Oleh: Haris Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur The Community of Ideological Islamic Analisyst (CIIA)
(Arrahmah.com) – Terkait kasus tewasnya 2 orang terduga teroris di Tulung Agung Jatim Senen Pagi hari tadi, berikut tanggapan Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur The Community of Ideological Islamic Analisyst (CIIA), Haris Abu Ulyayang diterima redaksi arrahmah.com melalui surat elektronik;
-
Saya sebenarnya speechless atas kejadian ini, di bulan Ramadhan dimana umat Islam lagi khusuk ibadah puasa ternyata sebaliknya Densus 88 “beribadah” mengumbar nafsu membunuhnya kepada orang yang hanya di duga teroris.
Sejahat dan seburuk apapun rupa Iblis, saya belum pernah menyaksikan gerombolan iblis membunuh manusia dengan cara brutal dan jalanan. Inilah negeri dengan hukum rimba, yang kuat yang menang. Yang lemah akan jadi tumbal keangkara murkaan dan kedurjanaan. Apalagi jika kelompok para durjana itu mendapatkan mandat atas nama UU “kebenaran” versi mereka.
-
Selama ini versi BNPT pendekatan persuasif dianggap tidak efektif menangani terorisme, maka pertanyaannya kenapa aparat Densus 88 dilapangan tidak belajar teknik melumpuhkan target agar bisa diseret ke pengadilan? Apa non persuasif itu bagi BNPT dan Densus 88 artinya harus membunuh? Belajar Dari kasus demi kasus, maka sebenarnya siapa yang memelihara dan menjadi sumber kekerasan dan terorisme di Indonesia saat ini? Apa dengan membunuh target terduga teroris kemudian akan selesai urusan? Tentu tidak, karena akan menjadi titik tolak baru lahirnya ideologi kebencian dan dendam kepada aparat keamanan khususnya Densus88 dan orang-orang BNPT.
-
Dari banyak kesaksian, 2 orang tewas dan 2 orang hidup dibawa Densus dengan kondisi bisa dipastikan babak belur itu tanpa perlawanan sama sekali. Apakah ini cara profesional dan SOP yang harus dilestarikan? Apakah orang-orang yang statusnya baru terduga harus seperti itu hukumannya? Pembunuhan diluar pengadilan itu indikasi rendahnya kwalitas aparat kontra terorisme dilapangan dengan semua unitnya.
Bukan hal yang sulit untuk membuat legitimasi tindakan, bagi pihak aparat dengan mudah bisa jumpa pers menjelaskan kenapa harus ditembak mati bahkan kemudian membeberkan barang bukti. Ditambah asumsi dilapangan cerita aparat dalam kondisi darurat karena terduga membawa senpi dan bom siap ledak. Kebenaran statemen tersebut belum teruji, tapi lebih sebagai langkah menutup semua potensi yang bisa menyudutkan aparat. Human error dalam kasus kontra terorisme sudah kerap terjadi, salah tangkap, salah tembak tapi semua dianggap legal hanya karena mereka di cap; terduga/terkait/tersangka/buron terorisme.
-
Saya yakin cara-cara Densus 88 dan konsep-konsep BNPT dalam kontra terorisme jika seperti ini yang diimplementasikan maka akan menjadi akar baru distabilitas keamanan di Indonesia. Cara-cara “dehumanisasi teroris” dalam penanganannya telah mengendapkan “perang” laten kepada sekelompok umat Islam dan menjadi seperti bara dalam sekam yang kapan saja bisa berkobar jika ada pemicu dan momentumnya. Cara-cara orang berakal dan manusiawi akan menekan sekuat mungkin alias menghindari kesewanang-wenangan penggunaan kekuatan (abuse of power) yang mencederai rasa kemanusiaan dan keadilan banyak orang.
-
Sebagai seorang muslim harusnya Presiden SBY dan jajarannya berpikir serta mau jujur muhasabah diri. Yang dibunuh Densus 88 itu juga anak negeri ini dan Rakyatnya juga, apakah hati mereka telah membatu, matanya buta dan tuli telinganya? Bukankah negeri ini negeri hukum, dimana letak supremasi hukum? Siapapun orangnya, apakah teroris atau Densus 88 atau gerombolan preman, mereka tidak punya hak mencabut nyawa seseorang dengan seenaknya.
Apalagi hanya karena atas dasar kebencian, balas dendam, dugaan, sangkaan, sementara mereka belum pernah diadili didepan hakim bahwa ia pelaku sebuah kejahatan yang layak mendapatkan vonis hukuman mati. Tidak ada setetes darahpun yang tumpah diluar haknya dari seorang rakyat kecuali Presiden/pemimpinnya akan dimintai pertanggungjawaban/ada hisabnya.
(Ukasyah/arrahmah.com)