Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA *
(Arrahmah.com) – Sehubungan dengan konser amal penggalangan dana secara virtual bertajuk “Bersatu Melawan Corona” yang digelar oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerjasama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Indika Foundation, dan lain-lain pada hari Ahad, 17 Mei 2020, maka saya ingin memberikan tanggapan sebagai berikut:
Pertama: Menyanyangkan adanya konser ini. Konser ini telah menyinggung umat Islam dan rakyat Indonesia, karena diadakan pada saat pandemi Covid-19. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan. Bahkan acara ini terkesan pencitraan pemerintah Jokowi.
Kedua: Konser ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pancasila. Saat ini, rakyat sangat menderita akibat pandemi. Ekonomi mereka hancur dan sangat susah. Mereka sangat membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Seharusnya, biaya untuk konser ini bisa diberikan kepada rakyat yang sedang menderita dan mengalami kesulitan hidup.
Ketiga: Konser ini tidak patut dilakukan oleh pemerintah, terlebih lagi pada saat pandemi ini, karena hanya menghamburkan uang negara dan pemborosan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak peka terhadap persoalan rakyat, bahkan menyakiti perasaan rakyat. Tidak hanya itu, pemerintah terkesan tidak mampu mensejahterakan rakyat. Pemerintah hanya mampu menjadi CEO penyelenggara konser dan mensejahterakan orang-orang tertentu.
Keempat: Konser ini bertentangan dengan syariat Islam. Tentu saja ini maksiat. Islam memerintahkan umatnya mengisi bulan Ramadhan dengan memperbanyak ibadah. Begitu pula melarang segala maksiat dan hal-hal yang melalaikan ibadah. Konser ini acara hura-hura, lagu, musik, joget, dan melalaikan ibadah.
Kelima: Tidak hanya itu, konser ini telah melecehkan kemuliaan dan keagungan bulan Ramadhan. Bagi umat Islam, Ramadhan itu bulan yang mulia dan agung. Selain itu, bulan Ramadhan juga bulan ibadah. Sepatutnya pemerintah menghargai dan menghormati bulan Ramadhan. Tindakan pemerintah mengadakan konser ini telah bertentangan dengan toleransi beragama. Ini tindakan intoleran dan radikalisme.
Keenam: Tidak pernah terjadi dalam sejarah di Indonesia adanya konser yang resmi digelar oleh pemerintah pada bulan Ramadhan. Anehnya, hanya pada rezim ini konser resmi digelar oleh negara dengan berbagai alasan yang dibuat-buat dan tidak masuk akal. Tentu ini menimbulkan pertanyaan. Ada apa sebenarnya?
Ketujuh: Tidak ada satupun negara-negara di dunia yang menggelar konser amal pada saat pandemi. Anehnya, hanya Indonesia satu-satunya negara yang menggelar konser ini. Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang menikmati hasil pengumpulan dana konser ini? Sudah pasti hanya orang-orang tertentu, bukan seluruh rakyat. Ini tidak adil. Padahal konser ini dibiayai oleh pemerintah pakai uang rakyat.
Kedelapan: Konser ini bertentangan dengan aturan PSPB dan physical distancing yang dibuat oleh pemerintah yang melarang perkumpulan orang pada saat pandemi. Terlebih lagi mengabaikan aturan protokol covid-19 dengan tidak pakai masker dan tidak menjaga jarak. Berarti pemerintah tidak komitmen terhadap aturan dan tidak memberikan contoh yang baik. Anehnya, masjid-masjid ditutup untuk menghindari perkumpulan orang, namun konser ini diadakan.
Kesembilan: Meminta kepada pemerintah untuk membubarkan BPIP. BPIP hanya mampu menjadi event organizer konser, tidak layak menjadi lembaga negara. Habis uang negara untuk membiayai gaji orang-orang di BPIP dari puluhan juta sampai seratus juta lebih. Gaji gede, tapi kerja tidak jelas dan tidak ada manfaat, bahkan selalu buat masalah. Sebelum ini, BPIP telah membuat kegaduhan bangsa dengan pernyataan bahwa agama adalah musuh terbesar pancasila dan konstitusi lebih tinggi dari Alqur’an. Ini jelas bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
Demikianlah tanggapan saya terhadap persoalan ini sebagai wujud kepedulian saya terhadap persoalan umat dan bangsa. Semoga pendapat yang saya sampaikan ini bermanfaat bagi umat dan bangsa. Amin.
Banda Aceh, Rabu 27 Ramadhan 1441 H/ 20 Mei 2020 M
*) Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Doktor Fiqh & Ushul Fiqh di International Islamic University Malaysia (IIUM), Ketua Jaringan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) Provinsi Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama & Da’i Asia Tenggara.
(ameera/arrahmah.com)