apresiasi, ustadz Aman Abdurrahman hafizhahullah termasuk yang keberatan dengan tulisan tersebut. Beliau mengirimkan artikel tanggapan ke meja redaksi arrahmah.com (12/5) sebagai sebuah hak jawab. Sesuai kode etik jurnalistik, redaksi arrahmah.com memuat tanggapan beliau. Selanjutnya penilaian yang obyektif diserahkan kepada para pembaca.
***
Menanggapi Syubhat Yang Disebarkan Situs www.arrahmah.com Yang Menetapkan Status Keislaman PARA THAGHUT DAN ANSHARNYA
Segala puji hanya bagi Allah yang memberi petunjuk kepada orang yang mencari kebenaran dengan karunia-Nya dan yang menyesatkan orang yang mencari pembenaran dengan keadilan-Nya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penghulu para rasul yang mengajarkan pemilahan antara kaum muwahhidin dengan kaum musyrikin, keluarganya serta para sahabatnya.
Wa ba’du:
Ini adalah tanggapan terhadap tulisan yang sampai kabarnya kepada saya yang dimuat oleh situs www.arrahmah.com yang muncul dari pihak yang ada di sijn thaghut yang mana dengan tulisan itu bertujuan menetapkan keislaman para thaghut dan ansharnya dengan memunculkan nama para syaikh jihad agar laris di kalangan aktivis tauhid dan jihad dan membuat senang para thaghut dan ansharnya, tanpa menyertakan dalil yang sharih lagi sharih prihal keislaman para thaghut dan ansharnya itu. Andai penulis tidak menyebut-nyebut nama saya dan menyebutkan data yang tidak adil dan timpang dalam penilaiannya, tentu saya tidak akan buang-buang waktu untuk menanggapinya, karena tulisan semacam itu tidak akan laris kecuali terhadap thaghut dan ansharnya, dan terhadap para pencari selamat baik di dalam sijn ataupun di luar serta terhadap orang-orang yang lemah bashirahnya.
Ketika ucapan manusia dijadikan hujjah di dalam Dienullah, maka yang terjadi adalah kerusakan dan kesesatan serta kekontradiksian. Dulu saya pernah berdebat dengan dua orang Doktor Aqidah yaitu Khalid Al Musyaiqih dan Khalid Al Khalidiy tentang status pelaku syirik akbar yang jahil dan sumpah setia kepada hukum thaghut, setelah saya jelaskan kepada keduanya dalil-dalil dari nash wahyu serta penegasan ijma para ulama bahwa mereka itu adalah orang musyrik walaupun jahil dan orang yang setia kepada hukum thaghut itu adalah kafir, maka si doktor itu mengakui kebenaran apa yang saya utarakan dan tidak bisa membantah dengan dalil, akan tetapi si doktor itu malah mengatakan bahwa terapannya tidak seperti itu karena Syaikh Al ‘Utsaimin sendiri membolehkan sumpah setia kepada UUD Kuwait saat ditanya oleh seseorang prihal boleh tidaknya menjadi hakim di Kuwait yang sebelum menjabat sebagai hakim disyaratkan sumpah setia kepada UUD Kuwait itu (begitu kata sang Doktor). Subhanallah dalil-dalil yang nyata dari nash wahyu dimentahkan begitu saja dengan fatwa seorang tokoh tanpa ada dalil. Ini kebiasaan sebagian salafi maz’um yang suka membenturkan dalil dengan fatwa syaikh mereka.
Ketika kita mengingkari suatu bid’ah yang dilakukan masyarakat awam, maka mereka mengatakan bahwa ini bid’ah hasanah, dan ketika kita sampaikan kepada mereka bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan” maka mereka mengatakan bahwa Syaikh Al ‘Izz Ibnu Abdissalam mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah. Akhirnya hadits Rasul itu termentahkan dengan ucapan manusia yang bukan Rasul. Ini kebiasaan masyarakat awam pengusung bid’ah.
Ketika kami jelaskan bahwa demokrasi itu syirik dan berkecimpung di dalamnya adalah tidak boleh karena bertentangan dengan tauhid dengan penegasan nash-nash yang qath’iy lagi muhkam, maka kalangan IM mengatakan bahwa tidak apa masuk parlemen demokrasi karena Syaikh Ibnu Bazz dan Syaikh Al Qardlawi juga membolehkan saat ditanya tentang hal itu. Akhirnya kebenaranpun ditinggalkan karena fatwa manusia yang timpang.
Ketika dijelaskan kepada kalangan pengklaim (klaimer) pengusung jihad yang anti takfir mu’ayyan pelaku syirik akbar bahwa para thaghut dan ansharnya dari kalangan polisi, tentara dan dinas lainnya yang tugasnya membela UUD-45 kafir, Pancasila syirik, Demokrasi dan Nasionalisme lagi berbai’at (sumpah dan janji setia) kepada undang-undang kafir lainnya adalah mereka itu musyrik lagi kafir secara ta’yin dengan diutarakan kepada para klaimer itu dalil-dalil yang sharih lagi gamblang dari Al Kitab, As Sunnah dan Ijma para ulama tentang kekafiran para thaghut dan ansharnya itu secara ta’yin, maka para klaimer itu sibuk ke sana kemari mencari cara untuk menetapkan keislaman kaum murtaddun muharibun itu.
Sesekali mereka mengatakan bahwa yang dikafirkan secara ta’yin itu hanya para penguasa dan para anggota parlemennya saja sedangkan bala tentara dan polisinya tidak bisa dikafirkan secara ta’yin (yaitu masih muslim) karena Syaikh Abu Mush’ab As Suri berfatwa demikian dalam Dakwah Muqawamah-nya, begitu mereka katakan tanpa mengutarakan dalil sepotongpun. Di kali lain, mereka berubah seraya mengatakan bahwa yang dikafirkan secara ta’yin dari kalangan anshar thaghut itu hanya komandan-komandannya saja sedang para prajuritnya tidak dikafirkan sesuai fatwa Syaikh Aiman Adh Dhawahiri, begitu mereka katakan tanpa mengutarakan dalil sepotongpun. Di kali lain berubah lagi bahwa mereka tidak dikafirkan secara ta’yin karena udzur jahil, yang konsekuwensi klaim udzur jahil dalam masalah syirik akbar ini adalah mereka bukan saja tidak mengkafirkan secara ta’yin anshar thaghut tapi juga harus menetapkan udzur jahil ini kepada para thaghutnya, karena udzur jahil ini tidak boleh diterapkan sepotong-sepotong, apalagi mereka mengutarakan di dalam makalah yang ditampilkan situs www.arrahmah.com itu bahwa para pelaku syirik akbar itu diudzur karena syirik hukum adalah khafiyy, seolah zaman sekarang ini zaman tidak adanya peringatan dan dakwah….
Bila saja para ulama sepakat bahwa para pelaku syirik akbar di zaman fatrah yang sangat kosong dari adanya peringatan dan dakwah itu adalah berstatus musyrik bukan muslim walau mengklaim mengikuti ajaran nabi terdahulu, namun yang mereka perselisihkan itu adalah status hukum akhiratnya apakah langsung masuk neraka ataukah diuji terlebih dahulu? Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithi berkata: “Apakah orang-orang musyrik yang mati pada zaman fatrah sedang mereka menyembah berhala itu masuk neraka karena kekafiran mereka ataukah mereka itu diudzur dengan sebab fatrah? (Lihat dalam Al ‘Udzru Bil Jahli Tahtal Mijhar Asy Syar’iy hal 31)…. terus beliau mengutarakan dua pendapat ulama. Lihat ulama menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik padahal keadaan zaman fatrah, namun ada perselisihan masalah hukum akhirat apakah langsung masuk neraka ataukah diuji terlebih dahulu. Terus bila saja orang-orang yang mengklaim mengaku pengikut agama Ibrahim ‘alaihissalam (Islam) dari kalangan bangsa arab namun mereka melakukan syirik akbar karena kejahiliyyahan mereka sedangkan tidak ada Al Qur’an dan As Sunnah di tengah mereka karena fatrah yang bersifat terputusnya pengutusan rasul –bukan fatrah karena terputusnya peringatan– adalah dihukumi musyrik dengan ijma dan bahkan mereka dinyatakan masuk neraka sebagaimana dalam hadits:
Dalam Shahih Al Bukhari: “Amr Ibnu Luhayy Al Khuza’I diadzab menggusur isi perutnya di neraka.”
Dalam Shahih Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Ayahku dan ayahmu di neraka.”
Dalam Hadits riwayat Ahmad, beliau bersabda: “Ibuku dan ibumu di neraka.”
Dalam hadits shahih riwayat Imam Ahmad tentang banul Muntafiq:
لعمر الله ما أتيت عليه من قبر عامري أو قرشي من مشرك فقل: “أرسلني إليك محمد فأبشرك بما يسوؤك تجر على وجهك وبطنك في النار”
“Demi Allah, sungguh kamu tidak melewati kuburan orang musyrik mana saja baik orang Amiriy atau Quraisy, maka katakan: “Muhammad telah mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu dengan kabar yang menakutkan kamu, wajah dan perutmu digusur di dalam api neraka.”[Musnad Imam Ahmad: 4/13 (162/51) lihat Az Zanad Syarh Lum’ah Al I’tiqad]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Al Hadyu: “Di antara faidah hadist ini adalah bahwa orang yang mati di atas syirik disaksikan bahwa dia itu di neraka.”
Bila ini prihal orang yang mati di atas syirik zaman fatrah tapi sisa peringatan rasul terdahulu masih ada di tengah mereka, mereka dipastikan masuk neraka… maka apa gerangan dengan pelaku syirik akbar setelah rasul diutus dan Al Qur’an diturunkan juga hadits bertebaran, mereka malah berpaling dan malah ikut serta memerangi orang-orang yang ingin menegakkan hukum Islam, maka apakah mereka bodoh karena tidak ada dakwah ataukah bodoh karena berpaling dari hujjah dan dakwah wahai orang-orang yang waras yang mencari kebenaran??
Janganlah semangat kalian hanya inginnya mengudzur para pelaku syirik akbar tanpa punya keinginan untuk mendakwahi mereka kepada tauhid dan mengajak mereka meninggalkan pekerjaan mereka yang kalian akui adalah kemusyrikan. Bila memang kalian orang yang jujur, maka kenapa kalian tidak mendakwahi mereka saat berkumpul dengan mereka atau saat shalat di belakang mereka? Ataukah mereka itu kalian inginkan tetap di atas kejahilan supaya tetap kalian hukumi muslim, karena jika kalian beritahu mereka prihal kekafiran pekerjaan mereka terus mereka tidak mau meninggalkan pekerjaannya itu maka konsekuensinya mereka harus kalian kafirkan sesuai kaidah kalian itu? Kalau demikian tentu kejahilan itu lebih baik daripada mengetahui, karena kalau pelaku syirik akbar itu masih jahil maka masih tetap muslim dan bila mati maka suatu saat bisa masuk surga walau merasakan adzab neraka dulu, namun bila dia mengetahui dan bersikukuh maka menjadi kafir dan bila mati maka pasti masuk neraka!!! Al Imam Asy Syafi’iy rahimahullah berkata: (Seandainya orang jahil itu diudzur karena sebab kejahilannya tentulah kejahilan itu adalah lebih baik daripada ilmu (mengetahui), karena kejahilan itu bisa menggugurkan beban-bebantaklif dari si hamba dan bisa menenangkan hatinya dari berbagai kecaman. Sungguh tidak ada hujjah bagi si hamba dalam kejahilannya terhadap hukum setelah penyampain hujjah (oleh rasul) dan adanya kesempatan, supaya tidak ada hujjah bagi manusia terhadap Allah setelah diutusnya rasul-rasul). (Al Mantsur Fil Qawaid, Az Zarkasyi 2/15-16, lihat ‘Aridlul Jahli hal 16).
Saya tidak akan mengutarakan penjelasan lebar di sini, akan tetapi saya hanya mengingatkan penulis dan orang-orang yang ada di belakangnya agar kembali mau belajar dengan benar dan jangan asal ambil atau cuplik dari sana sini yang ujungnya kontradiksi antara ucapan-ucapannya yang sebelumnya. Ini akibat tidak punya ta-shil ilmu yang benar, yang hasilnya adalah saling kontradiksi sendiri. Perlu pembaca ketahui bahwa penulis makalah yang ada di arrahmah.com itu sudah saya ajak diskusi dan sudah saya paparkan kepada mereka dalil-dalil dari Al Kitab, As Sunnah, dan ijma prihal tidak ada udzur jahil dalam status musyrik pelaku syirik akbar itu, dan ketika kami persilahkan mereka untuk mengutarakan dalil-dalil yang mereka anut, ternyata mereka tidak mengutarakan sepotong dalil akan hal itu, dan yang ada adalah perwakilannya meminta pembatalan diskusi berikutnya, dan bahkan mereka juga sudah mendengar bantahan-bantahan syubhat udzur jahil yang selama ini mereka pegang. Tapi realitanya mereka makin bersikukuh dan menampakkan penentangan dengan menyebarkan syubhat mereka di media, bahkan arrahmah.com pun yang selama ini selalu mendukung dakwah tauhid telah ikut andil dalam menyebarkan syubhat yang direka-reka oleh penulis agar memikat para pemula dan orang-orang yang mencari selamat, yang mana tulisan itu membuat para thaghut RI dan ansharnya patut berterimakasih kepada mereka dan kepada arrahmah.com karena tidak usah mengupah orang semacam Khairul Ghazali karena telah ada yang telah ikut serta yang menetapkan keislaman mereka di media jihadis dan dilakukan oleh klaimer jihadis. Para pembaca jangan menganggap bahwa para syaikh-syaikh dan komandan jihad dunia yang ditampilkan sebagian fatwanya oleh tulisan itu keadaannya adalah seperti gambaran penulis itu, karena para syaikh itu telah masyhur penelanjangan mereka terhadap kekafiran para thaghut murtad dan aparatnya, walau ada kekeliruan (zallah) tertentu yang mana manusia selain rasul tidak luput darinya, dan semangat mereka tentu bukan semangat menetapkan keislaman para thaghut dan ansharnya, dan penuturan nama-nama itupun mesti dicek ulang agar tidak dzalim dan mengada-ada dengan menyandarkan pendapat kepada mereka padahal sebagian mereka tidak menganutnya, apalagi yang lebih ironis adalah menyamakan tentara Saudi yang diangkat dalam rangka untuk menegakkan dan melindungi Negara Saudi yang mengklaim penegak tauhid dan yang digembor-gemborkan oleh pemerintahannya adalah tauhid dan Islam walaupun pada realitanya adalah bohong… maka pantaskah fatwa-fatwa para syaikh tentang tentara semacam itu diterapkan dan diberlakukan kepada bala tentara negeri ini yang sejak awal diangkat dalam rangka membela UUD45, Pancasila, Demokrasi, dan Nasionalisme?
Sikap para syaikh itu berbeda dengan penulis makalah itu yang memang realitanya selalu mencari-cari apa yang bisa menetapkan keislaman para thaghut dan ansharnya itu. Lari dari diskusi, terbang sebarkan syubhat dalam rangka tetapkan keislaman para thaghut dan ansharnya yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Apakah layak pencari kebenaran meninggalkan dalil-dalil yang sharih yang diutarakan di depan wajahnya dan malah lari kepada taqlid buta, padahal taqlid itu dengan kesepakatan ulama bukanlah ilmu, dan bila bukan ilmu maka tidak halal disebarkan, karena tidak melakukan taqlid kecuali orang ghabiyy (bodoh) atau ‘ashabiyy (ta’ashshub golongan/sosok), sebagaimana perkataan Imam Thahawy. Dan Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Kaum muslimin telah ijma (sepakat) bahwa orang yang telah jelas di hadapannya sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka tidak halal dia meninggalkannya karena ucapan siapapun.” Al Imam Ahmad berkata: “Saya terheran kepada orang-orang yang telah mengetahui isnad dan keshahihannya terus mereka malah mengambil pendapat Sufyan.” Terus beliau membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (An Nuur: 63)
Al Imam Ahmad berkata tentang ayat itu: “Tahukah kalian apakah fitnah itu? Fitnah adalah syirik, bisa saja bila dia menolak sebagian firman-Nya akan muncul kesesatan di dalam hatinya sehingga dia binasa.”
Saya sampaikan kepada penulis dan orang yang ada di belakangnya, mau di kemanakan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah bahkan ijma yang telah saya sampaikan kepada anda semua saat kita berdiskusi di satu majelis? Apakah dimentahkan dengan fatwa yang tidak ada dalil? Ingatlah taqlid itu bukan ilmu, Al Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata: Muqallid itu tidak memiliki ilmu, dan ulama tidak berselisih terhadap hal itu.” (Jami’ Bayanil Ilmi 2/117 dari Fatawa Abu Humam hal 4). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Taqlid itu bukan ilmu berdasarkan kesepakatan ulama.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/169 dari Fatawa Abu Humam hal 4), dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa tidak melakukan taqlid kecuali balid (orang yang pandir). Bila taqlid itu bukan ilmu maka tidak halal menyebarkan sesuatu yang bukan ilmu. Taqlid itu adalah mengambil fatwa orang alim tanpa mengetahui dalilnya. Maka sebarkanlah ilmu dan jangan sebarkan kebodohan…!
Terus si penulis yahrifu bimaa laa ya’rif (yaitu berceloteh dengan apa yang tidak dia pahami), di mana dia menyebut perselisihan prihal takfir thaghut dan ansharnya ini adalah ikhtilaf tanawwu’. Ungkapan ini menunjukan bahwa penulis meraba-raba dalam berbicara dalam masalah Ushul Fiqh, ketahuilah wahai penulis… ikhtilaf itu ada dua: Ikhtilaf Tanawwu’ dan Ikhtilaf Tadladldl.
– Adapun ikhtilaf tanawwu’ maka ia itu adalah ikhtilaf ulama dalam mengungkapkan suatu penafsiran yang sama dengan kalimat yang berbeda atau dengan satuannya yang mana semuanya benar, seperti penafsiran thaghut di mana sebagian ulama menafsirkan dengan setan, sebagian dengan dukun, sebagian dengan tukang sihir, dan sebagian lagi dengan pembuat hukum atau dengan berhala, di mana semuanya benar.
– Adapun ikhtilaf tadladldl (perbedaan yang saling bersebrangan) adalah perselisihan pendapat yang mana salah satunya adalah yang benar sedangkan yang lainnya adalah salah, dan tingkatan kesalahannyapun beraneka ragam sesuai masalah yang diperselisihkan, ada yang berkaitan dengan furu’ syari’at, ada yang berkaitan dengan pokok-pokok prinsif yang diyakini Ahlussunnah, dan adapula yang berkaitan dengan tauhid dan syirik. Perbedaan dalam furu’ syari’at ‘amaliyyah yang tidak ada dalil qath’iy di dalamnya tentang hukum suatu hal apakah ia itu halal atau haram, apakah ia itu wajib atau sunnah atau mubah, tentunya salah satu pendapat adalah yang benar, sedangkan yang lainnya adalah salah dan orang yang berijtihad di dalamnya adalah dapat satu pahala bila dia itu ahli ijtihad. Namun bila dia itu orang jahil yang bukan ahli ijtihad, maka apapun hasil ijtihadnya maka dia itu berdosa. Sedangkan perbedaan dalam ushul-ushul i’tiqad yang menyelisihi apa yang dianut Ahlussunnah, maka orang yang menyelisihi aqidah Ahlussunnah di dalamnya, maka pendapatnya adalah sesat lagi bid’ah, seperti pendapat yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk atau pendapat bahwa Allah tidak dilihat di akhirat, atau pendapat yang menafikan syafa’at dan adzab kubur, atau pendapat yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan dan membedakan antara perbuatan syirik akbar dengan pelakunya, ini di antara pendapat yang menyelisihi aqidah Ahlussunnah, dan bila muncul kekeliruan ini dari orang yang ushul pemahamannya adalah lurus (Ahlussunnah) maka dinamakan zallah (ketergelinciran) yang tidak halal diikuti. Sedangkan penyelisihan dalam tauhid dan syirik maka orangnya adalah kafir, seperti orang yang membolehkan meminta-minta kepada orang yang sudah meninggal dunia, atau membuat tumbal dan sesajen atau membolehkan loyal kepada hukum thaghut. Ini semua adalah ikhtilaf tadladldl bukan ikhtilaf tanawwu’.
Sedangkan membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan dalam masalah syirik akbar adalah pendapat yang menyelisihi aqidah Ahlussunnah. Membedakan nau’ dengan mu’ayyan dalam syirik akbar tak lain adalah bid’ah, oleh karena itu Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah tatkala menuturkan orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut Syaikh Muhammad padahal mereka itu jauh dari manhajnya, beliau mengatakan: “Dan setelah diteliti mereka itu tidak mengkafirkan pelaku syirik kecuali secara umum saja dan untuk menerapkannya di antara mereka, mereka sangat enggan, kemudian merebaklah bid’ah dan syubhat mereka itu sampai akhirnya laris dikalangan ikhwan-ikhwan khusus. Itu wallahu a’lam disebabkan (mereka) meninggalkan kitab-kitab induk dan tidak memperhatikannya serta tidak takut dari kesesatan”. [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan, dalam Aqidatul Muwahhidin: 149]
Syaikh Muhammad berkata dalam rangka membantah orang yang enggan mengkafirkan secara mu’ayyan orang yang menyekutukan Allah: “Apakah pernah ada seorang saja dari semenjak zaman sahabat hingga zaman Manshur –Al Bahuty– bahwa mereka (pelaku syirik) itu dikafirkan nau’-nya saja tidak mu’ayyan ?.” [lihat risalah beliau kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy dalam Tarikh Nejd: 346, juga Ad Durar As Saniyyah: 10/69]
Abu ‘Abdillah Abdurrahan Ibnu ‘Abdil Hamid rahimahullah berkata: “Sesungguh-nya tawwaqquf dari takfir mu’ayyan secara muthlaq dan hanya mengatakan bahwa jenis (nau’) orang yang melakukan hal ini adalah kafir, tapi orang mu’ayyan bila melakukannya maka kita tidak bisa mengkafirkannya, pernyataan ini tidak lain adalah sia-sia yang tidak ada maknanya, dan pengguguran akan hukum-hukum syariat, serta ibadah yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma para sahabat, tabi’in dan ulama umat ini.” [Al Jawab Al Mufid: 384]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah: “Dan kita mengetahui orang yang melakukan hal itu (maksudnya syirik) dari kalangan orang yang mengaku Islam, bahwa tidak ada yang menjerumuskan mereka kedalam hal itu kecuali kejahilan. Seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu menjauhkan dari Allah sejauh-jauhnya dan (mengetahui) bahwa itu tergolong syirik yang telah Allah haramkan, tentulah mereka tidak melakukannya, namun semua ulama telah mengkafirkan mereka dan tidak mengudzur karena kejahilan sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang-orang sesat: ‘Sesungguhnya mereka itu diudzur karena sesungguhnya mereka itu jahil’.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/405]
Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata: “Dan seorang dari ahli kiblat tidak boleh dikeluarkan dari Islam sampai dia menolak satu ayat dari Kitabullah, atau sesuatu dari atsar-atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyembelih untuk selain Allah atau shalat untuk selain Allah. Dan bila dia melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas dirimu untuk mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila tidak melakukan sesuatu dari hal itu maka dia muslim mukmin secara nama bukan secara hakikat”. [Syarhus Sunnah: poin 49]
Syarhus Sunnah ini adalah kitab Manhaj Ahlus Sunnah…
Al Imam Abu Hanifah berkata: Tidak ada udzur bagi seorangpun dalam kejahilannya terhadap ma’rifat Khaliq-nya; karena hal yang wajib atas semua makhluq adalah ma’rifah Rabb Subhanahu Wa Ta’la dan mentauhidkan-Nya, dikarenakan dia melihat (tanda-tanda keagungan-Nya) dari penciptaan langit dan bumi serta semua apa yang Allah ta’ala ciptakan. Adapun faraidl maka barangsiapa yang belum mengetahuinya dan belum sampai kepadanya, maka sesungguhnya orang ini belum tegak hujjah hukmiyyah terhadapnya.” (Badaiush Shanaai milik Al Kasaaniy 9/4378, Al Fiqhul Akbar dengan Syarah Ali Al Qariy hal 7, dari ‘Aridlul Jahli hal 153)
Al Imam Asy Syafi’iy rahimahullah berkata: (Seandainya orang jahil itu diudzur karena sebab kejahilannya tentulah kejahilan itu adalah lebih baik daripada ilmu (mengetahui), karena kejahilan itu bisa menggugurkan beban-bebantaklif dari si hamba dan bisa menenangkan hatinya dari berbagai kecaman. Sungguh tidak ada hujjah bagi si hamba dalam kejahilannya terhadap hukum setelah penyampain hujjah (oleh rasul) dan adanya kesempatan, supaya tidak ada hujjah bagi manusia terhadap Allah setelah diutusnya rasul-rasul). (Al Mantsur Fil Qawaid, Az Zarkasyi 2/15-16, lihat ‘Aridlul Jahli hal 16).
Al Imam Al Qarafiy Al Malikiy berkata: Oleh sebab itu Allah tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan dalam ushuluddin secara ijma.” (Syarah Tanqihil Fushul hal 439, ‘Aridlul Jahli hal 160)
Al Qadliy Iyadl berkata: Karena tidak diudzur seorangpun dalam kekafiran dengan sebab kejahilan,” Al Imam Ali Al Qariy berkata saat menjelaskan ucapan Al Qadli Iyadl ini: “….bila kekafirannya tergolong hal yang diketahui secara pasti dalam dien ini, maka dia itu kafir dan tidak diudzur dengan sebab kejahilan.” (Syarh Asy Syifa 2/429, ‘Aridlul Jahli 155)
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “…dan tidak ada ‘udzur bagi orang yang taqlid di dalam tauhid…” (7/280).
Al Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menukil dari Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy seraya mengakuinya, beliau (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy) berkata: (Mereka yaitu Ahlussunnah berkata: Dan tatkala mengetahui Allah itu adalah keimanan dan kejahilan terhadap-Nya adalah kekafiran, dan sedangkan mengetahui faraidl (hal-hal yang difardlukan) itu adalah keimanan dan kejahilan terhadapnya sebelum ia diturunkan adalah bukan kekafiran; karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, sedangkan mereka belum mengetahui faraidl yang difardlukan terhadap mereka setelah itu- maka kejahilan mereka terhadap faraidl itu bukanlah kekafiran, kemudian Allah menurunkan faraidl terhadap mereka, maka pengakuan dan pengamalan mereka terhadapnya adalah merupakan keimanan, dan sedangkankan orang yang mengingkarinya hanyalah dikafirkan karena sebab dia mendustakan khabar (peberitahuan) dari Allah, dan seandainya tidak datang khabar dari Allah tentulah dia tidak menjadi kafir dengan sebab kejahilan terhadapnya. Sedangkan setelah datangnya khabar maka orang muslim yang tidak mendengar khabar tersebut tidaklah menjadi kafir dengan sebab tidak mengetahuinya. Adapun kejahilan terhadap Allah adalah dalam setiap keadaannya merupakan kekafiran baik sebelum ada khabar maupun setelah datangnya khabar).
Syaikh Abu Az Zubair Asy Syinqithiy berkata menjelaskan nukilan di atas ini: Lihatlah nukilan ini, di mana kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum adanya khabar maupun setelah adanya khabar, sedangkan yang dimaksud adalah kejahilan terhadap tauhid-Nya. Adapun dalil terhadap hal itu adalah ucapannya (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy): “karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka”. Sedangkan sudah diketahui secara pasti bahwa pengakuan di sini: adalah pengakuan terhadap tauhid ilahiyyah bukan tauhid rububiyyah saja yang tidak membedakan antara kaum muwahhidin dengan kaum musyrikin. Jadi kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum khabar (hujjah) maupun setelah khabar….” (Al Idlah Wat Tabyin Fi Anna Fa’ilasy Syirki Jahlan Laisa Minal Muslimin: 99-100)
Al Imam Al Baghawi rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: Di dalam firman Allah ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang kafir yang mengira bahwa dia berada di atas kebenaran di dalam agamanya adalah sama dengan orang kafir yang mengingkari dan orang (kafir) yang mu’anid (membangkang). (2/156).
Dan beliau berkata lagi seraya menukil dari Ibnul Qayyim: “Dan Ibnul Qayyim berkata: ‘Saya melihat ucapan yang indah milik Abul Wafa Ibnu Uqail Al Hanbaliy. Saya tuturkan lengkap ucapannya: Tatkala taklif ini dirasa berat oleh orang-orang jahil dan para pengekor, maka mereka berpaling dari tuntunan-tuntunan syariat kepada tuntunan-tuntunan yang mereka buat-buat bagi mereka sendiri, sehingga terasa mudah atas mereka, karena mereka dengannya tidak berada dalam perintah selain mereka.'”. Beliau (Abul Wafa) berkata: Dan mereka adalah orang-orang kafir menurut saya dengan sebab perbuatan-perbuatan ini.
Dan Aba Buthain rahimahullah berkata: “lihatlah pengkafiran Ibnu Uqail terhadap mereka padahal beliau mengabarkan kejahilan mereka.” [Al-Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 33]
Perkataan Ibnu Uqail ini dinukil juga oleh Syaikh Muhammad dalam Mufid Al Mustafid. (lihat Aqidatul Muwahhidin: 64 dan Tarikh Nejed: 375).
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah juga berkata tentang orang-orang yang murtad dizaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhu: Di antara mereka ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan kembali menyembah berhala seraya mengatakan:”Seandainya dia (Rasulullah) adalah Nabi tentulah tidak mati.” Dan di antara mereka ada orang yang tetap di atas dua kalimat syahadat, namun dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa beliau (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan dia dalam kenabian, karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang bersaksi baginya akan hal itu, kemudian banyak dari manusia membenarkan hal itu, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka adalah orang-orang murtad meskipun jahil akan hal itu. Dan siapa yang meragukan kemurtadan mereka maka dia kafir. [Syarh Sittati Muwadli Minas Sirah dalam Majmu’ah At Tauhid: 23]
Hamd Ibnu Nashir Alu Mu’ammar rahimahullah berkata: “Para ulama sudah ijma bahwa orang yang telah sampai dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka sesungguhnya hujjah Allah telah tegak atasnya.” Kemudia beliau berkata: “Dan setiap orang yang telah sampai Al Qur’an kepadanya adalah tidak diudzur.” [Ad Durar As Saniyyah: 72-73]
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Ijma telah terjalin bahwa orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka dia kafir dan tidak diterima darinya alasan ijtihad karena jelasnya dalil-dalil risalah dan tanda-tanda kenabian.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/247]
Dan Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata juga rahimahullah: “Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran (syirik) karena takwil, atau ijtihad, atau keliru (memahami) atau taqlid, atau kejahilan diudzur, sungguh dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah, dan ijma tanpa diragukan lagi. Lagi pula dia itu mesti menggugurkan kaidah pegangannya ini, dan kalau seandainya dia membakukan kaidahnya ini maka dia telah kafir tanpa diragukan, sebagaimana seandainya dia tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 18]
Dan pada realitanya orang-orang yang tidak mau takfir mu’ayyan dalam masalah syirik akbar ini adalah lebih akrab dengan orang-orang kafir daripada dengan para ikhwan tauhid, apalagi kalau hidup dalam kungkungan orang-orang kafir. Syaikh Muhammad rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang keberatan dengan masalah takfir, bila engkau amati mereka ternyata menjadikan para muwahhid adalah musuh-musuh mereka yang mereka benci dan dongkol dengannya, sedangkan orang-orang musyrik dan munafiq adalah sahabat mereka yang mana mereka merasa dekat dengannya. Tapi ini telah terjadi pada orang-orang yang ada didekat kami di Dar’iyyah dan Uyainah yang (akhirnya) murtad dan benci akan dien (ini). [Ad Durar As Saniyyah: 10/91]. Dan ini adalah realita zaman sekarang di mana banyak para santri diusir dari pondok karena mereka ikut kajian tauhid yang mengkafirkan secara ta’yin para thaghut dan ansharnya, namun banyak pengurus pondok itu malah mengudang anshar thaghut untuk meresmikan pondok mereka atau yang serupa itu.
Sebagian orang merasa bergirang hati saat mendapatkan buku tulisan Syaikh Abu Yahya Al Libbiy hafidhahullah yang berjudul Nadharat Fil Ijma Al Qath’iy. Saya jelaskan bahwa buku itu ditulis beliau dalam rangka menjelaskan kekeliruan Syaikh Abdul Qadir dalam tulisannya tentang Anshar Thaghut, di mana syaikh Abdul Qadir di dalam tulisannya itu mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan anshar thaghut secara ta’yin, di mana penulis kitab Al Qaulul Qathi dan penulis Ar Risalah Al Limaniyyah kena vonis kafir ini karena keduanya tidak takfir mu’ayyan anshar thaghut. Dan Syaikh Abdul Qadir saat mengkafirkan orang yang tidak takfir mu’ayyan anshar thaghut ini adalah beliau menganggap bahwa takfir mu’ayyan anshar thaghut itu adalah ijma qath’iy atau ijma maklum fiddien bidldlarurah yang mana orang yang menyelisihinya adalah kafir sebagaimana yang ditegaskan oleh para ulama prihal ijma qath’iy atau ijma maklum fiddien bidldlarurah (yang diketahui umum oleh umat seperti wajibnya shalat, zakat, shaum dan haji juga haramnya zina, mencuri, khamr dll yang semua umat mengetahuinya walaupun tidak mengkaji). Padahal yang benar bahwa ijma prihal takfir mu’ayyan anshar thaghut itu bukan ijma qath’iy atau maklum fiddien bidldlarurah, akan tetapi ijma dhanniy ats tsubuut atau ghair maklum fiddien bidldlarurah (yang tidak diketahui umum oleh umat) namun hanya kalangan khusus yang belajar saja yang mengetahuinya, seperti ijma haramnya memadu seorang wanita dengan bibinya atau ijma bahwa nenek dapat seperenam dari warisan dan ijma-ijma yang semacam itu termasuk juga ijma prihal kekafiran anshar thaghut secara ta’yin juga ijma tidak ada udzur jahil dalam sematan musyrik kepada pelakunya, di mana tidak boleh mengkafirkan orang yang menyelisihi ijma-ijma semacam ini.
Al Maqdisi berkata dalam Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah dalam sikap ghuluw yang ke 28, yaitu bahasan termasuk ghuluw adalah mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi ijma tanpa rincian: An-Nawawi berkata dalam rangka ta’liq terhadap pemuthlakan Ar-Rafi’iy terhadap takfir orang yang mengingkari ijma:
(Al Imam Ar Rafi’iy memutlakan ucapan terhadap takfir orang yang mengingkari suatu yang diijmakan, dan tidaklah ia itu di atas kemuthlaqkannya, akan tetapi siapa yang mengingkari hal yang diijmakan yang ada nash di dalamnya, sedang ia adalah tergolong ajaran Islam yang nampak yang berserikat dalam mengetahuinya kalangan khusus dan kalangan awam seperti shalat, zakat, haji atau pengharaman khamar atau zina dan yang lainya, maka ia adalah kafir.
Dan siapa mengingkari hal yang diijmakan yang tidak diketahui kecuali oleh orang-orang khusus, seperti bagian bintul ibni (cucu perempuan dari anak laki-laki) bila ada putri kandung seorang diri, dan pengharaman nikah wanita yang sedang ‘iddah dan seperti bila orang-orang di masa tertentu berijma atas hukum masalah kontemporer, maka ia tidak kafir) Raudlathul Thalibin 2/146.
Dan berkata dalam Syarah Muslim (Kitabul iman) (Bab perintah memerangi manusia sampai mereka mengatakan laa ilaaha illallah…): (Setiap orang yang mengingkari suatu yang tergolong diijmakan atasnya oleh umat dari urusan dien ini, bila pengetahuan terhadapnya tersebar, seperti shalat yang lima waktu[1], shaum Ramadhan, mandi janabah, pengharaman zina, khamar, nikah dengan mahram dan hukum-hukum lainya kecuali dia itu baru masuk Islam dan tidak mengenal batasan-batasannya…. Sesungguhnya ia bila mengingkari sesuatu darinya karena kejahilan terhadapnya maka ia tidak kafir….[2]
Adapun suatu yang ijma di dalamnya diketahui lewat jalur ilmu orang-orang khusus, seperti pengharaman memadu perempuan dengan bibiyan dan bahwa orang yang membunuh secara sengaja tidak mendapat warisan, dan bahwa nenek mendapat bagian 1/6 warisan, serta hukum-hukum yang serupa itu, maka sesungguhnya orang yang mengingkarinya tidak dikafirkan, namun diuzdur di dalamnya karena pengetahuan terhadapnya tidak menyebar di kalangan umum).1/183.
Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata (702 H): (Masalah-masalah yang bersifat ijma terkadang di sertai tawatur dari pemilik syari’at, seperti kewajiban shalat umpamanya dan terkadang tidak disertai tawatur. Macam pertama orang yang mengingkarinya dikafirkan karena ia menyelisihi tawatur, bukan karena penyelisihannya terhadap ijma. Dan macam kedua tidak dikafirkan dengan sebabnya). Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam 4/ 84.
Dan perhatikan ucapannya (karena ia menyelisihi tawatur, bukan karena penyelisihannya terhadap ijma).
Al Hafidh Al ‘Iraqiy berkata: (Pendapat yang shahih dalam takfir orang yang menginkari ijma adalah membatasinya dengan pengingkaran apa yang diketahui kewajibanya secara pasti dari dien ini seperti shalat yang lima waktu). Fathul Bari 12/202.
Al Qarafiy berkata dalam Al Furuuq berkata: (Dan tidak meyakini bahwa orang yang mengingkari suatu yang diijmakan adalah kafir secara muthlaq, akan tetapi hal yang di ijmakannya ini mesti terkenal dalam dien ini sehinga menjadi dlarurry (pasti), berapa banyak dari masalah-masalah yang diijmakan berupa ijma yang tidak diketahui kecuali oleh khawashshul fuqaha, sedangkan menginkari masalah-masalah seperti ini yang mana ijma samar di dalamnya adalah bukanlah kekafiran) 4/117.
Penulis Maraqi As Su’uud:
Dan tidak dikafirkan orang yang telah mengikuti
pengingkaran ijma, dan sangat buruklah apa yang diada-adakan.
Dan orang kafir lagi mengingkari suatu yang telah
diijmakan yang mana pengetahuanya telah menjadi
hal yang pasti dari dien ini
dan yang sama dengannya dalam kekuatanya adalah hal yang masyhur.
Syaikhul Islam Ibnul Tamiyyah berkata: (Orang-orang telah bersilang pendapat berkenaan dengan orang yang menyelisihi ijma, apakah ia dikafirkan? Ada dua pendapat: (Dan tahqiq adalah bahwa ijma yang maklum, maka orang yang menyelisihinya dikafirkan, sebagaimana orang yang menyelisihi nash dikafirkan dengan sebab ia meninggalkannya, akan tetapi ini tidak terjadi kecuali pada suatu yang mana keberadaan nash diketahui denganya. Adapun pengetahuan terhadap keberadaan ijma dalam suatu masalah yang tidak ada nash di dalamnya, maka ini tidak terjadi, dan adapun yang tidak maklum maka tercegah takfier di dalamnya…). Majmu Al Fatawa cet. Dar Ibnu Hazm 19/146.
Dan beliau rahimahullah berkata dalam rangka mengomentari perkataan Ibnu Hazm dalam Maratibul ijma: (Sesunguhnya orang-orang yang telah memasukan ke dalam ijma suatu yang bukan bagian darinya, sebagian yang lain menganggap pendapat mayoritas adalah sebagai ijma. Sebagian lain menganggap suatu yang tidak mereka ketahui perselisihan di dalamnya sebagai ijma meskipun mereka tidak bisa memastikan bahwa tidak ada perselisihan di dalamya, sebagian yang lain menganggap pendapat seorang sahabat yang masyhur lagi tersebar sebagai ijma bila mereka tidak mengetahui ada yang menyelisihinya dari kalangan sahabat meskipun didapatkan penyelisihan dari kalangan tabi’in dan yang sesudahnya, sebagian yang lain menganggap pendapat seorang sahabat yang tidak mereka ketahui ada yang menyelisihinya dari kalangan sahabat radliyallahu ‘anhum meskipun itu tidak terkenal dan tersebar sebagai ijma, dan sebagian yang lain menganggap ucapan ahlul Madinah sebagai ijma…. hingga ucapan beliau: Dan semua ini adalah pendapat-pendapat yang rusak dan untuk menggugurkannya ada tempat lain, dan cukup untuk menunjukan kerusakannya bahwa kita mendapatkan mereka meninggalkan dalam banyak masalah mereka apa yang mereka sebutkan bahwa itu ijma. Dan mereka cenderung kepada penamaan apa yang kami sebutkan sebagai ijma, dalam rangka pembangkangan dari meraka dan keengganan mereka saat terdesak hujjah dan barahin (bukit-bukit) mereka untuk meninggalkan pilihan-pilihan mereka yang rusak.
Dan juga sesungguhnyan mereka tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka di dalam makna-makna ini, sedangkan di antara syarat ijma yang shahih adalah bahwa orang yang menyelisihinya dikafirkan tanpa ada perselisihan di dalam hal itu di antara kaum muslimin, dan andaikata apa yang mereka sebutkan itu ijma tentu kafirlah orang-orang yang menyelisihi mereka, bahkan mereka sendiri kafir karena mereka sering menyalahinya. Dan untuk menjelaskan hal ini ada tempat ain… walaa haula walaa quwwata illabillahil ‘aliyyil adhim). Maratibul Ijma hal 9-10.
Syaikhul Islam berkata: Apa yang mengharuskan mereka untuk memegangnya berupa pengkafiran orang yang menyelisihi mereka adalah tidak harus, karena banyak dari ulama tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi ijma. Dan ucapanya bahwa orang yang menyelisihi ijma itu kafir tanpa ada perbedaan dari seorang pun di antara kaum muslimin, ia adalah tergolong bab ini, mungkin bisa jadi belum sampai kepadanya penyelisihan di dalam hal itu, padahal sesungguhnya perselisihan dalam hal ini adalah masyhur lagi tersebar dalam kitab-kitab yang beraneka ragam. Dan An-Nadhdham sendiri yang menyelisihi tentang keberadaan ijma sebagai hujjah tidaklah dikafirkan oleh Ibnu Hazm dan orang-orang juga[3], terus orang yang mengkafirkan orang yang menyelisihi ijma hanyalah dia kafirkan bila telah sampai ijma yang ma’lum kepadanya, sedangkan banyak dari ijma-ijma itu belum sampai kepada banyak manusia. Dan banyak dari masalah-masalah yang dipertentangkan di antara kaum muta’akhirin, salah satu dari dua pihak mengklaim ijma dalam hal itu, baik itu dhanniy yang bukan qath’iy, atau ia belum sampai kepada pihak lain, atau karena keyakinannya terhadap tidak terpenuhinya syarat-syarat ijma). (Maratibul Ijma dan Naqdu Maratib Ijma karya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, cetakan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah hal: 11).
Dan akhirnya Syaikhul Islam rahimahullah berkata: (keberadaan sesuatu ma’lum secara pasti dari dien ini adalah hal yang relatif. Orang yang baru masuk Islam dan yang tumbuh di pedalaman yang jauh terkadang tidak mengetahui hal ini secara keseluruhan, apalagi dari keberadaan dia mengetahuinya secara pasti, dan banyak dari ulama mengetahui secara pasti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud sahwi, menetapkan wajib diyat bagi ‘aqilah (ahli waris si pembunuh), beliau putuskan bahwa anak itu dinisbatkan kepada al firasy (suami) dan hal lainya yang diketahui pasti oleh kalangan khusus, sedangkan mayoritas manusia tidak mengetahuinya sama sekali). Majmu’atur Rasaa-il Al Kubra karya Ibnu Taimiyyah 1/89.
Dan cukup dengan ini agar saya menyimpulkan apa yang telah lalu, dengan mengatakan: Bahwa orang yang menyelisihi ijma yang shahih hanyalah dikafirkan saat terealisasi syarat-syarat berikut ini:
1. Terbukti sebagai ijma yang sharih lagi shahih berdasarkan apa yang telah kami ketengahkan kepada anda.
2. Terbukti diketahui secara qath’iy lagi tsabit.
3. Ijma ini berdiri di atas dasar nash shahih yang maklum, yaitu ia memiliki sandaran (dalil) dari syari’at, sehingga orang yang mengingkari ijma ini adalah orang mengingkari nash ma’lum itu, Allah ta’ala berfirman:
وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ
“Dan tidak mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang kafir”.
4. Ijma itu terjadi pada suatu yang ma’lum secara pasti dari dien ini, yaitu termasuk masalah-masalah yang terkenal yang diketahui oleh kalangan umum dan kalangan khusus, dan bukan tergolong masaa-il khafiyyah atau yang tidak di ketahui kecuali orang-orang khusus dari para ulama. Maka dalam masalah-masalah seperti ini mesti ada iqamatul hujjah dan bayan (penjelasan) sebelum takfir.
5. Orang yang mengingkari ijma itu bukan tergolong orang-orang yang baru masuk Islam atau orang-orang yang tinggal di pedalaman yang jauh atau yang yang belum sampai hujjah kepada mereka, dan terkadang samar atas mereka dengan sebab itu masalah-masalah yang ma’lum lagi masyhur di antara kaum muslimin.
Dan akhirnya…. sungguh Syaikhul Islam berkata saat berbicara tentang satu ayat dalam surat An-Nisa (115): “Dan siapa yang menentang Rasul” : (Dan ayat ini menunjukan bahwa ijma kaum mu’minin adalah hujjah, dari sisi bahwa penyelisihan terhadap mereka memastikan penyelisihan terhadap Rasul, dan bahwa setiap apa yang mereka ijmakan itu mesti di dalamnya ada nash dari Rasul, maka setiap masalah yang dipastikan di dalamnya dengan ijma dan dengan tidak adanya penyelisih di antara kaum mu’minin maka sesungguhnya ia tergolong apa yang Allah jelaskan petunjuk di dalamnya, dan orang yang menyelisihi ijma semacam ini adalah dikafirkan sebagaimana dikafirkannya orang yang menyelisihi nash yang nyata.
Dan adapun bila ia menduga ijma namun tidak bisa dipastikan, maka di sini tidak dipastikan –juga– bahwa ia termasuk hal yang jelas petunjuk di dalamnya dari sisi Rasul, dan orang yang menyelisihi ijma semacam ini terkadang tidak dikafirkan, bahkan terkadang terjadi dugaan ijma itu keliru, sedangkan yang benar adalah yang berlainan dengan pendapat ini.
Inilah putusan penentu dalam hal yang denganya (orang) dikafirkan oleh sebab penyelisihan terhadap ijma dan hal yang tidak dikafirkan denganya). Majmu Al Fatwa Dar Ibnu Hazm 7/29.
Perhatikanlah pemilahan beliau dalam takfier dengan sebab penyelisihan terhadap ijma antara ijma yang qath’iy dengan yang dhanniy, dan perhatikan penetapanya bahwa menyelisihi ijma qath’iy mesti darinya menyelisihi Rasul, dan karena itu dikafirkanlah orang yang menyelisihi ijma semacam ini.
Dan atas dasar ini, maka suatu yang tergolong ijma yang tidak diketahui sandarannya, dan tidak sharih sumbernya atau dalilnya yang mana ijma itu berdiri di atasnya, sebagaimana keberadaan banyak dari klaim-klaim ijma, atau ia tergolong suatu yang tidak diketahui secara pasti dari dienul muslimin, maka sesungguhnya takfier saat itu terhadap orang yang menentang atau orang yang menyelisihi ijma-ijma semacam ini adalah kembali kepada yang telah lalu diingatkan terhadapnya berupa takfier billazim yang mana ia adalah sumber ketergelinciran, dan suatu yang tidak sah takfier denganya kecuali setelah iqamatul hujjah dengan memberitahukan terhadap lazimul qaul (kemestian konsekuensi suatu pendapat) dan kemudian orang yang mengucapkannya konsekwen terhadapnya. (selesai ucapan Al Maqdisiy).
Syaikh Maisarah Al Gharib dalam risalah Innamaa Syifaaul ‘Iyyi As Sual hal. 6 berkata: Permasalahan yang disepakati lagi diijmakan itu ada yang maklum fiddien bidldlarurah (diketahui umum oleh umat) maka tidak diudzur dengan sebab kejahilan, dan ada juga yang tidak maklum fiddien bidldlarurah (diketahui umum oleh umat).”
Sedangkan prihal kekafiran anshar thaghut secara ta’yin itu telah diijmakan oleh para ulama, silahkan untuk rincian dalil pembaca merujuk kitab-kitab berikit ini:
- At Tibyan Fi Kufri Man A’anal Amrikan milik Syaikh Nashir Al Fahd,
- Al Iidlaah Wat Tabyiin fi Annal Hukkam Ath Thawaghit Kuffar ‘Alat Ta’yin milik Syaikh Abdul Hakim Hassan,
- Natsrul Lulu Wal Yaqut milik Syaikh Abdul Hamid Ibnu Abdirrahman,
- Ad Dalaail milik Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad,
- Sabilun Najah wal Fikak milik Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq,
- Tuhfatul Muwahhidin milik Lajnah Syar’iyyah Jama’ah Tauhid dan Jihad di Baitul Maqdis,
- Al Mashabih Al Munirah milik Al Maqdisiy serta kitab-kitab lainnya yang semuanya menetapkan ijma atas hal itu.
Jadi kita mengetahui bahwa memang klaim ijma qathi’iy dalam takfir mu’ayyan anshar thaghut adalah tidak benar, dan mengkafirkan orang yang tidak takfir mu’ayyan anshar thaghut yang dilakukan oleh Syaikh Abdul qadir adalah tidak benar juga, maka pahamlah maksud pokok penulisan risalah Syaikh Abu Yahya Al libbiy itu, dan beliau benar dalam kritik pada sisi ini. Namun prihal kekafiran anshar thaghut secara ta’yin adalah suatu kebenaran yang jelas berdasarkan dalil-dalil Al Kitab, As Sunnah dan ijma dhanniy atstsubut atau ghair maklum fiddien bidldlarurah yang telah dijelaskan uraiannya di tempat lain yang mana orang yang tidak takfir mu’ayyan anshar thaghut adalah tidak halal dikafirkan kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dilenyapkan syubhatnya.
Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik itu, beliau menjawab: “Bila dia ragu akan kekafiran mereka atau tidak tahu akan kekafirannya maka dijelaskan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang menunjukan kekafiran mereka, kemudian bila dia ragu setelah itu atau bimbang maka sesungguhnya dia adalah kafir dengan ijma para ulama bahwa orang yang ragu akan kekafiran orang kafir adalah kafir. [Autsaqu ‘Ural Iman: 96 dalam Majmu’ah At Tauhid].
Adapun klaim mawani’ dalam takfir mu’ayyan pelaku syirik akbar selain ikrah dan intifaul qashdi, maka kita menutut kepada orang yang menetapkan mawani’ tersebut siapapun dia agar membuktikannya dengan dalil syar’iy yang shahih lagi sharih bukan dengan ucapan tokoh yang tidak berdalil atau dengan logika belaka atau perasaan, karena mani’iyyah (status sesuatu sebagai mani’) dan syarthiyyah (status sesuatu sebagai syarat) itu adalah hukum syar’iy wadl’iy yang tidak boleh ditetapkan kecuali dalil yang sharih lagi shahih. Namun bila mereka tidak bisa membuktikannya secara dalil syar’iy maka mereka itu tergolong orang-orang yang dikatakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syura: 21).
Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membela-bela kaum Quburiyyun dan Dusturiyyun (para penyembah undang-undang kafir dari kalangan thaghut dan ansharnya), keadaannya tidak lepas dari tiga keadaan, silahkan kalian pilih salah satunya bagi diri kalian. Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata dalam rincian tiga keadaaan tentang orang-orang yang membela Jahmiyyah, Ibadliyyah dan kaum murtaddin dari kalangan ‘Ubbadul Qubur yang mana sebagian ahli bid’ah mengudzurnya dengan sebab kejahilan dan mereka malah mengingkari terhadap ikhwan tauhid yang mengkafirkannya:
1. Bisa jadi mereka telah kalian dakwahi dengan hikmah dan mauidhah hasanah (pengajaran yang baik) serta kalian mendebat mereka dengan dalil-dalil yang bisa diakui dan diterima oleh setiap orang, terus mereka itu menerima apa yang kalian ajak kepadanya berupa petunjuk dan dien yang haq, dan mereka rujuk dari kesesatannya serta taubat, kembali dan komitmen dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bila keadaannya seperti ini maka berarti orang yang memusuhi mereka dan yang protes kepada kalian dan kepada mereka adalah salah, dzalim lagi aniaya.
2. Dan bisa jadi mereka tidak menerima ajakan kalian berupa petunjuk, dienul haq dan jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan justeru mereka ngotot, membangkang, keras kepala, dan melawan Allah layaknya unta yang melawan pemiliknya, maka berarti hujjah telah tegak atas mereka. Bila demikian maka tak ada larangan dari mengkafirkan mereka, menampakan permusuhan kepada mereka, bara’ darinya, memusuhinya, mentahdzirnya, menjauhinya dan memutus hubungan dengan mereka karena hujjah telah sampai dan tegak atas mereka.
3. Dan bisa jadi kalian itu tidak mendakwahinya dan tidak menasehatinya, maka berarti kalian tergolong pendukung dan kroni-kroni mereka serta para pembela-bela mereka sebelum mendakwahi mereka kepada dienullah dengan hikmah, mau’idhah hasanah dan penegakan hujjah atas mereka.
هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ يُجَادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلا
“Inilah kalian yang membela-bela mereka di dunia ini, maka siapa yang bisa membela-bela mereka dari (adzab) Allah di hari kiamat, atau siapa orangnya yang bisa melindungi mereka…?” (An Nisaa: 109)
Kalian jadikan diri kalian sebagai tameng mereka di mana kalian menulis tulisan untuk membantah orang yang memusuhi mereka, berusaha mengalahkan mereka, membenci mereka dan menyebarkan keburukan, kebusukan serta kesesatan mereka.
Apakah kalian tidak takut suatu hari yang mana kalian di hari itu dikembalikan kepada Allah…??! [Kasyfu Asy Syubhatain: 55-56]
Saya kira cukup jawaban kami untuk menegur penyebar syubhat dan mengingatkan arrahmah.com agar tidak menyebarkan hal yang mendatangkan polemik di barisan ahlu tauhid wal jihad, dan malah membuat BNPT senang dan girang dengannya. Kalau memang penulis itu adalah da’i tauhid maka tulislah dan terjemahkanlah materi-materi yang membongkar kekafiran pemerintah ini di hadapan manusia secara tegas dan nyata agar penyebaran tauhid ini segera meluas, dan hendaklah arrahmah.com menyebarkannya kalau memang jujur sebagai situs tauhid dan jihad. Jangan malah membuat PR bagi ikhwan tauhid yang sudah diserang dari segala penjuru….
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallalllahu alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya semua.
Mu’taqal Thaghut laknatullah ‘alaihim
20 Jumadil Akhir 1433 H. / 12 Mei 2012 M.
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Endnote:
[1] Di sini beliau tidak menyebutkan zakat, karena pembahasan sebelum ini langsung tentang zakat, padahal zakat tergolong hal itu.
[2] Di tempat lain dalam Kitabul Iman berkata juga: (Siapa yang mengingkari suatu yang diketahui secara pasti dari dien ini, maka dia divonis murtad dan kafir kecuali orang yang baru masuk islam atau tingal di pedalaman yang jauh dan yang lainya dari kalangan orang yang samar hal itu terhadapnya, maka ia perlu ta’rif (pemberitahuan), kemudian bila ia terus bersikukuh maka ia dihukumi kafir. Dan begitu juga hukum orang yang menghalalkan zina atau khamr atau membunuh atau hal-hal haram lainnya yang keharamanya diketahui pasti) Syarh Muslim 1/134.
[3] Yang di maksud di sini bahwa mereka tidak mengkafirkanya karena pengingkaranya terhadap hujjiyatul ijma , karena kalau tidak demikian, sunguh suatu yang maklum bahwa sekelompok ulama telah mengkafirkan nya karena sebab hal-hal lain, sedangkan An–Nadhdhan adalah guru Al Jahidh Ibrahim Ibnu Sayyar Al Qashriy Al Mu’taziliy, meninggal tahun (231) kira-kira, ada yang mengatakan bahwa dia jatuh dalam kondisi mabuk dari kamar, terus mati saat usia 36 tahun, dia mengambil paham mu’tazilah dari paman jalur ibunya Ibnul Hudzail dia dikafirkan oleh pamannya itu dan kalangan mu’tazilah lainya, apalagi kelompok dari Ahlus Sunnah, dan dialah orang pertama yang mengingkari ijma dan qiyas serta lancang terhadap sahabat, juga sering mencela ahlul hadits.
***
Must Read:
Klarifikasi dari redaksi arrahmah.com atas hak jawab ustadz Aman Abdurrahman hafizahahullah
(muhib almajdi/arrahmah.com)