JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsuddin sebelumnya menghimbau kepada kedua kubu pasangan calon presiden-wakil presiden agar menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah karena itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif (menjelekkan) pada pilpres 2019.
Din Syamsuddin dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (30/3/2019) menyebutkan bahwa imbauan itu sesuai dengan hasil Rapat Pleno Ke-37, pada Rabu (27/3).
Din menyebutkan, walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al Quran adalah ajaran Islam yang mulia.
Imbuan tersebut mendapat respon positif, namun ada juga yang memberikan kritikan, diantaranya datang dari KH. Hamdan Rasyid (tokoh NU Jakarta), Dr. Nadirsyah Hosen (Ketua PCINU Australia), dan Khalid Syairazi (Sekjen ISNU).
Menurut Dr. Nadirsyah Hosen, Dosen Hukum di Monash University, Din Syamsuddin telah keliru karena tidak bisa membedakan antara sistem khilafah dengan khalifah.
“Point kedua amat fatal kelirunya: tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menggunakan istilah Khilafah. Yang ada itu soal Khalifah,” ujar pria yang akrab dipanggil Gus Nadir itu dalam cuitan twitternya, pada Sabtu (30/03).
Berikut tanggapan Din Syamsuddin:
Bismillahirrahmanirrahim.
Saya sudah membaca tanggapan kritis KH Hamdan Rasyid dan DR Nadirsyah Hosen lewat media sosial. Saya mengucapkan terima kasih atas nasihat mereka agar saya belajar dan mendalami bahasa Arab agar tidak sesat dan menyesatkan, serta gagal paham tentang konsep ‘khalifah’ dan ‘khilafah’.
Memang saya mengakui bahwa pengetahuan saya tentang bahasa Arab sangat minim, walaupun merasa sudah belajar sejak Madrasah Ibtidaiyah, di Gontor, UIN, hingga S2 dan S3 yang ada seminar dengan menggunakan bahasa Arab di Univeristas California (UCLA) dulu. Oleh karena itu saya ingin berguru kepada kedua pakar itu yang pengetahuan bahasa Arabnya tinggi dan dalam.
Untuk itu saya ingin beliau berdua menguji pemahaman saya tentang konsep Alqur’an, khususnya tentang khalifah dan khilafah. Yang disebut oleh Alquran memang hanya kata khalifah (tidak ada penyebutan kata khilafah).
Namun, karena yang kedua adalah bentuk derivatif dari yang pertama (fa’il dan fi’alah/noun dan verbal noun), maka secara substansial khilafah juga dikandung oleh Alquraan. Tentu ini merupakan kesimpulan kaum substantivis, yang mungkin tidak diterima oleh kaum tekstualis. Sama halnya polemik ttg ‘aradh dan jauhar di kalangan mutakallimun maunpun falasifah, sebagaimana antara lain dibahas dlm Kitab Ushul al-Din, karya Al-Baqillani, salah seorang ulama Sunni terkemuka.
Ini pulalah yg kemudian diadopsi oleh fukaha seperti Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah yang pada baris pertama sudah menyebut khilafah dalam konteks khilafat al-Nubuwwah. Al-Mawardi tentu merujuk kepada konsep khilafah sejak Umawiyyyah hingga Abbasiyyah. Khilafah sbg lembaga politik selama itu berada di tangan para khalifah. Dari sinilah mulai muncul ‘alaqah ma’nawiyah’ bahkan tasyaqquq ma’nawi antara kedua istilah yg saling berkelit berkelindan, atau menurut Imam Al-Ghazali dalam bahasa Persia disebut az yik modar omad.
Saya cukupkan sketsa pemahaman awam saya di sini dan dapat dikembangkan dengan membuku kitab para mutakallimun, fukaha, dan falasifah tentang maudhu ini. Terkait bahasa Arab yang kedua figur itu lebih luas ilmunya dari saya, mungkin mereka bisa jelaskan “apakah kata khilafah dan khalifah yg berbeda bunyi tidak memiliki kaitan maknawi”.
Kalau tidak salah akar kata keduanya sama yaitu kha la fa, yg berarti mengganti, mewakili, atau datang kemudian. Bukankah kalau demikian terdapat ‘alaqah ma’nawiyah, walau berbeda wazan. Khalifah adalah orang/pelaku, sedangkan khilafah adalah wujud dari perbuatan khalifah, yang mengandung arti sistem nilai kehidupan.
Memang orang yang memahami khilafah sebagai lembaga politik (hukumah siyasiyah/political authority or a form of government) akan mengatakan keduanya berbeda. Hal demikian mafhum adanya. Konsep fukaha siyasah Sunni, sejak Ibn Qutaybah dgn ‘Uyun al-Akhbar, Ibn al-Muqaffa’ dgn al-Adab al-Kabir wa al-Adab al-Shagir, hingga Al-Mawardi dgn Al-Ahkam al-Sulthaniyah maupun Al-Ghazali dengan kitab berbahasa Persianya Nashihat al-Mulk sudah lama dikritik oleh fukaha madzhab al-Siyasat al-Syar’iyyah seperti Ibn Taymiyyah maupun Ibn Jama’ah yg menulis ‘Tahrir al-Ahkam’.
Kritik lebih keras diberikan oleh Ibn Khaldun dlm Muqaddimah pada sebuah sub-judul Fi inqilab al-Khilafah ila al-Mulk. Ibnu Khaldun menganggap khilafah historis pasca al-Khilafat al-Rasyidah adalah kerajaan karenanya merupakan sulthah madaniyyah bukan sulthah diniyyah. Khilafah historis itu adalah manifestasi dari patrimonalisme Arab.
Dalam kaitan ini, dari dulu saya tidak menyetujui konsep khilafah modern ala Rasyid Ridha (al-khilafat al- ‘uzma), atau Al-Nabhani, maupun Abul Kalam Azad. Ketaksetujuan terhadap konsep khilafah sebagai kekuasaan politik ini (tanpa harus mengecamnya sesat menyesatkan tapi menghargainya sebagai ijtihad), selain mempertimbangkan Ali Abd al-Raziq dgn Al-Islam wa Ushul al-Hukm, juga karena pertimbangan realistik bahwa masyarakat dunia sekarang sudah berada dalam Negara Bangsa (Nation State) yang menuntut pengamalan al-muwathanah al-musytarakah (common citizenship).
Lebih dari pada itu, di Indonesia tercinta, kita sudah mengukuhkan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Abode of Consensus and Abode of Testimony). Namun, konsep khilafah tidak berarti harus ditiadakan, karena khilafah memiliki konteks pengertian non politis.
Dalam kaitan misi mondial manusia yakni sebagai khalifatullah fi al-ardh, maka khilafah dalam tafsir kontekstual dapat berbentuk sistem peradaban yg menampilkan prinsip wasathiyah dan rahmatan lil ‘alamin. Pada hemat saya, sistematika baru ajaran-ajaran Islam bisa mengambil bentuk: Tauhid >Khilafah >Ishlah yang berdimensi ganda al-wasathiyah (Jalan Tengah) dan al-‘ashriyyah (kemodernan/kemajuan).
Ada orang menolak pengaitan khalifah (misi kemanusiaan) dengan khilafah, hanya karena tidak kesetujuan mereka dengan ‘khilafah politik ala Hizbut Tahrir’. Inilah kerancuan. Terhadap konsep khilafah perennial, Hizbut Tahrir reduksionis. Pihak yang menolak Hizbut Tahrir kemudian juga terjebak kepada reduksionisme bahkan melakukan distorsi.
Posisi pikiran saya: kembalikan konsep khilafah ke makna ‘perennial’ (bahwa manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh bertugas membangun khilafatullah fi al-ardh. Dalam tafsir kontekstual, khilafah perennial mengambil bentuk sistem peradaban dunia (world system) analog dengan tamaddun yang dibangun Muhammad SAW di Madinah dulu.
Dalam perspektif bahasa Arab yang sedikit saya pahami, khalifah dan khilafah, yg berasal dari akar kata yg sama memiliki ‘alaqah ma’nawiyah jauhariyyah bahkan tasyaqquq ma’nawy.
Maka saya prihatin dengan gegap gempita pengganyangan khilafah politis yang telah membawa dampak sistemik penegasian khilafah kultural dan ‘sivilisisional’. Jika ini berkembang, maka Peradaban Islam sebagai al-badil al-tsaqafi, meminjam istilah Tariq Ramadhan ditutup pintu kebangkitannya.
Lebih dari pada itu, mengangkat khilafah sebagai isu politik Perpilpresan dan mempertentangkannya dengan Pancasila dalam nada labelisasi dan generalisasi pejoratif, pada hemat saya, potensial mengungkit luka lama yang dengn susah payah kita semua jernihkan tentang hubungan Islam dan Negara Pancasila.
Pada latar pikiran di atas itulah Dewan Pertimbangan MUI lewat Rapat Pleno ke-37 pada 27 Maret 2019 mengeluarkan Taushiyah. Terima kasih atas tanggapan baik yg positif maupun yang negatif.
Allahu a’lam bi al-shawab.
(ameera/arrahmah.com)