TAIPEI (Arrahmah.com) – Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan memberikan tanggapan terkait mahasiswa RI diduga menjadi korban kerja paksa di Taiwan yang diberitakan oleh media massa di Indonesia, Taiwan, dan Internasional.
“Ada beberapa hal yang kami dari Perhimpunan pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan akan sampaikan. hal- hal yang disampaikan berikut ini adalah dari klarifikasi dari beberapa sumber yang dapat dipercaya, hasil dari ikhtiar PPI Taiwan dan juga stakeholder kami,” kata PPI Taiwan dalam keterangan tertulis seperti yang dilansir di situs resminya.
Yang pertama, kata PPI, kasus double track atau kuliah dan magang ini memang sudah menjadi perhatian yang lama PPI secara organisasi.
“PPI Taiwan Bersama dengan rekan-rekan PPI Kampus telah mengidentifikasi berbagai masalah di program ini dan telah melaporkan dan terus berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia di Taiwan yaitu Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei (KDEI Taipei) untuk mencari penyelesaian masalah ini,” jelasnya.
Yang kedua, program kuliah sambil kerja (magang) adalah salah satu program legal dibawah kebijakan New Southbound Policy (NSP) dengan nama Industrial Academia Collaboration. Ada 69 universitas dan sekitar 6 sampai 10 universitas yang fokus dengan pelajar dari Indonesia.
Yang ketiga, pelajar yang mengikuti program ini harus bekerja adalah LEGAL.
“Teman-teman mahasiswa memang harus bekerja (magang) untuk memenuhi biaya sekolah dan hidupnya karena tidak ada beasiswa. Ada beberapa universitas hanya memberikan beasiswa 6 bulan sampa 1 tahun saja,” kata PPI.
“Yang ke-empat, setelah kami mengonfirmasi ke beberapa mahasiswa di universitas yang disebut dalam pemberitaan, memang ada kelebihan jam kerja dari yang telah ditentukan (20 jam per minggu untuk pelajar),” lanjutnya.
Menurut PPI Taiwan, seluruh jam kerja yang dilakukan tetap diberikan gaji dan kata “kerja paksa” sebenarnya kurang tepat untuk hal ini. Sejaun ini ada beberapa mahasiswa yang mengeluh capek dan ada juga beberapa mahasiswa yang menikmati hal ini.
Yang kelima, lanjut PPI, memang hal ini perlu perhatian segera pemerintah Indonesia untuk turun langsung ke Taiwan, sehingga bisa langsung memonitoring langsung implementasi program kuliah magang termasuk didalamnya sejauh mana peran dan juga keterlibatan agen dengan permasalahannya.
Dengan jumlah mahasiswa yang semakin bertambah (saat ini ada lebih dari 6000 pelajar di Taiwan) dengan berbagai dinamika permasalahan yang dihadapi, sudah selayaknya dipertimbangkan untuk adanya staff pendidikan yang setara dengan Atase untuk membantu pemerintah mengelola, memonitoring, dan mengevaluasi program-program kerjasama yang ditawarkan antara Indonesia dan Taiwan.
PPI Taiwan dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei mulai dari beberapa tahun lalu hingga saat ini sedang melakukan pendalaman terhadap informasi yang berkembang mengenai program kuliah magang ini.
Namun demikian, menurut PPI, untuk mencegah dampak negatif lebih jauh, Pemerintah Indonesia melalui KDEI Taipei sedang mengkoordinasikannya dengan otoritas terkait di Taiwan guna menyepakati solusi bersama.
Permasalahan ini muncul karena sejumlah pihak melakukan perekrutan dan pengiriman mahasiswa magang secara masif, sementara kedua belah pihak belum menyepakati detail pengelolaannya melalui suatu technical arrangement.
PPI Taiwan juga membuka terus jalur komunikasi melalui semua kanal social media PPI Taiwan apabila ada rekan-rekan yang ingin melakukan pengaduan jika terjadi ketidaknyamanan atau keluhan bahkan
“Pelanggaran hak yang terjadi kepada teman-teman mahasiswa. Pengaduan yang disampaikan akan kami teruskan ke KDEI Taipei untuk nantinya dicarikan solusi atas permasalahannya,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)